Rabu, 22 Oktober 2025

Jalan Pulang: Sebuah Pembuka yang Bodoh

Sumber gambar: fb

Kadang cinta tidak datang dengan dentuman besar, melainkan dalam hening paling khusyuk, di sela-sela ritual ibadah dan notifikasi yang saling bertabrakan. Raka tahu itu sejak mengenal Lira. Ia tidak pernah benar-benar jatuh cinta─setidaknya bukan seperti ini─seolah setiap detak jantungnya menegur dirinya sendiri: “Jangan, kau bukan orang suci.” Namun cinta diam-diam adalah ibadah paling sepi, dan Raka memilih memeluk sepinya tanpa banyak bicara.

Dulu, Ia beribadah sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Doa baginya hanyalah daftar rapalan yang mesti diselesaikan. Tapi sejak mengenal Lira─yang wajahnya selalu tenang dan langkahnya seolah tak pernah tergesa─Raka mulai merasa ada getaran lain dalam setiap rukuk dan sujudnya. Ia tidak tahu kenapa, hanya tahu bahwa setiap gerak dalam ibadahnya terasa lebih jujur dari semua retorika yang berkembang dalam pikirannya. Kadang di atas motor, di tengah lampu merah yang panjang, tiba-tiba matanya menjadi sembab tanpa tahu sebabnya.

Ia kini mengerti bahwa keimanan tidak tumbuh dari rasa takut terhadap neraka, melainkan dari keberanian untuk hidup di dunia yang selalu menggoda. Ia benci dogma yang mengurung, yang mengancam dengan neraka dan menjanjikan surga, seolah manusia hanyalah pion yang harus tunduk tanpa berpikir. “Setinggi-tinggi iman,” pikir Raka, “dibangun di atas tanah yang becek oleh godaan, bukan di langit yang suci tempat para malaikat.” Ia sering teringat syair Abunawas yang sering dilantunkan sebagai puja-puji di toa masjid kampung; bahwa manusia seperti dirinya tak akan kuat jika harus berada di dalam neraka, tapi juga Ia merasa tak layak untuk mengidamkan surga. Dan di situ Ia merasa, barangkali yang Tuhan mau hanyalah kejujuran, bukan kesempurnaan.

Lira, gadis muda penutup abad lalu─Gen Z pertama yang tumbuh dengan layar dan kode moral sekaligus─punya cara sendiri menjaga hati. Ia bukan gadis yang dingin; Ia hanya memegang prinsip dengan kedua tangannya yang mungil tapi kokoh. Kepada siapa pun, termasuk Raka, Ia menjaga jarak secukupnya. Tapi dalam tiap gestur kecil─dalam senyum yang tertahan, dalam ucapan “hati-hati di jalan” yang disisipkan di antara kalimat kerja─Raka merasakan sesuatu yang samar, seperti daun jatuh ke air: nyaris tak bersuara, tapi bergelombang jauh di dalam.

Ia tak pernah berani banyak bicara. Ia hanya menulis kalimat-kalimat absurd di linimasa, tanpa menyebut nama, tanpa makna jelas─sebuah upaya putus asa agar Lira tahu, bahwa ada seseorang yang memikirkannya di balik semua kepura-puraan profesional itu. Kadang Ia tertawa pada dirinya sendiri: betapa norak, betapa kekanak-kanakan. Tapi bukankah semua cinta bermula dari ketidakdewasaan yang tulus?

Raka bekerja di sebuah konsultan riset pertanian, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, menulis laporan tentang kesejahteraan rumah tangga petani─sementara pikirannya entah kenapa selalu kembali pada Lira. Ia tahu, mereka berdua ingin hal yang sama: hidup sederhana, tanah yang bisa ditanami, waktu yang cukup untuk bernafas dan beribadah, tanpa harus diperbudak oleh ambisi dan angka. Mereka sama-sama ingin menjadi manusia biasa─yang cukup, bukan kaya; yang damai, bukan ambisi terkenal.

Kadang, di tengah riset harga komoditas dan data petani kecil yang tak kunjung membaik, Raka bergumam sendiri, “Berbuat baik boleh.” sambil tersu menekuri perolehan data dan bayangan target akan ambisi program-program pemberdayaan, ia menambahkan lirih, “Tapi kalau kebaikan dilakukan dengan menguras orang lain hingga kering, itu bukan kebaikan. Itu ketidakadilan yang berdzikir dengan sepinya sendiri.”

Dan setiap kali Lira membalas pesannya dengan sekadar emotikon senyum, Raka tahu: itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bertahan satu minggu lagi di dunia yang makin sulit Ia pahami. 

***

Malam turun seperti rahmat yang lelah. Lampu kota berpendar dalam kabut tipis; dari jendela kosnya, Raka melihat bayangan dirinya di kaca, samar, terbelah antara dunia nyata dan layar ponsel yang terus menyala. Notifikasi berbunyi pelan, dan untuk sesaat ia mengira itu dari Lira. Tapi bukan. Hanya iklan. Selalu iklan dari reksa dana dan pasar uang.

Ia mematikan layar, lalu termenung. Seandainya hidup manusia bisa diatur seperti algoritma─cukup hapus kesalahan, atur ulang kenangan, dan simpan semua rasa di folder yang rapi─mungkin cinta tidak akan serumit ini. Tapi manusia, pikirnya, diciptakan untuk berantakan. Dan di antara berantakan itu, ada yang disebut harapan.

Ia duduk di tepi ranjang, memegang buku catatan kecil. Tak ada yang istimewa dengan benda itu, hanya buku untuk menuangkan pikiran agar tidak terlalu overthinking. Kadang Raka membuka beberapa lembar dan meraih pena tanpa sadar sambil menarik nafas pelan, mencoba membaca kembali antara keyakinan dan keraguan─dua hal yang, entah bagaimana, selalu beriringan.

Ia teringat hari-hari ketika iman terasa seperti rutinitas yang tak punya ruh. Kini, ada gerak yang membuat ibadahnya lebih jujur, tapi juga lebih berat. Ia takut kehilangan ketenangan itu─takut jika perasaannya pada Lira hanyalah ujian kecil yang bisa merusak seluruh keseimbangan batinnya.

Namun di sisi lain, rasa itu juga menumbuhkan sesuatu yang baru. Seperti pohon kopi yang tumbuh di tanah keras, menembus lapisan batu demi sedikit air. Begitulah cintanya: bukan untuk dipamerkan, hanya untuk bertahan.

Di luar, suara kendaraan lewat seperti doa-doa yang tak sampai. Kota ini sibuk menampilkan kebahagiaan: orang-orang tertawa di layar, berbagi nasihat, membangun citra, menulis kata-kata bijak yang mereka sendiri tak mampu jalani. Dunia seolah menjadi tempat di mana semua orang ingin terlihat baik, tapi tak punya waktu untuk benar-benar menjadi baik.

Raka menarik napas panjang. Ia tahu, setiap kali menulis absurd, ia sebenarnya sedang berbicara dengan Tuhan, bukan dengan Lira. Tapi Tuhan mungkin sedang sibuk menenangkan hati orang lain yang lebih hancur darinya.

Di ujung malam itu, sebelum tidur, ia berbisik dalam hati:

"Aku tidak ingin apa pun, Ya Tuhan. Cukuplah aku bisa mencintai dengan damai. Tapi jika Kau izinkan, biarlah dia tahu─bahwa ada seseorang yang mengharap kasi Mu untuknya, bahkan tanpa nama."

Dan dengan itu, Raka memejamkan mata.

Malam pun menutup dirinya perlahan, seperti seorang ibu yang menidurkan anak yang terlalu banyak berpikir.

***

Hari itu matahari terbit seperti biasa, tapi rasanya sinarnya tidak sampai ke hati. Kantor konsultan tempat Raka bekerja sudah ramai sebelum jam delapan. Bunyi notifikasi di grup kerja bersahut-sahutan seperti doa-doa yang kehilangan iman: cek email, revisi instrumen, submit laporan harian, update progres. Semua orang sibuk membuktikan diri dengan cara paling sunyi─dengan terlihat aktif di layar.

Raka menatap layar laptop yang penuh warna, tapi kosong maknanya. Laporan tentang petani kopi di Selatan sudah selesai. Data bersih, grafik rapi, kata-kata sopan. Tapi di kepalanya yang berisik, Ia justru bertanya: untuk apa semua ini, kalau yang hidup di lapangan tetap tak beranjak dari nasib yang sama?

Ia tahu persis: petani yang diwawancarainya minggu lalu masih bingung kenapa harga bibit tambah mahal, kenapa pupuk langka, dan kenapa hidup mereka tak pernah ikut naik seperti grafik di laporan itu. Dunia riset seolah hanya pandai memoles luka agar tampak seperti prestasi.

Lira muncul siang itu, diam-diam seperti kebiasaan baik yang hampir punah.

Ia datang ke kantor membawa setumpuk dokumen dari lapangan, wajahnya tampak lelah tapi tetap tenang─seolah kelelahan adalah bagian dari ibadah yang tak perlu diadukan.

“Sudah kamu kirim?” tanyanya pendek.

Raka mengangguk.

“Baru saja,” jawabnya, berusaha terdengar datar. Tapi dadanya berdetak seperti genderang.

Lira duduk di seberang meja, membuka laptop. Aroma samar kopi hitamnya mengisi ruang. Tidak ada percakapan lain setelah itu, hanya suara klik keyboard dan kipas laptop yang menua. Namun bagi Raka, hening itu justru penuh suara: degup, ragu, dan rasa ingin mendekat yang tak bisa dibenarkan.

Ia ingin mengatakan banyak hal─tentang rasa rindu yang disembunyikan di antara kolom data, tentang doa-doa yang disamarkan menjadi draft laporan. Tapi Ia tahu, satu kata yang salah bisa mengguncang seluruh prinsip yang Lira junjung. Dan Raka tak ingin menjadi badai bagi perempuan yang menjaga dirinya dengan begitu tabah.

Di luar kantor, dunia terus berjalan dengan kesibukan yang menipu. Orang-orang berlomba tampak bahagia, seolah kelelahan adalah dosa. Semua berlomba menjadi versi paling produktif dari dirinya sendiri, meski kehilangan waktu untuk benar-benar hidup.

Kadang Raka merasa dunia ini bukan lagi tempat untuk manusia, tapi untuk algoritma: yang cepat, yang efisien, yang tak punya perasaan.

Ia melirik Lira sebentar. Dalam diamnya, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kalimat. Ia tampak seperti seseorang yang berperang tanpa senjata─melawan tuntutan pekerjaan, ekspektasi, dan mungkin dirinya sendiri.

Dan anehnya, dari semua itu, justru di situlah letak keindahannya.

“Lira…” panggil Raka pelan, hampir tak terdengar.

Gadis itu menoleh, matanya lembut tapi tegas.

“Hm?”

“Kalau dunia ini terus sibuk seperti ini… kamu nggak capek?”

Lira tersenyum kecil. “Capek. Tapi aku nggak punya pilihan selain terus jalan. Kalau berhenti, aku menjadi generasi malas. Kalau melambat, kita ketinggalan dengan dunia yang terus berkembang.”

Jawaban itu menghantam dada Raka seperti batu kecil yang dilempar dari jarak dekat. Ia ingin bilang: kamu nggak perlu terburu-buru, Lira. Dunia ini memang kejam pada orang baik. Tapi kata itu berhenti di tenggorokannya.

Ia hanya menatap layar, kembali mengetik sesuatu yang bahkan Ia tahu tak akan dibaca siapa pun dengan sungguh-sungguh.

Di sela mengetik, pikirannya melayang: mungkin inilah yang paling getir dari hidup di zaman ini─semua orang bicara tentang keberanian, tapi takut berhenti. Semua orang bicara tentang cinta, tapi takut dianggap berlebihan. Semua orang ingin terlihat beriman, tapi lupa menjadi manusia.

Dan di antara absurditas itu, Raka memilih diam. Karena mungkin diam, adalah satu-satunya cara mencintai tanpa mengganggu.

***

Sore datang seperti seseorang yang selalu tiba tapi tak pernah menetap. Langit berwarna jingga, tapi di mata Raka, warna itu tak lagi romantis─lebih mirip peringatan lembut bahwa hari sudah hampir habis, sementara dirinya belum juga menemukan arti.

Kantor mulai sepi. Satu per satu rekan kerja pulang, meninggalkan ruang yang kini hanya diisi dengung pendingin udara dan sisa aroma kertas. Lira masih duduk di sana, menutup laptopnya perlahan. Ia tersenyum kecil pada Raka sebelum beranjak. Senyum yang tak lebih dari dua detik, tapi cukup untuk membuat detak jantung Raka memanjang jadi menit.

“Pulang dulu, ya,” katanya.

“Iya… hati-hati.”

Lira berjalan ke arah pintu, membawa bayangan sore bersamanya. Tak ada kata lagi, tapi langkahnya cukup untuk menulis puisi yang tak akan pernah Raka kirimkan.

Setelah pintu tertutup, Raka menatap layar ponsel. Ada notifikasi baru─bukan pesan, hanya pembaruan story. Foto langit. Hanya langit. Tapi Raka tahu, langit itu langit tempat Lira berdiri barusan.

Ia menatapnya lama, lalu tersenyum getir. Dunia digital memang aneh: kadang hanya dengan melihat langit yang sama dari layar kecil, seseorang bisa merasa dekat.

Ia keluar dari kantor, berjalan menuju parkiran. Jalanan padat, motor-motor berdesakan seperti pikiran-pikiran yang tak sabar. Di lampu merah, Raka berhenti, menatap bayangan wajahnya di kaca helm. Ia tampak seperti pria biasa─lelaki yang menua pelan tanpa arah, yang berusaha tampak tegar di dunia yang tak memberi tempat bagi kelembutan.

Ia teringat kata-kata Lira siang tadi: “Kalau berhenti, aku jadi generasi malas.”

Itu kalimat paling jujur tapi getir yang pernah ia dengar. Dunia sekarang memang kejam terhadap yang melambat. Semua harus cepat: berpikir cepat, menjawab cepat, mencintai cepat. Padahal hati manusia tidak pernah dirancang untuk kecepatan─ia hanya tahu cara menunggu.

Di perjalanan pulang, Raka melihat papan reklame besar berganti-ganti gambar: minuman energi, lowongan kerja, iklan amal, dan motivasi murahan bertuliskan “Jangan menyerah, hidupmu berharga.” Ia tertawa kecil. Hidup memang berharga, tapi entah untuk siapa.

Di rumah kontrakannya yang sempit, Raka menyalakan lampu kuning redup. Meja kerjanya penuh kertas laporan dan cangkir kopi setengah basi. Ia membuka ponsel lagi, sekadar melihat langit Lira sekali lagi. Tapi kini status itu sudah menghilang─entah dihapus, atau tenggelam di antara unggahan orang-orang yang sedang berpura-pura baik-baik saja.

Ia termenung lama. Kadang, pikirnya, cinta di zaman ini bukan tentang menunggu balasan, tapi tentang belajar berdamai dengan algoritma.

Tentang sadar bahwa tak semua yang kau tulis akan sampai, dan tak semua yang kau rasakan perlu dimengerti.

Raka menatap jendela, melihat langit malam yang sama.

“Semoga kau istirahat malam ini, Lira,” bisiknya pelan. “Aku akan berhenti menulis untukmu malam ini. Mungkin.”

Namun ia tahu, besok pagi Ia akan menulis lagi. Bukan karena berharap dibaca, tapi karena itu satu-satunya cara agar dunia ini terasa sedikit lebih manusiawi.

***