Minggu, 16 Juni 2019

[Muridku yang Menggemaskan]



Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar
“Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!”
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia

Puisi Bung Karno di atas sudah tersebar luas di dunia maya. Berjudul; Aku Melihat Indonesia, dari buku; Bung Karno dan Pemuda.

Sengaja saya awali cerita ini dengan kutipan puisinya Bung Karno. Harapannya; hati yang membaca tersambar gelora Bung Karno yang hidup di setiap halaman-halaman revolusi Indonesia, hingga berlipat-lipat dari usianya. Kalau tidak tersambar, juga tidak apa-apa. Setidaknya saya sedang belajar menyampaikan, walau hanya sesajak.

Dari puisi di atas, setiap melihat anak-anak di mana pun berada, terlihatlah Indonesia. Di desa, di kota, di gunung, di pasar, di tempat penyewaan game, di sumber-sumber Wi-Fi, di sungai, di pantai, di kebun dan terlebih di bangku-bangku sekolah.

Sekian banyak itu, dengan mata yang bersina-sinar dan berteriak; "Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!” mereka memamggil harapan yang menggemaskan sekaligus tantangan yang mencemaskan.

Anak muridku di SDN Amboniki sungguh menggemaskan dengan bakat--yang pernah kukatakan--tak habis-habis. Ada Frisa yang cakap mendongeng; Rehan dan Alsat yang pintar dan merdu sekali bersenandung; Andra yang pandai menggambar; Naila yang lincah menggemulai tari-tarian; Alfrida dan Augnisa yang lekas fasih berbahasa; Arga, Asma dan Afdal yang tangkas memainkan aneka permainan. Dan lainnya yang tidak akan cukup untuk dituliskan di sini.

Rehan satu diantara sekian muridku yang menggemaskan itu. Ia duduk di kelas IV bersama tiga temannya; Asma dan Augnisa. Ia belum cukup lancar membaca dibanding dua teman sekelasnya. Namun dalam ilmu hitung, Ia yang cukup cepat menangkap dan mudah mengingat kembali apa yang sudah dipahaminya. Terlebih mengingat lirik-lirik dan nada pada setiap lagu dan musik yang pernah didengarnya.

Bakat dan kemampuannya ini mendapat tempat saat Rehan mengikuti lomba lagu solo daerah pada rangkaian acara Latoma Fun Camp. Ia berhasil menjuarai lomba tersebut.

Kesempatan berikutnya bukan mengikuti lomba, namun tampil di sebuah kafe mengisi acara penggalangan dana untuk memberangkatkan adik tingkatnya (Frisa) mengikuti lomba dongeng tingkat nasional di UGM, Yogyakarta. Saat itu Rehan menampilkan suara merdunya. Ia membawakan beberapa lagu yang Ia pilih sendiri dan beberapa yang direques para pengunjung kafe.

Selain itu, Rehan juga mendeklamasikan puisi WS. Rendra yang fenomenal itu; Makna Sebuah Titipan (sajak ini sering dideklamasikan oleh pejabat-pejabat, tapi tidak tahu bagaimana penghayatan dalam hidup mereka). Mengetahui daya tangkap Rehan yang cemerlang, ekspresi yang penuh penghayatan dan tegas serta kepercayaan diri yang tak diragukan, sebenarnya sudah kusiapkan Sajak Sebatang Lisong-nya WS. Rendra untuk dideklamasikannya juga. Tapi ada kekhawatiran, nanti disangka mendikte anak yang sedang tumbuh dengan sesuatu yang belum waktunya diterima anak seusianya.

Untuk melihat bagaimana penampilan Rehan mendeklamasikan Makna Sebuah Titipan-nya WS. Rendra, bisa klik link https://youtu.be/nlkBm5CDWqY

Saya merasa terwakili dan nyaman sekali saat menyaksikan Rehan tampil percaya diri, penuh penghayatan dan berimprovisasi dengan bahasa tubuh yang begitu luwes. Bangga sekali, bahkan kebanggaanku cukup berlebihan melihat penampilan Rehan. Hal ini karena, ketika seusia Rehan, aku adalah anak yang gampang rendah diri dan tak bisa apa-apa (Tidak tahu apa bakatnya). Selain itu, karena aku melihat karakter Rendra--setidaknya kutangkap dari penuturan para sahabat beliau yang masih sehat, di beberapa ceramah--ada pada diri Rehan. Diantaranya yang paling menonjol adalah pemberani dan kritis.

Rasa senang, bangga, kagum bercampur gemas menjadi bertambah saat menyaksikan penampilan Rehan membawakan lagu-lagu India. Sunn Raha Hai, adalah judul yang Ia ajukan saat kami sedang latihan deklamasi puisi. Sebelum kucari di salah satu Platform Video Online ternama, Rehan memberi keterangan, bahwa lagu tersebut baginya cukup sulit dinyanyikan ketimbang lagu-lagu India lainnya.

Bahkan saat gladi bersama relawan pemain keyboard, kakaknya cukup kerja keras memahami musiknya. Tapi bukan murni karena lagunya yang sulit, si. Lebih karena memahami Rehan yang belum terbiasa diiringi dengan alat musik modern seperti keyboard. Sehingga membuat Rehan perlu beradaptasi dengan apa yang ada di hadapannya. Juga telah tersusun meja kursi kafe yang siap dipenuhi pengunjung. Semua itu membuat Rehan begitu tertantang. Namun saya yakin dia mampu melampaui tantangannya.

Rehan menyukai tantangan.

Senin, 03 Juni 2019

[Keruarga Piara]


Mengenal istilah keluarga piara pertama kali adalah saat mengikuti program @pemudapenggerakdesa di Halmahera Selatan. Ke-dua kalinya tentu saat menjadi @pengajarmuda yang ditempatkan di Kabupaten Konawe. 

Kebetulan dua kali tugas di daerah selalu mendapat wilayan Indonesia bagian Timur. Sehingga budaya dan karakter masyarakatnya pun masih saling berkaitan. 

Begitu juga dengan kebiasaan mengangkat keluarga piara. Sejauh yang saya jumpai dan rasakan sendiri, menjadi anak piara atau saudara piara selalu menjadi perhatian khusus. Apa-apa selalu menjadi keutamaan keluarga. Sampai-sampai masyarakat setempat menganggap bahwa rasa sayang terhadap anak dan saudara piara jauh lebih utama ketimbang anak atau saudara sendiri.

Soal makanan misalnya; selalu mendapatkan bagian paling enak, paling banyak, dan paling pertama. Begitu juga terkai tempat istirahat selalu mendapat bagian yang paling nyaman di tengah rumah. Dan banyak lagi yang diberikan demi anak dan saudara piara secara berlebih. 

Gambaran ini bukan sebagai citra yang dibuat-buat. Melainkan sebuah karakter budaya yang sudah sejak nenek moyang dahulu diturunkan.

Di Konawe saya menjadi anak piara dari keluarga bapak Hikas dan Ibu Masnia atau lebih akrab dipanggil papanya dan mamanya Reski. Keluarga ini begitu baik menerima saya. Juga menerima dua orang @pengajarmuda sebelum saya.

Ada hal unik yang cukup menarik dari keluarga piara saya ini. Di mana setiap orang yang menjadi anak piara mamanya Reski, harus bisa Molulo--tari kaki khas masyarakat Tolaki. Setiap ada pesta dan membuka acara Molulo, mamanya Reski selalu mengajak, bahkan memaksa kami untuk ikut pergi pesta dan masuk dalam lingkaran Lulo. 

Padahal saya termasuk pribadi yang kecerdasan kinestetiknya kurang. Sejak kecil saya kurang suka kegiatan yang berkaitan dengan gerak tubuh, seperti olahraga, tari dll. Namun sejak menjadi anak piara mamanya Reski, daya tangkap saya akan gerak menjadi meningkat. Hanya hitungan minggu saya sudah mempu menguasai berbagai gaya tari Lulo. Dari gerak kaki sederhana sampai yang rumit. 

Bagaimana tidak, saya selalu ditarik, digandeng dan tidak dilepas lagi dari lingkaran Lulo. Hanya boleh berhenti kalau pakaian yang melekat di tubuh sudah basah kuyub oleh keringat. Untuk itu setiap pergi pesta, diharuskan mamanya Reski untuk selalu membawa pakaian ganti. Setelah berganti pakaian dan istirahat sebentar, sudah pasti digandeng lagi. 

Perlu diketahui, acara Molulo ini dimulai dari ba'dha Isya sampai menjelang subuh. Dan mama Reski adalah Rajanya Lulo se-kecamatan Latoma. Sehingga mama Reski akan malu jika ada anak piaranya yang tidak bisa Molulo. Jadi mau tidak mau, harus bisa. 

Demi itu, pertama mencoba saya hanya terseret ke kanan dan ke kiri dengan kaki bolak-balik terinjak dan terkilir. Tapi jangan bilang mama Reski Raja Molulo kalau tidak berhasil memaksa saya bertahan sampai 10 kali putaran Lulo dengan diameter lingakaran 20 meter saat awal mencoba. 

Namun hasilnya masyarakat sampai heran "paguru sudah seperti orang asli di sini." Saya pun dengan puas menyambut dengan tawa gembira. 

#19ceritaPM 
#Beran19abung 
#Beran16eda 
#PMXVI #PMXIX

#Beran19abung 
Daftarkan dirimu di bit.ly/DAFTARPM19

Sabtu, 01 Juni 2019

[Hari Pertama--Bertabur Bunga--di Desa]


Siapa yang tak terharu disambut dengan cara seperti dalam video ini. Sangat sederhana, tapi kesannya tak akan hilang. 

Video ini diambil dan disusun oleh Buguru ketjeh @_diyans yang sejak 2017 s.d 2018 bertugas di desa Amboniki, Konawe. Kemudian saya yang melanjutkan tugasnya pada satu tahun berikutnya. 

Dalam video ini adalah siswa-siswi SDN Amboniki. Jumlah mereka memang tak banyak, namun bakat, kreatifitas dan inisiatif mereka tak habis-habis. 

Adanya ceremony penyambutan dengan tabur bunga ini sebenarnya tanpa rencana dan tanpa sengaja. Setidaknya begitu penuturan @_diyans. 

Pagi itu saya dan diyan baru sampai di desa. Saya diantar sama diyan dong--khawatir nyasar kalau dibiarkan sendiri, katanya. Haha ini beneran ngarang. 

Sebenarnya kami berangkat dari Ibukota Kabupaten sudah sejak satu hari sebelumnya. Namun kami harus bermalam di tengah perjalanan. Menginap di desa tempat tugas Buguru @keziapuspitaa yang dilanjutkan Paguru @legi_oktaputra desa Wowalatoma. 

Faktor jalanan berlumpur dan musim hujan membuat mobil pickup yang mengangkut kami tidak lancar berjalan. Beberapa kali harus tertanam di lumpur. 

Untungnya ada utusan orang tua asuh @keziapuspitaa & @legi_oktaputra yang datang menjemput saat mobil sudah sama sekali tak mau bergerak dari pelukan lumpur Latoma. Itu pun kami sampai di Wowalatoma sudah jam 11an malam. 

Memang benar kata pepatah; berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Setelah bersakit-sakit gulat dengan lumpur dan puasa lagi, paginya bersenag-senang dengan anak-anak desa Amboniki di halaman sekolah menabur bunga dan main bola lagi. 

------------------------------------------------------------

Cerita selamanya meninggalkan kesan. Ini adalah kesan tak terlupakanku saat awal menginjakkan kaki di desa penempatan. 

Rasakan kesan-kesan indah dalam balutan kesederhanaan dengan #Beran19abung menjadi @pengajarmuda angkatan XIX di @ind_mengajar.

#19ceritaPM 
#Beran16eda 
#Bera19abung 
#Indonesiamengajar
#Pengajarmuda
#PMXVI #PMXIX