Sungguh unik menghisap mbaqo-mbaqo kehidupan ini.
Saat tanggal tua, terhisap juga mbaqo srintil yang nyesak di dada dan nyegrak di tenggorokan.
Tapi, mbaqo srintil yang sengaja di tumbuhkan Tuhan di bumi Temanggung ini sungguh menjadi suatu nikmat tersendiri.
Di saat dunia memperebutkannya, justru diam-diam generasi tidak
tau-menau ini malah mulai memusnahkannya. Saat tanggal muda, sengaja ia
dilupakan. Mencari yang saat dihisap lebih halus, lebih ringan dan
harganya tinggi.
Giliran tanggal tua tiba lagi, barulah merengek-rengek kepada mbah
kakung untuk nempil mbaqo srintil alakadarnya. Tak jarang saat hisapan
pertama, mendadak latah misuh'i mbaqo srintil seolah-olah hendak
membuangnya dan menginjak-injaknya. Tapi perlahan terhisap juga, walau
awalnya terbatuk-batuk, kemudian baru menyadari: "sing penting ngebul".
Ada yang dengan sombongnya, terbaui asapnya seperti mencium sesuatu
yang menjijikan —sungguh tak punya rasa terimakasih. Menjengkelkan
lagi, ada yang diam-diam menjualnya dengan harga sangat murah, hanya
ditukar dengan kembang gula warna-warni berpenyakit itu.
Sekarang aku tau, mengapa mbah-mbah dulu lebih suka 'nglinting' mbaqo
srintil ketimbang menghisap yang ringan dan halus kesukaan muda-mudi
itu. Dengan nyesak di dada, dengan nyegrak di tenggorokan, tapi
mbah-mbah tidak pernah terbatuk-batuk apa lagi sampai latah misuh.
Dengan ketenangannya, perlahan mbah-mbah menghisap srintil. Benar-benar
dirasainya setiap milimeter hisapan srintil, mulai dari kegetirannya di
ujung lidah menjalar berubah menjadi asam di tengah hingga berubah
menjadi pahit di pangkal lidah. Kemudian menelusuri Tenggorokan sambil
mengiris-perih dinding-dindingnya, lalu melayang menghantam pangkal
kerongkongan hingga sesak dadanya. Mengendapkan sejenak, menikmati
pudarnya sesak yang menghantam pangkal kerongkongan —sambil memikirkan
apa saja yang terlintas olehnya— dan menghembuskannya kembali dengan
lega.
Begitulah gambaran keuletan hidup mbah-mbah dulu. Tiada diderita
rasa gertir, asam, pahit, teriris-perih, dan sesak yang menghantam dada
itu. Justru yang dirasa adalah nikmat nikmat dan nikmat dari
kegetiran, keasaman, kepahitan, keperihan, dan kesesakan dalam hidupnya
hidupnya. Lebih uniknya dalam ke-sesak-annya itu mbah-mbah
mengimajinasikan (mencita-citakan) banyak hal, juga memikirkan
(merancang dan merencanakan) banyak hal. Baru kemudian menjalankannya
dengan penuh kelegaan, keikhlasan, kepasrahan, dan menggantungkan segala
yang terjadi atas kehendak Tuhan yang menumbuhkan mbaqo.
#Srintil Temanggung.