Kamis, 20 Oktober 2016

Soal Tempe

Ba'da Isya aku berjalan keluar kos untuk mencari makan. Rencananya ke warung Burjo atau Angkringan. Dalam kondisi apapun tempat makan favorit ku adalah dua tempat itu.

"Kalau di warung Burjo terlalu rame (umpel-umpelan), ke Angkringan saja", batin ku.

Aku berjalan santai sambil senyam-senyum menyapa beberapa bapak ibu juru parkir di trotoar. Kendaraan cukup ramai berseliweran dari selatan ke utara dan sebaliknya. Di seberang jalan ada deretan PKL (Pedagang Kaki Lima) ramai. Deretan itu cukup menarik perhatian ku. Terutama gerobak yang bertuliskan "Mendoan Demit: Tempe mu tak seenak tempe ku".

"Lah, Demit?" Batin ku. Apa aku masuk ke dalam cerita Wasripin. Tapi seting tempat Wasripin kan di Pantai Utara Jawa. Ini Yogya. Tapi mungkin saja. Barangkali di gerobak Mendoan Demit itu ada foto Wasripin atau Satinah. Seperti yang dilakukan nelayan-nelayan pantai utara sana mereka memasang foto Wasripin untuk Azimat. Atau foto Satinah yang yang begitu mempesona dengan rupa dan suaranya.

Urung niat ku untuk ke salah satu dari dua tempat yang kurencanakan. Aku menyeberang dan menghampirinya.

"Pintenan bu?" Tanyaku pada penjual mendoan.
"Selembar tiga ribu mas"

Ku lihat lembaran tempe yang belum digoreng cukup lebar.

"Kaleh nggih bu." Pesan ku pada ibu penjual.
"Mau dipotong nopo mboten mas?"
"Nggih dipotong bu."

Satu lembar tempe dipotong sama besar menjadi empat bagian. Dengan tepung dan bumbu khasnya tempe digoreng. Sementara aku jelalatan ke sana ke mari mencari foto Wasripin dan Satinah. Tidak ku temukan. Bahkan foto artis atau artis politik, artis ustadz, artis ulama pun tak ada.

"Didamel kering mas?" Suara ibu penjual mengembalikan fokusku pada tempe mendoan.
"Lha mendoan mosok kering bu, dados keripik mangkeh bu." Jawab ku sambil bergurau.

Tak lama tempe mendoan sudah diangkat dari belangannya. Delapan potong mendoan dimasukan ke kantong plastik yang sudah dialasi daun pisang. Tak ketinggalan rontokan tepung dalam belangan juga ikut dimasukan. Bersama sambal kecapnya Mendoan Demit ku bawa pulang. Rasanya aneh kalau makan mendoan kok tidak ada kopi. Rencana ke warung Burjo ku lanjutkan. Bukan untuk beli makan, tapi beli kopi.

Hari ini aku hanya kenyang dengan tempe. Pagi sampai siang aku beli tempe juga cukup banyak. Walau bukan mendoan, tapi hampir mirip. Ku beli dari Warung Burjo. Memang lebih tipis dari mendoan dan lebih kecil ukuran tempenya. Tapi tepungnya cukup tebal dan agak alot saat dimakan. Dan menjadi salah satu sajian tempe yang ku suka. Apalagi dimakan sambil ngopi. Aduh lupa daratan sudah.

Soal tempe, mau dibuat apa saja selalu enak untuk dimakan. Dan aku adalah penggemar tempe sejati. Hahahaha. Tempe adalah makanan hari-hari ku dari masih bersekolah di TK. Jaman TK aku sudah doyan makan cabe ijo. Tentu sama tempe. Sepulang sekolah tempat makan ku di bawah pohon cabe. Kadang Mbah ku lupa menyediakan cabe karena kehabisan atau karena memang disengaja supaya aku tidak terlalu banyak makan cabe. Makanya sampai sekarang sama pedes itu paling doyan. Sama dengan tempe.

Di Yogya ini aku begitu dimanjakan dengan tempe. Berbagai rasa dan harga pernah ku coba. Dan seberapapun besar kecilnya, tempe yang digoreng terlalu kering dan tipis pula itu aku gak begitu nafsu. Kecuali kalau sudah tidak ada yang lain. Dan tidak tau kenapa, tempe selalu enak dan cocok di lidah ku saat bertemu kopi. Sama dengan asap tembakau yang ketemu kopi. Gambarannya seperti sepasang kekasih yang sekian puluh tahun menahan rindu dan dalam waktu keputus asahan akan rindu mereka dipertemukan. Begitulah saat tempe dan kopi bertemu di lidah, begitu juga asap tembakau dengan kopi.

Jadi kopi itu semacam laki-laki yang berpoligami. Dalam dunia ku Kopi kadang berpasangan dengan tempe dan kadang pula dengan asap tembakau. Kalau pas rezekinya, mereka bertiga kumpul bareng dan akur. Dalam dunia orang peminum kopi yang lain mungkin beda. Seperti pada beberapa toko buku online dalam lingkaran Indibook Yogya selalu menampilkan selogan: Aku, Kopi dan Buku. Sudah beda lagi. Maka kalau aku buka toko buku online selogannya: Tempe, Kopi dan Asap tembakau. Nanti dari calon pembeli akan bertanya, "jadi yang dijual buku, asap atau tembakau?" Kemudian akan ku jawab "Sak karep ku, aku sing nduwe tokone kok".

Salam Anak Tempe.
"Tempe mu tak seenak Tempe ku" Mendoan Demit, Jl. Monjali, Blunyah Gede, Mlati, Sleman, DIY.

Selasa, 04 Oktober 2016

Kasih-sayang Yogya

Yogyakarta setiap sudut kotanya adalah rindu.

Rindu pada siapa?

Pada suasana.

Suasana seperti apa? Setiap waktunya yogya berubah.

Ada kenangan di yogya.

Kenangan atau sejarah?

Keduanya tak terpisahkan.

Jadi kenangan dan sejarah itu sepasang kekasih? Dan mereka berdua menciptakan ruang kerinduan?

Mendekati seperti itu.

Tapi keduanya tak terpisahkan! Kenapa ada ruang rindu? Apakah mereka sempat berpisah, sehingga ada jarak untuk rindu bersemayam?

Buktinya orang-orang yang pernah tinggal dan datang ke Yogya selalu ingin kembali.

Hanya orang?

Kalau ada yang selain orang, mungkin saja.

Binatang juga rindu Yogya?

Kulit kacang, ampas kopi, irisan tembakau saja rindu.

Mereka punya kenangan dan sejarah juga?

Setetes air sebutir debu pun punya.

Memangnya apa itu kenangan, apa itu sejarah. Apa hubungannya dengan rindu dan Yogya?

Kenangan itu sesuatu yang tak mungkin dijangkau kembali. Sehingga ia membentuk ruang rindu. Dan sejarah adalah kenangan yang melibatkan banyak pihak. Ada yang merindu, membenci, memuja, melawan, memberontak, mengelu-elukan, mensia-siakan, menginjak-injak dan banyak me- lain.

Lantas perbedaan kenangan dan sejarah, bagaimana?

Kenangan itu perempuan, sejarah itu laki-laki.

Jadi benar mereka sepasang kekasih?

Mereka saling melengkapi.

Dulu mereka di yogya?

Sampai sekarang.

Dan tak pernah pergi ke mana-mana, hanya di Yogya saja?

Seyogyanya di setiap tempat ada.

Hanya setiap tempat, tidak setiap waktu?

Setiap tempat dan setiap waktu.

Tempat dan waktu itu sepasang kekasih yang lain lagi?

Semacam itu.

Mereka sering kencan bareng kenangan dan sejarah?

Ya, mereka selalu bersama.

Di Yogya juga?

Seyogyanya di setiap yogya dibuat.

Memang yang membuat Yogya siapa?

Yogya dan seyogyanya dibuat sepasang kekasih.

Kok banyak pasangan kasih-kekasih. Yogya dan seyogyanya pasangan kekasih juga?

Arah-arahnya ke sana.

Ke mana?

Kekasih.

Kekasih itu apa?

'Ke' itu bergerak/berjalan menuju sesuatu, 'kasih' itu memberi.

Maksudnya berjalan untuk memberi atau berjalan sambil memberi, yang mana?

Keduanya termasuk.

Apa kasih memiliki kekasih?

Tentu.

Siapa?

Sayang.

Sayang itu kekasihnya kasih?

Kasih-sayang begitu kiranya.

Yang laki-laki mana, yang perempuan mana?

Kasih itu laki-laki dan sayang perempuan.

Sebagai laki-laki kasih tentu memberi, lantas sayang menerima begitu?

Boleh juga seperti itu. Sayang lebih banyak memelihara, merawat, mengasuh.

Jadi seyogyanya laki-laki memberi, dan seyogyanya perempuan memelihara merawat mengasuh?

Arah-arahnya mendekati.

Mendekati apa lagi?

Pengasih dan penyayang.

Siapanya kasih-sayang?

Semacam jarak yang membentuk ruang rindu.

Mereka terpisah?

Hanya mandiri. Namun selalu menyertai dan mengiringi.

Maksudnya kalau pengasih datang terlebih dahulu, penyayang buru-buru datang menyusul?

Dan sebaliknya. Semacam gejolak rindu yang bernafsu bertemu di ruang rindu.