Selasa, 18 Agustus 2015

Tumbuh Generasi Baru 'Sang' Gadjah Mada


Mencintai Nusantara
Mencintai Anak-anak Nusanta
Mencintai Desa Nusantara
Mencintai Alam Nusantara
Mencintai Budaya Nusantara
Mencintai Keragaman Nusantara

Senyum mengembang
Keceriaan wajah cerah Nusantara
Jayalah, jayalah, jayalah kembali

Hela jangkarmu
Kembangkan layarmu
Mengembung penuh
Membelah ombak samudra
Singgahi Nusa-nusa
Rangkul Bangsa-bangsanya


Hidupkan kembali galangan-galangan kapalmu
Ramaikan dermaga-dermagamu
Berlayarlah
Kabarkan Nusa kita belum tenggelam

Nusantara bersatu
Bhineka Tunggal Ika
Mari Moi Ngoni Futuru


                Nusantara, berasal dari dua kata: Nusa dan Antara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Nusa’ berarti ‘Daratan atau Pulau atau Tanahair’. ‘Antara’ berarti ‘jarak disela-sela atau ditengah-tengah dua benda’. Kata Nusantara telah dipakai untuk wilayah sebagaian besar Indonesia sekarang ini sejak jaman sebelum kejayaan Majapahit. Artinya kata Nusantata ini oleh nenek moyang kita dengan penyelidikan dan kesepakatan bersama yang cukup lama. Hingga sekarang nama Nusantara masih digunakan dan kewibawaannya masih cukup terjaga. Setiap kali mendengar kata Nusantara, bayangan kita tentu terbayang suatu wilayah yang terbentang cukup luas. Sesuai dengan arti dari kata Nusantara menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dan penggunaan kata Nusantara sejak masa sebelum kejayaan Majapahit, Nusantara dapat diartikan suatu kumpulan pulau/tanahair yang terletak antara dua samudra dan dua banua. Samudra dan Banua di sini menjadi pembentuk ruang Nusantara. Di tengah-tengan jarak dari ujung timur samudra Hindia hingga ujung barat samudra Pasifik, dari ujung utara banua Australia dan ujung selatan banua Asia telah disepakati sebagai wilayah Nusantara.

Wilayah yang strategis, membentuk suatu persilangan antara banua dan samudra. Nusantara penghubung bangsa-bangsa di daratan Asia dengan bangsa-bangsa di daratan Australia. Nusantara juga menghubungkan lautan paling luas dunia beserta kehidupan biota lautnya, saudra Hindia dengan samudra Pasifik. Kondisi strategis membentuk Nusantara memiliki kekayaan budaya dan alam yang melimpah. Terbukti dengan keragaman suku bangsa, adat istiadat dan sumber daya lam yang ada hingga sekarang.

Nusantara dengan keluasan wilyah yang dibangun oleh beragam suku bangsa ini pernah berada di puncak kejayaannya. Seorang pemuda desa yang gagah berani nan cerdas bertekat mempersatukan Nusantara menjadi satu kekuatan untuk memimpin dunia. Gadjah Mada –anak desa pada masa kerajaan Majapahit– dengan pengetahuan nya yang luas tentang nusa-nusa dan lautanya, ditambah keberanian dan kepiawaiannya berlayar mengarungi lautan, menyatakan sumpah untuk mempersatukan bentangan nusa-nusa yang berada di antara dua banua dan dua samudra ini untuk membangun kesejahteraan dan kemakmura bersama. “Sumpah Palapa”, sumpah yang mendarah daging dalam jiwa Gadjah Mada. Dengan keberanian, kegigihan dan kecerdasanya, Gadjah Mada memenuhi sumpahnya. Sehingga Nusantara bersatu, bersama bangsa-bangsa di dalamnya membangun kemakmuran dan kesejahteraan bersama.

Majapahit, sebagai kerajaan yang mempelopori persatuan Nusantara –melalui Sumpah Palapanya Gadjah Mada– memimpin kesatuan. Majapahit dengan kebijakannya, mampu membuat Nusantara menjadi suatu wilyah dengan penduduk yang tediri dari ribuan bangsa sejahtera dan terkenal hingga berbagai penjuru dunia. Terkenal dengan budaya berlayarnya, terkenal dengan teknologi kapal-kapalnya yang canggih dan besar, terkenal dengan galangan kapal yang besar dan lengkap dengan alat-alat dan kayu-kayu bagus untuk membuat kapal, terkenal dengan hasil laut yang beragam dan melimpah, terkenal dengan hasil kebun dan hutan yang melimpah.

Kejayaan Nusantara berawal dari tekat seorang anak desa yang gagah berani. Namun kondisi yang ada sekarang, anak desa justru menjadi yang terbelakang, tertinggal dan terkucilkan (3T). Perhatian kita terhadap Nusantara hanya terfokus akan kekaguman dengan kejayaan sejarahnya, akan tetapi meninggalkan budaya dan kearifannya. Bangsa kita sekarang justru lebih banyak berkiblat dan menyoroti budaya asing yang tidak cocok dengan kondisi alam dan budaya Nusantara yang sejati.

Desa sebagai tempat lahir dan tumbuhkembangnya para Gadjahmada dikucilkan dan ditinggalkan. Anak-anak desa tidak lagi terperhatikan. Terlantar dari pengajaran para empu dan empu-empu itu pun tidak lagi ada. Bersyukur alam desa masih bisa sedikit mendidik anak-anak desa dan mereka sangat bersahabat dengan alam yang mereka miliki. Alam menjadi empu bagi mereka, memberikan pengajaran dan didikan sedari mereka mulai mendengar hembusan angin dan deburan ombak melalui perut ibunya.

Desa adalah tempat suci, tempat yang murni yang terlindungi dari pencampuran budaya asing. Namun sekali lagi perlu diungkapkan, tempat suci ini tiada lagi diperhatikan bahkan lebih banyak ditinggalkan. Penataannya, penjaminan kesejahteraannya, haknya untuk berfikir dan berilmu seolah dimatikan. Malang nasib desa, tempat suci ini sekarang dimanfaatkan hanya untuk kepentingan para penguasanya. Jatah pembagian hasil upeti diperebutkan penguasanya untuk kepentingan pridadi.

Bagaimana para Gadjahmada masa kini akan memiliki keberanian dan mimpi untuk membangun kejayaan Nusantara kembali, jika mereka tiada lagi mendapat pengajaran dari para empu yang memberikan pengetahuan lebih luas dari pengetahuan yang hanya ada di sekitarnya saja. Gadjah Mada adalah yang berpengetahuan luas dan cerdas. Sementara anak desa sekarang sebagai Gadjahmada masa kini, tiada lagi memiliki pengetahuan luas. Bagaimana mereka akan memiliki cita-cita  besar dan luhur seperti cita-cita yang terkandung dalam “sumpah palapanya” Gadjah Mada, sementara mereka tidak memiliki pengetahuan tentang Nusantara.

Tentang cita-cita. Gantungkanlah cita-citamu setinggi lagit, begitu nasihat para tetua. Menumbuhkan dalam diri anak-anak desa berani bercita-cita merupakan suatu kebanggaan tersendiri. Dari cita-cita yang mereka miliki, bukan tidak mungkin kita dapat melahirkan para Gadjahmada di masa kini. Jangan pernah batasi cita-cita mereka, lebih banyak menginspirasi akan lebih kuat membentuk cinta-cita yang sejati lahir dari hati paling dalam dari calon Gadjahmada masa kini. Yakin bahwa cita-cita mereka akan lebih luhur dan bijaksana dari pendahulunya.

Bersama Gerakan Desa Cerdas yang diinisiasi oleh Gerakan Indonesia Mengajar dan dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan, 15 orang pemuda terbaik Nusantara terpilih untuk mendampingi anak-anak desa di kabupaten Halmahera Selatan untuk menumbukan cita-cita besar mereka. Gerakan Desa Cerdas mengadakan seleksi penerimaan  di lima kota besar: Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar dan Ternate. Pada pertengahan Mei, dilakukan pelatihan intensif untuk 15 Pemuda Penggerak Desa (PPD) di kota Labuha –ibu kota kabupaten Halmahera Selatan– yang bertempat di Pulau Bacan. Pertengahan Juni, 15 Pemuda Penggerak Desa ini dikirim ke berbagai penjuru Halmahere Selatan untuk mendampingi anak-anak desa para calon Gadjahmada yang akan datang.
Desa Geti Lama, Kecamatan Bacan Barat Utara merupakan salah satu daerah penempatan PPD. Desa Geti Lama merupakan desa bekas sasaran penyerangan saat kerusuhan Maluku meletus pada tahun 1999-2000. Desa kecil ini berpenduduk kurang lebih 400 jiwa dengan 70 kepala keluarga. Penghasilan masyarat desa Geti Lama dithopang dari hasil kebun di belakang kampung. Tanaman kebun yang dihasilkan berupa kopra, cengkih, pala dan sebagian buah kakaku. Secara geografis desa Geti Lama terletak di bagian utara pulau Bacan dan di seberang selatan dari pulau Kayoa –garis katulistiwa berada di pulau kayoa. Pada umumnya desa-desa di Maluku Utara berdada di tepi laut, sehingga hampir 85% transportasi yang menopang masyarakat Maluku Utara adalah transportsi laut. Termasuk desa Geti Lama. Daratan desa Geti ini terbentang  antara tanjung Geti lama dan tanjung Geti Kecil. Teluk yang yang dibentuk oleh dua tanjung ini merupakan tempat singgah kawanan ikan paus saat berkeliling dunia. Beruntung saat bulan pertama penempatan, sempat menikmati pemandangan ikan paus muncul di permukaan teluk geti ini.

Dahulu, sebelum terjadi kerusuhan pada tahun 1999, di sepanjang teluk Geti ini hanya ada satu desa yaitu Geti Lama.  Sekarang sudah ada dua desa besar yaitu desa Geti Lama dan desa Geti Baru. Desa Geti Lama hanya terdiri dari satu dusun, sementara desa Geti Baru terdiri dari tiga dusun: dusun Al-Bina Darussalam, dusun Mangga Dua dan dusun Geti Baru. Desa Geti Lama mayoritas beragama Kristen Protestan dan kurang lebih ada delapan kepala keluarga yang beragama Islam (Mualaf). Untuk desa Geti baru, di dusun Al-Bina Darusalam dan Mangga Dua 100% muslim dan dusun Geti baru 50% Kristen Protestan dan 50% Islam.

Desa geti lama merupakan satu-satunya desa yang masih ada peninggalan fisik bekas kerusuhan Maluku terjadi. Beberapa rumah yang dahulu dibakar, sampai sekarang masih ada yang sama sekali belum direhab. Sengaja dibiarkan oleh pemiliknya, dijadikan sebagai monumen kerusuhan desa Geti –walaupun tidak ada pengakuan dari pemerintah bangunan bersejarah itu dijadikan sebagai monumen. Tetapi dengan hati yang rela, sampai sekarang pemilik rumah itu mengikhlaskan untuk tidak diperbaiki dan memilih membangun rumah baru di lahan yang lainnya. Jika memang nantinya pemerintah akan membangun monumen resmi kerusuhan di desa itu, tentu akan sangat berguna sebagai sumber sejarah Maluku Utara, di mana Nusantara berada di dalamnya. Sehingga sejarah di Geti Lama pun juga sejarah Nusantara.

JASMERAH: jangan lupakan sejarah, begitu ungkapan bapak bangsa sang proklamator: bung Karno. Sejarah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam membangun kehidupan berbangsa. Termasuk membangun cita-cita besar seperti Gadjahmada. Gadjah Mada memiliki cita-cita besar dan mulia itu karena beliau berpengetahuan luas, termasuk pengetahuan sejarah pendahulunya. Demikian halnya yang perlu ditanamkan kepada anak-anak muda desa Geti Lama, untuk menuliskan sejarah mereka sendiri secara jujur.

SD Negeri Geti Lama, merpakan satu-satunya sekolah yangada di desa Geti Lama. Anak-anak yang bersekolah di SD Negeri Geti Lama berjumlah tujuh puluh tiga anak. Sementara jumlah anak usia sekolah Dasar di desa Geti Lama kurang lebih sebanyak seratus anak. Beberapa yang lain yang tidak sekolah adalah mereka yang putus sekolah karena berbagai hal. Mereka yang tida bersekolah bukan karena tidak memiliki kemauan untuk bersekolah, akan tetapi justru mereka begitu cerdas dalam berfikir. Karena antara bersekolah atau tidak itu sama saja, yang  membedakan hanya ijazah saja. Mereka yang bersekolah hanya mendapatkan pembelejaran dari guru pengajar dua minggu saja dalam satu bulan  dan itu pun kurang efektif. Karena SD Negeri Geti Lama hanya memiliki satu guru saja yang merangkap sebagai kepala sekolah. Sementara mengurus siswa dari kelas satu hingga kelas enam seorang diri. Rangkap tugas sebagai guru dan kepala sekolah memang tidak mudah. Ada kalanya banyak urusan di kantor dinas pendidikan. Terlebih dengan adanya perubahan kurikulum dan pelaporan setiap bulannya yang harus diselesaikan di dinas Pendidikan yang berletak di Lambuha –ibu kota kabupaten Halmahera Selatan. Sehingga membuat pengajaran tidak maksimal, jangan pun maksimal, terdampingi siswa di dalam sekolah saja tidak terpenuhi. Maka wajar saja jika dalam kondisi ini sebagian dari mereka memilih untuk tidak sekolah. Karena, antara yang sekolah dan tidak sekolah sama saja, sama-sama kekurangan pengetahuan. Terlebih keterampilan dalam membaca dan menulis, jangan pernah dibayangkan sama seperti anak-anak di kota yang anak kelas dua sudah lancar membaca. Sementara semua siswa yang duduk di kelas tinggi (empat, lima dan enam) membacanya masih terbata-bata bahakan ada yang sama sekali belum bisa membaca sebuah kata.

Bersyukur ada program Gerakan Desa Cerdas yang mengirimkan Pemuda Penggerak Desa (PPD) di desa Geti Lama. Sekarang ada dua guru di SD Negeri Geti Lama: Ibu Selfia Kundiman sebagai kepala sekolah dan guru dan Mabrur Muhammad Yusup sebagai guru kelas. Dengan adanya tambahan guru ini, setidaknya kelas rangkap dapat teratasi dan terdampingi penuh. Walaupun kelas harus dirangkap sekaligus tiga kelas secara bersamaan.

Penulis, sebagai Pemuda Penggerak Desa meninisiasi kegiatan menulis untuk anak-anak usia sekolah yang ada di desa Geti Lama. Surat dan sahabat pena merupakan media untuk gerakan menulis di desa Geti Lama. Teman-teman penulis semasa kuliah dan sekolah dahulu beberapa dijadikan sahabat pena. Awalnya menceritakan profil setiap calon sahabat pena di hadapan anak-anak. Kegiatan bercerita dan melihat foto calon cahabat pena ini dilakukan setiap sore di balai desa –balai desa yang sudah tidak digunakan, bahkan boleh dikatakan sebagai bagunan rusak. Balai desa terletak di titik terdalam teluk Geti. Jadi walaupun bangunan ini berada di bibir laut yang curam itu, tetapi aman dari terjangan ombak, karena letaknya yang jauh menjorok kedalam daratan dan dilindungi oleh dua tanjung yang cukup besar. Dari bercerita ini, penulis memanfaatkan rasa ingin tahu anak-anak untuk menulis. Mereka bertanya tetang sahabat penanya satu persatu, tentanng usianya dan kegiatannnya sehari-hari atau tentang cita-citanya. Anak-anak hanya akan mendapat jawaban jika mereka bertanya langsung kepada sahabat pena mereka dengan jalan menuliskan surat. Maka dengan penuh rasa ingin tahu mereka menulis surat pertama mereka. Dengan tekun mereka perlahan mengukir tulisan di sesobek kertas dari buku tulis yang mereka punyai. Ini lah kali pertama mereka menulis surat. Mereka menulis satu persatu surat untuk sahabat penanya. Ada dari mereka yang menulis surat hanya untuk menyapa sahabat penanya saja dengan dua atau tida kalimat yang mereka bisa. Ada juga yang kebingungan mau menulis apa. Dalam kebingunannya mereka berlembar-lembar kertas diremasnya dan menyobek lagi kertas lain dan menulis lagi, kemudian mereka remas lagi menyobek lagi dan menulis lagi. Terus awalau mereka malu dan merasa banyak melakukan kesalahan, tetapi mereka terus mencoba untuk menulis surat.

Alhamdulillah, telah dikirimkan semua surat mereka kapada sahabat pena masing-masing. Ada sepuluh sahabat pena mereka, dan sebagian sudah membalasnya dan siap untuk dibaca oleh anak-anak. Pasti anak-anak sudah ingin sekali membaca surat-surat balasan itu. Dan penulis tidak sabar ingin melihat ekspresi membaca mereka, membaca surat pertama yang mereka terima dari para sahabat pena mereka. Irama membaca yang terbata-bata akan menjadi melodi yang harmonis di bawah pohon beringin yang ada di sudut Desa Geti Lama.

Membangun cita-cita anak-anak  desa dengan menginspirasinya ada banyak cara. Hanya dengan menuliskan surat untuk mereka saja, sudah sangat membesarkan hati mereka. kita berharap bersama dari tulisan-tulisan mereka dan balasan dari para sahabat penanya dapat menumbuhkan cita-cita besar mereka. Semoga Gadjahmada muda akan lahir dari desa Geti Lama.

Secara pribadi penulis ucapkan banyak terimakasih, untuk para sahabat pena  anak-anak desa Geti Lama yang telah berkenan membaca dan membalas surat-surat mereka. Setiap huruf, kata dan kalimat yang teman-teman tuliskan dalam surat balasan itu akan menjadi sesuatu yang paling berharga bagi anak-anak desa Geti Lama. motivasi kuat untuk terus belajar dan menyongsong cita-cita juga akan terpancar dari surat-surat balasan teman-teman.

Sahabat pena: Armand Adiwijaya, Ayunidita Rosalia, Anisya Lisdiana, Nur Jannah Asrilya, Rais Nur Latifah, Fail Balya Marwa, Alan , Mega Ariyanti, Nikmatul Candini, dan Riyeni Dwi Elfani.

Bagi pembaca yang ingin menjadi sahabat pene mereka, juga bisa menghubungi penulis di no. Telp. 082382813889.

Perjalanan Menuju Desa Geti Lama
Perjalanan penulis dari  kota asal (Yogyakarta) menuju desa Geti lama dilakukan dengan transportasi udara, darat dan laut. Dari Yogyakarta menuju kota Ternate –kota yang sama-sama memiliki sejarah kesultanan yang kuat: kesultanan Mataram dan kesultanan Ternate. Perjalanan dari Yogyakarta ke Ternate bisa transit melalui beberapa kota: Jakarta, Surabaya, Makassar, Manado, atau Ambon. Sampai di bandara Sultan Babullah Ternate, perjalanan dilanjutkan menuju pelabuan verry Bastiong. Jadwal perjalanan kapal verry dari bastiong hampir semuanya malam (21.00 WIT kapal berangkat). Dari pelabuhan bastiong ini kemudiaan naik kapal verry untuk menuju Pulau Bacan di Pelabuhan Babang atau pelabuhan Kupal. Dari pelabuhan bastiong ini, pulau atau gunung Tidore dan pulau Maitara sangat jelas terpamapang. Suatu pemandangan yang tidak asing –walaupun baru pertama kali mengunjunginya. Karena pulau Tidore dan pulau Maitara hampir setiap hari kita lihat di dalam lukisan pemandangan uang seribu rupiah. Subuh saat langit timur mulai diwarnai semurat matahari hendak terbit, kapal verry sampai di pelabuhan banbang. Dari pelabuhan besar babang ini, kemudian ikut naik speed yang setiap hari beroprasi, untuk menuju desa Geti Lama. Biasanya kapal motor speed ini berangkat dari babang puluk 08.00 WIT dan sampai di desa Geti Lama pukul 12.00 WIT. Empat jam perjalanan laut dengan menggunakan kapal motor kecil. Jika belum terbiasa memang ada rasa khawatir, karena ombak disepanjang perjalanan cukup besar, terlebih rentang bulan Juli hingga puncaknya bulan Desember. Pandai berenang sebagai modal utama untuk menghilangkan kekhawatiran, atau pelampung juga bisa.

*Diterbitkan di Harian Suara Keadilan Rakyat

0 Komentar:

Posting Komentar