Senin, 21 September 2015

Kangen Yogya

Saat kangen dengan Jogja.
Akibat baca "Jejak Guru Bangsa" di atas kapal motor speed tadi saat menuju kota Labuha.
Ternyata Bapak Tiong Hoa ini pernah nyantri di krapyak. Aku bersyukur pernah masuk ke dalam pondok ini walau hanya beberapa jam saja dan walau tidak sedang nyantri sepertinya di pondok krapyak ini.

Lamunan tentang krapyak mengingatkan ku banyak hal. Terutama sekali tentang Jogja. Dan saat setelah membaca buku "Jejak Guru Bangsa", seolah aku dihubungkan kembali akan pesona krapyak ini. Kemudian, aku juga menjadi ingat akan perjalananku ke Banjarnegara beberapa bulan lalu yang hanya menggunakan sepeda dengan sedikit rawatan ─bahkan oli rantainya kering dan beberapa bearing di poros depan dan belakang roda hanya tinggal beberapa biji. Saat melintasi kota Magelang, tepatnya pas di alun-alun kota Magelang, aku bertemu dengan dua orang santri putra yang ku kira umurnya baru sepuluh atau sebelas tahun. Menurut keterangan dua santri yang sedang kedinginan di bawah pohon beringin alun-alun, mereka baru akan naik di kelas lima dan enam saat tahun ajaran baru mendatang. Keduanya aku lupa namanya, hanya saja yang lebih tua bercerita kepadaku bahwa dia dari Wonosobo, dan sedang nyantri di pinggiran kota Magelang. Sementara yang lebih muda lagi dari Secang (sebuah kecamatan yang bertetanggaan denga kabupaten Magelang.


Malam itu hujan gerimis tidak henti-hentinya, bahkan sepanjang perjalananku dari mulai masuk Sleman, Yogyakarta, aku sudah kehujanan. Dengan badan dan pakaian yang basah kuyub, aku menghampiri dua santri putra itu, dan menyapanya. Ku tanya mereka: sedang apa tengah malam kok belum pulang, hujan begini pula. Dengan sederhana dan polos mereka menjawab bahwa sudah satu pekan ini mereka sedang minggat (baca: kabur) dari pesantren. Ku tanya lebih lanjut: mengapa kabur. Santri yang lebih tua menjawab, mereka sedang tidak betah berada di pesantren. Ku tanya lagi: kenapa tidak betah. Kata santri yang tua "kulo sampung kaleh taun teng pondok, awak'e gatel-gatel kabah, wis diobati ora tau mari. Niki rencang kulo anu ngrencangi kulo minggat mawon".

Owalah, lha terus gimana, apa kamu sudah bilang sama bapak/ibu mu. Pertanyaanku lebih lanjut.

Masih dengan ringan tanpa beban, santri yang lebih tua menjawab, bahwa bapak dan ibunya sedang merantau ke luar negeri, sementara di Wonosobo ia tinggal bersama neneknya yang sudah sangat sepuh. Dari keterangan itu kemudian aku tidak berani lagi menanya-nanya. Tapi dengan sikap diam ku itu membuat dua santri itu bercerita banyak hal. Mereka bercerita berdua saja, tapi sebenarnya tujuan mereka kepada telingaku.

Mereka terus bercerita panjang. Mulai tentang ke-Minggatan-nya sampai pada hal mau sowan ke pondok pesantren Al-Munawwir Krapyak. Sampai pada cerita tentang krapyak, baru aku mulai mau angkat pertanyaan lagi. Tradisi mereka para santri yang setiap lebaran pulang ke rumah dan diajak oleh orang tuanya sowan ke rumah-rumah kiai dan terutama rumah kiai-kiai dari pondok Al-Munawwir di Krapyak, mengingatkanku awal mula aku sampai pada kota Yogyakarta.

Kedatanganku ke Yogya sebenarnya bukan dalam rangka interview kerja atau dalam rangka mencari beasiswa seperti halnya para sarjana yang baru saja lulus. Benar memang aku telah melaksanakan beberapa interview pekerjaan dan beberapa kali juga mengikuti tes beasiswa. Tapi semuanya tidak ada yang kabul. Hingga sampai pada saat aku bersepeda ria di tengah cuaca yang hujan sepanjang hari dan ku temui dua anak pesantren yang masih belia sekali, baru ku sadari bahwa kedatanganku ke Yogyakarta adalah pemenuhan atas nazarku saat mengerjakan skripsi dulu. Semua tetek-mbengek yang berkaitan dengan lamaran kerja, interview dan pencarian beasiswa hanyalah jalan yang Tuhan berikan untukku melunasi Nazar tersebut.

Aku hanya pernah ada omongan dalam hati, dan saat itu hatiku sedang resah, bimbang dan tidak menentu. Dalam larut kesedihanku, aku berkata dalam hati: Jika skripsiku selesai dan orang tua ku telah bisa menghadiri wisudaku, maka sesegera mungkin aku ke jawa (jogja) untuk menimba sedikit sahaja ilmu dari kearifan jawa (jogja).

Mungkin inilah, mengapa sampai sekarang saat aku dihampiri kesepian, selalu terkenang Yogyakarta. Terlebih dalam beberapa bulan di kota itu, bukan hal yang ku sia-siakan begitu saja. Beberapa sudut kota yogya (walau belum semuanya) ku amat-amati dan diam-diam ku nikmati, terlebih tentang sebuah nama KADIPATEN KADIPIRO. Tempat ini yang akhir-akhir ini selalu menghiasi anganku dan mimpi-mimpi dalam tidurku yang pendek.

Saat mengingat nama, tempat dan orang-orang di dalamnya. Aku hanya berharap dan berdo'a agar senantiasa dilindungi Alloh swt atas segala sesuatu yang berkaitan dengan Kadipaten Kadipiro ini. Amiin.

Kata-kata terekhir yang ku kenang dari bilik kamar ku di kampung Geti Lama tadi malam sebelum tidur adalah "HILANGKAN KEBINATANGANKU".
Sebuah judul artikel mbah Nun yang membuat sholatku hanya benar-benar tertuju padaNya. Kemudian membuatku terus berfikir bagaimana membuat pertanyaan untuk diriku sendiri tentang kebibatangan yang ada di dalam diriku.

0 Komentar:

Posting Komentar