Rabu, 23 September 2015

Haji dan Hari Sabtu Wage

Syukur alhamdulillah, atas bertambahnya usiaku yang genap 25 tahun menurut perhitungan bulan qomariyah --perhitungan tahun berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi-- atau biasa disebut tahun hijriyah. Dalam usia yang memasuki masa dewasa atau akhir dari masa transisi dari remaja ke dewasa ini, mulai ku temukan mozaik kehidupan ku sekeping demi sekeping. Walau aku juga tidak mengetahui pasti apakah ini mozaik atau hanya bagiannya saja dan atau hanya angin lalu saja. Tapi setidaknya membuatku untuk terus berfikir mencari tahu.

Sudah, agar lebih mudah ku bercerita anggap saja adalah bagian dari mozaik hidup.

"Nama" merupakan suatu ilmu yang Tuhan berikan langsung pada manusia setelah selesai penciptaannya. Kemudian lekatlah ilmu "nama" ini pada diri manusia selama ia hidup. Maka dalam kehidupannnya, manusia tidak dapat lepas dari istilah "nama". Mulai dari bayi dalam kandungan, ia mampu merespon kejadian-kejadian yang dapat ia tangkap dari perut ibunya dengan cara menggerakan bagian tubuh. Kemudian menangis saat lahir ke dunia, juga merupakan bentuk penamaan dalam merespon apa yang dialaminya. Baru setelah bayi mempunyai kemampuan untuk bicara, ia merespon dengan istilah yang samar-samaar. Misalnya minta makan, karena perutnya lapar, bayi yang sudah mulai belajar bicara akan mengucap "mam mam mam mam" sambil menangis. Si bayi menamai makan --merespon kondisi perut yang sudah lapar-- dengan sebutan "mam mam". Setelah mulai mengerti orang lain menyambutnya sebagai "makan", baru ia mengikuti yang banyak orang sebutkan itu.
Ah, serumit itu hanya soal nama!
Kata para pujangga, "apalah arti sebuah nama".
Benar, memang rumit, serumit hidup yang kita jalani saat usia kita di pintu kedewasaan --pencarian makna.

Marilah, kita masih akan membahas tentang "nama" yang sederhana saja. Saat kita masih dalam perut ibu, ayah kita atau kakek kita atau siapa saja yang berwenang memberi nama kita, berfikir keras dan tidak asal-asalan merumuskan nama untuk disematkan pada diri kita setelah lahir. Bahkan mungkin saat ayah atau ibu kita masih bujang dan gadis, mereka sudah merencanakan sederet nama untuk anaknya dikemudian hari. Artinya nama sangatlah spesial bagi orang tua sehingga perlu dirumuskan jauh-jauh hari dengan perhitungan pas dan kondisi yang tepat pula serta kalau bisa paling berbeda dari nama apa saja yang pernah ada di dunia ini. Hal ini karena "nama" merupakan keistimewaan yang akan mengangkat derajat manusia beberapa derajat. Dan hanya manusia yang memiliki ilmu "nama" ini. Bahkan malaikat pun berguru pada manusia soal nama ini. Hanya saja malaikat tidak diperkenankan menyandang ilmu "nama" ini oleh Tuhan. Sesuai dengan takdirnya sebagai makhluk yang hanya tau taat dan senantiasa mengagungkan Tuhannya.

Baik, baik, baik lah. Kita kembali soal "nama" lagi. Kita sudah tau nama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Nah, sekarang kita akan mengamati para pecinta binatang piaraan. Ya, ya, pasti setiap majikan yang menyayangi binatang piaraannya itu akan memberikan nama tertentu. Atau biasanya memang karena binatang tersebut cukup cerdas dapat berinteraksi dengan manusia dan bersahabat, sehingga pemiliknya memberi nama tertentu pada binatang piaraannya. Nah, kalau juga kita amati di konservasi binatang langka, setiap anak binatang tertentu sekarang diberikan nama tertentu juga. Namanya juga tidak kalah denga nama manusia. Tidak susah mencarinya, di setiap ada pemberitaan tentang binatang langka, entah ia lahir, mati atau dalam keadaan sakit akan terselip penyebutan nama yang indah seperti manusia dalam deretan kalimat berita itu.

Sudah cukup pembuktian bahwa nama itu begitu istimewa, bukan?

Kalau belum, mari kita tambah sedikit lagi.
Penemuan-penemuan penting dlam ilmu pengetahuan, cukup banyak nama penemunya digunakan untuk menamai hasil temuan tersebut. Penemu mesin diesel misalnya. Namanya digunakan sampai sekarang untuk karya yang ditemukannya yaitu mesin solar. Nicholas otto, juga namanya abadi pada mesin bensin. Dan banyak lagi penemu-penemu daratan, planet dan segala sesuatu yang berkaitan dengan maslahat umat manusia yang penamaannya menggunakan nama penemunya. Dengan begitu nama juga digunakan sebagai penghargaan atas jasa seseorang.

Maka maknailah sebaik dan seindah mungkin setiap nama, sebagaimana akan membawa penyandang nama tersebut kepada sumber segala sumber dan akhir dari segala akhir. Bagaimana jika di dunia ini manusia tidak mengenal istilah "nama". Tentu tidak akan ada ilmu pengetahuan yang akan bermanfaat untuk kehidupan seperti sekarang ini.

Sebenarnya ada alasan yang lebih pasti tentang ilmu "nama" berdasarkan Qur'an. Namun kapasitas ku belumlah mumpuni untuk menggunakannya. Ku harap dengan alasan sedikit di atas, dapat sedikit saja membuka jalan untuk besama-sama mencari apa yang benar, bukan siapa yang benar.
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: 'Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.' Mereka berkata: 'Mengapa Engkau hendak menjadikan khalifah di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal Kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau ?' Tuhan berfirman: 'Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidakkamu ketahui.'" (QS. al-Baqarah: 30)
"Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat itu lalu berfirman: 'Sebutkanlah kepada-Ku nama benda benda itu jika kamu memang orang-orang yang benar.' Mereka menjawab: 'Maha Suci Engkau. Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada Kami. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Allah berfirman: 'Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama nama benda ini.' Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama benda-benda itu, Allah berfirman: 'Bukankah sudah Kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu nyatakan dan apa yang kamu sembunyikan?'"(QS. al-Baqarah: 31-33).

Silakan mencari tafsir dari ayat-ayat di atas.
Dari ayat-ayat di atas, ilmu "nama" ini yang dapat meninggikan beberapa derajat manusia dari makhluk lain. Dan hanya manusia saja yang dapat menggunakannya dalam memimpin dunia.
Sabtu wage, 7 dzulhijah 1411 H. Aku di lahirkan ke dunia ini. Informasi ini ku dapat dari ibu yang melahirkan ku. Namun dalam pencatatan administrasi apapun, aku lahir pada tanggal 30 Juni 1991. Jika dicocokkan dengan bulan hijriah maka tidak sesuai. Jika menuruti tahun masehi, tanggal 30 Juni 1991 hari yang bertepatan adalah hari minggu legi dan tanggal hijriahnya tidak bertepatan dengan tanggal 7 dzulhijjah. Padahal menurut ibu, aku lahir pada hari sabtu wage dan pas menjelang hari raya idul adha. Kebetulan mbah putri (nenek dari ibu) sedang berpuasa sunah arofah.

Ku kira kekeliruan dalam administrasi pencatatan sipil ini, karena kepindahanku yang terlambat dari sekolah asal di jawa ke lampung saat memasuki kelas satu sekolah dasar. Terang sudah, dalam administrasi catatan sipil aku di-muda-kan satu tahun. Biarlah, kekeliruan ini tidak juga memberi untung atau rugi bagi ku. Toh yang tahu sebenarnya hanyalah ibuku dan Allah swt saja (ini akan menjadi makna nama ku).

Karena aku lahir di bulan dzulhijjah dan mepet sekali dengan hari raya haji, maka bapak ku yang sebelumnya telah berunding dengan mbah kakung (kakek dari ibu) memberikan sebuah nama yang paling bagus dan tiada yang menyamainya di kampungku bahkan di kecamatan sekaligus. MABRUR MUHAMMAD YUSUF, nama yang orang pun terheran mendengar saat pertama kali. Terheran dengan nama yang mestinya digunakan untuk gelar bagi seorang yang telah menunaikan ibadah haji dengan baik dan diterima Allah swt. Namun istilah Mabrur di sini diberikan untuk nama bayi yang baru lahir. Padahal ibu ku juga saat mengandung belum pernah pergi ke Mekah. Jangan pun ibuku, mbah kakungku saja yang sudah sejak lama meniatkan untuk menunaikan ibadah haji, belum juga tertunaikan --ada saja halangannya. Halangan yang pasti adalah biaya. Pada tahun 1990, untuk dapat hidup berkecukupan saja susah. Apalagi mau membayar ongkos haji. Maka maksud lain ini yang terkandung dalam nama ku. Ya, do'a. Melalui bapak ku, mbah kakung nitip doa supaya kelak ada garis keturunannya yang akan dapat naik haji dan harapannya haji yang Mabrur.

Selain itu, nama MABRUR pada nama ku ini karena memang pas lahirnya di bulan haji dan hanya tinggal tiga hari saja lebaran hajinya. Maka bapak ku pun menyetujui nama MABRUR untuk bayi laki-laki pertamanya.

Bapak ku tidak pernah memikirkan apa arti sebenarnya kata MABRUR yang telah diberikannya kepadaku ini. Ia hanya tahu bahwa kata tersebut adalah gelar yang Allah berikan kepada hamba yang telah selesai melaksanakan ibadah haji dengan sungguh-sungguh dan diterima. Dan itupun tidak pernah ia beritahukan ke aku arti tersebut. Pernah saat SMP aku pun ditanya oleh seorang guru (bukan guru agama), apa arti dari namamu. Aku tidak bisa menjawabnya dan malu setengah mati, saat guru itu, menasihati ku: masak sudah besar begini kamu tidak tau arti namamu, emang kamu gak pernah tanya atau diceritain oleh orang tuamu!!!

Nasihatnya pedas sekali. Aku hanya diam dalam keringat dingin. Karena posisiku saat ditanya sedang berada di tengah kelas yang disaksikan oleh banyak orang. Sejak saat itu aku rajin bertanya kepada siapapun yang ku kira tau seluk-beluk ibadah haji. Mulai dari guru gama yang kadang kalem dan kadang bengis sampai kepada beberapa ustadz yang menurutku mumpuni untuk menjelaskan arti dari kata MABRUR kepadaku.
Sampai pada aku selesai kuliah, belum juga ku temukan makna secara bahasa dan asal usul kata Mabrur dan mengapa digunakan untuk gelar orang yang hajinya diterima Allah swt saja. Terus ku cari, dengan banyak mengikuti kajian-kajian di berbagai media dan aku juga sempat browsing soal arti dari nama ku ini setelah mengenal internet. Ya, tentu aku mencarinya bukan dengan ambisi yang menggebu seperti ambisi tomsamcong mencari kitab suci ke barat bersama tiga muridnya. Oh yak ambisius itu!

Baru kemudian ada jalan terang saat aku mulai rajin mengikuti kajian Maiyah bersama kiyai sekaligus budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Baik itu kajian melalui media online berupa tulisa, siaran radio online, atau siaran tunda melalui youtube. Arah pikiranku mulai mengerucut pada nama yang ku sandang, dan di puncaknya adalah hanya ada Tuhan saja.

Ceritanya begini. Aku begitu keranjingan dengan kajian-kajian Maiyah. Segala sesuatu berkaitan dengan maiyah selalu ku sukai dan selalu ku kejar ke manapun perginya. Suatu kali aku sedang asik mendownload artikel-artikel kajian yang diposting pada kanan website kenduricinta.com, berbagai tulisan dari para jamaah maiyah maupun dari cak nun sendiri aku download semua dan mulai ku baca satu persatu. Kebanyakan dari artikelnya adalah berbentuk esai kritik terhadap kehidupan sosial masyarakat nusantara maupun tentang kebijakan negara dan kondisinya. Aku paling menyukai artikel cak nun yang begitu khas. Analoginya tidak jauh dari lingkungan yang yata dan yang kerap terjadi di tengah masyarakat. Apapun yang dibicarakan, yang dikritik oleh cak nun dlam tulisannya pasti bermuara pada Tuhan yang Maha pengasih lagi Maha penyayang. Konsep ini yang diam-diam aku pun mulai menikmatinya. Pada salah satu tulisan cak nun yang membahas tentang politik di jakarta pada 2014 lalu, tentang euforia masyarakat memperbincangkan prediksi cagup dan cawagub yang kuat dan yang lemah, yang akan menang dan yang akan kalah, aku menemukan beberapa istilah haji yang digunakan cak nun dalam memberi perumpamaan tentang suatu perkara politik yang sedang terjadi itu. Dalam maksud tulisan itu, kira-kira cak nun ingin mengajak masyarakat agar tidak melakukan prediksi-prediksi yang terlalu berlebihan, sehingga mengurangi ketegangan yang terjadi.

Nah, entah dari mana mulanya, kemudian Cak Nun mengungkapkan prihal peristiwa haji yang semestinya. Kemudia Cak Nun juga menjelaskan tentang asal kata Mabrur adalah bentuk pengembangan dari kata asalnya yaitu "birr" yang artinya adalah baik. Sementara bentuk kata lainnya cak nun menjelaskan pengembangan kata "birr" menjadi "abror" yang memuji arti kebaikan. Kemudian baru cak nun memaparkan kenapa Tuhan memilih kata "Mabrur" dalam memberikan gelar bagi yang bersungguh-sungguh mengerjakan ibadah haji. Dalam pemaparannya cak nun mengundang tanya sendiri: kenapa Alloh tidak memberi gelar haji birr atau haji abror saja. Bukankah dua istilah sama-sama berarti menjadi baik, dan seseorang yang telah menunaikan ibadah haji dan diterima ibadahnya tersebut akan membuat lebih baik baginya ya g mengerjakan dan kebaikan senantiasa juga menyertainya. Namun Alloh menggunakan kata "Mabrur", bukan kata lain bagi mereka yang hajinya diterima. Kata "Mabrur" sendiri memiliki arti yang tidak jauh berbeda dengan kata birr dan abror. Namun bedanya, kata Mabrur ini arti kebaikannya sangatlah pribadi. Kebaikan yang sangat intim dan private sekali antara hamba dengan Tuhannya. Tidak ada orang lain bahkan makhluk lain yang tau tentang kebaikan yang terjadi antara hamba dan Tuhannya, bagi seorang yang ibadah hajinya diterima Alloh. Intinya begitu cak nun menerangkan soal Mabrur.

Sementara itu dalam penyimpulannya, cak nun menyatakan yang kira-kita begini: sehingga puncak ibadah untuk seorang hamba adalah saat ia mendapat gelar haji Mabrur dari Alloh semata. Dan gelar ini tidak ada yang akan tahu selain hamba yang beruntung itu deng Alloh sendiri.
Dengan begitu, seorang hamba yang mendambakan gelar haji mabrur, hendaklah berdo'a dengan kesungguhan sepenuh hati dengan lisan, perbuatan, prasangka, dan nurani yang jernih. Semoga kita semua akan menuju puncak ibadah ini. Amin.

Maka dengan sepihak ku simpulkan sementara ini, namaku nunggu memiliki arti dan makna yang begitu berat untuk mu sandang. Namun, dengan itu juga aku bersyukur atas nama yang baru ku tahu beberapa bulan lalu merupakan nama yang indah tiada tara. Yang jika benar dapat ku gapai maksud dari nama ini, maka tiada nikmat selain bermesraan dengan Alloh swt.

Belum lagi selesai pencariannya akan makna nama ku ini. Maka setelah ku faham dengan arti kata Mabrur ini, beberapa hari kemudian aku melakukan perjalanan dengan sepeda gunung sejauh 140 Km. Tidak lain, ku lakukan perjalanan ini juga karena terinspirasi dan ingin meneladani apa yang pernah cak nun lakukan dalam tahun-tahun bersama Umbu Landu Paringgi (guru cak nun) saat menempa diri menjadi penyair di yogyakarta. Cak Nun dan Umbu berjalan kaki kurang lebih sejauh150 Km untuk membacakan sebuah puisi saja, agar dapat meresapi pendeklamasian yang mendalam. Dan perjalanan tersebut mereka lakukan hanya dengan semalam saja. Kemudian aku hanya berfikir, untuk dapat meresapi puisi saja mesti berjalan sejauh itu. Kemudian timbul pertanyaanku: apa saja yang mereka dapat dari perjalanan itu? Dan apa saja ya g mereka rasakan selama melakukan perjalanan itu. Apa yang mereka dengar, apa yang mereka lihat, apa yang mereka makan, apa yang mereka minum, dan semua yang mereka alami sebelum, saat berlangsung dan sesudah melakukan perjalanan itu.

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuat ku penasaran dan ingin juga melakukan seperti mereka. Namun dengan kesadaran penuh, fisik ku tidaklah sekuat mereka yang telah terbiasa berjalan jauh dengan medan apapun. Dan mentalku juga tak setangguh mereka. Dan aku juga tiada pengalaman perjalanan seorang diri dengan jarak yang sejauh itu. Aku terus berfikir, bagaimana caranya supaya pertanyaan-pertanyaan ku itu terjawab walau tidak semua. Aku mencari teman, tidak mungkin, karena di jaman ini siapa yang mau melakukan kegiatan konyol seperti itu. Sementara kendaraan model apapun untuk menempuh jarak sejauh itu sekarang telah tersedia di mana-mana. Tinggal pakai saja, selagi punya ongkos yang cukup. Hanya perlu beberapa waktu aja untuk menepuk perjalanan 150 Km, tinggal tidur sebentar di dlam mobil tau-tau sudah sampai aja. Aku pun mengurungkan niat mencari teman. Dan kemudian aku mendapat jalan dari sepeda yang teronggok karatan tidak pernah dipakai di depan kamar kos.  Ku amat-amati dan ku kira-kira sepeda karatan itu. Ternyata masih bisa digunakan walau saat berjalan bunyinya seperti katrol timba yang bertahun-tahun tidak terpakai kemudia ada orang kehausan dan mengerek timba mengambil air di sumur dengan bunyi "krak krek krak krek, reeeeeeek sreek reeek krek krek". Ku perkirakan bearing di setiap poros roda depan dan belakang hanya tinggal beberapa butir saja, tidak lagi melingkari poros rodanya. Dan poros rodanya bergesekan dengan rumah porsinya masing-masing. Sehingga gesekan antara dua logam yang sama keras tanpa lapisan pelumas menimbulkan suara khas dari bagian poros roda. Dan ku putuskan, aku akan melakukan perjalanan dengan sepeda ini. Maka sore harinya, saat semua teman-teman berada di kamar kos masing-masing, aku menanyakan siapa tuan dari sepeda itu dan aku meminjam padanya.

Kebetulan besok malamnya sebelum aku berangkat di pagi harinya, ada jadwal kajian Maiyah di alun-alun temanggung Jawa Tengah. Maka ku niatkan arah tujuan perjalanan ku ke alun-alun Temanggung. Teman-teman di kos tiada yang tau aku akan berjalan jauh ke luar daerah dengan sepeda yang lu pinjam itu. Mereka hanya mengira aku meminjam sepeda untuk berjalan ke perpustakaan kota Jogja saja. Dan aku pun berangkat saat semua teman-teman kos semua sedang pergi ke kampus untuk kuliah.
Aku berangkat setelah ibadah shalat jumat. Kita-kira pukul 13.00 waktu Jogjakarta. Cuaca begitu terik, namun sepeda yang telah ku pompa rodanya itu tetap.Ku goes dengan tas hitam kesukaan ku nemplok di punggung. Sesekali aku beristirahat di tempat yang sedikit teduh. Jika terlalu lelah dan merasa haus aku mampir ke angkringan untuk minum es teh atau es jeruk. Perlu diketahui uang yang kubawa dalam perjalanan ini hanya sepuluh ribu rupiah saja. Maka aku mesti hemat-hemat untuk membelanjakannya. Yang sepuluh ribu rupiah kalau hanya untuk minum jelas es teh di jogja dan sekitarnya masih bisa dibelanjakan untuk lima atau enam gelas. Maka dalam cuaca yang terik itu aku sempat istirahat agak lama dan masuk ke angkringan sebanyak tiga kali di tempat yang berbeda-beda.  Setelah istirahat yang ketiga, aku kembali berjalan. Sementara jalan menanjak lereng Merapi --aku menggunakan jalur jogja-magelang. Baru sampai di alun-alun Sleman hujan dengan derasnya datang tanpa aba-aba. Aku berteduh. Semakin sore, semakin lebar air hujan turun. Dan aku memaksakan diri untuk melanjutkan perjalanan, dengan harapan sambil berjalan ke utara hujan akan berangsur mereda. Semakin jauh ku berjalan menuntun kepadaku di tanjakan, hujan semakin lebat disertai gemuruh dan kilat menyambar-nyambar apa saja yang berpotensi dijangkaunya. Semangat ku surut dan nyaliku menciut, cepat-cepat aku lari sambil merunduk ke arah sebuah rumah di pinggir jalan untuk berteduh. Tak henti-hentinya aku mohon perlindungan kepada Tuhan.

Hujan belum lagi sepenuhnya reda, namun gemuruh dan kilat sudah tidak lagi berkeliaran, ku beranikan melanjutkan perjalanan. Kali ini ku goes pedal aepedaku, walau jalan masih menanjak. Sekuat tenaga kukayuh sepeda karatan itu untuk merayap di tanjakan yang basah dan sebagian dialiri air hujan yang masih deras. Hingga kurasakan kata berkunag-kunang, baru ku hentikan goesanku. Dan aku menjatuhkan diri di rerumputan tepi jalan raya. Sudah tak dipedulikan lagi bagaimana sepeda yang ku naiki ikut terjatuh. Aku masih sadar, tapi yang ku rasa hanya rasa pegal di dua tulang paha ku, akibat menggoda terlalu dipaksa. Aku berguling ke kanan dan ke kiri di tepi jalan Sleman-Magelang (kilometer berapa, aku sudah lupa) tak peduli dengan pengguna jalan yang melintas. Yang ku rasa gaya pegal di tulang paha ku sampai kepala pun seperti berdenyut-denyut mau pecah. Karena kelelahan ku menahan sakit, aku sempat tertidur di rerumputan itu. Dan saat sadar, kaki ku terasa ringan sekali, seperti tidak sedang membawa beban tubuhku. Aku pun bersemangat kembali melanjutkan perjalanan. Walau saat aku bangun dari tidurnya di rerumputan itu langit sudah gelap dan la.pu jalan sudah menyala, tapi semangatku justru seperti matahari yang baru muncul di timur.

Hari itu hujan tiada reda hingga tengah malam. Rasa dingin sudah tidak lagi ku rasa, basah atau kering sama saja. Seolah aku dengan air hujan beserta suhu yang menyertainya telah menjadi satu. Sehingga tiada lagi dingin ku rasa, karena aku adalah bagian yang seimbang dari suhu dingin itu sendiri.

Dan, dalam topik lain saja ku ceritakan lebih detail tentang perjalanan bersama sepeda karatan itu. Singkat cerita, aku smapi di Banjarnegara (tempat nenekuk) keesokan harinya menjelang tengah malam. Di Banjarnegara ini aku mendapat tambahan pencerahan soal hari lahir dari nenek ku.

Sabtu wage adalah hari kelahiran ku. Menurut perhitungan orang jawa dulu, anak yang lahir pada hari sabtu wage ini, ia adalah anak yang lola (yatim) dalam hal ilmu. Ia tidak akan memiliki seorang guru. Namun ia adalah penuntut ilmu sejati. Keyatimannya dalam hal ilmu ini, membuat ilmu itu sendiri yang akan tumbuh dari dalam dirinya. Ilmu itu yang datang padanya. Hanya bagaimana iya akan menggalinya dan menggunakannya.

Begitulah kira-kira penjelasan mbah putri (nenek) ku, setelah mendengarkan cerita tentang perjalanan ku yang sejauh 140 Km melewati gunung, lembah, panas, hujan, siang dan malam. Perbuatan baik sungguh menyenangkan.

0 Komentar:

Posting Komentar