Rabu, 24 Januari 2018

Surat Puisi I



Surat Puisi I
Sapardi Djoko Damono

Esai ini terbit di Mingguan Pelopor Yogyakarta menjelang peluncuran Persada Studi Klub, rubrik sastra asuhan Umbu Landu Paranggi. Saya salin dari klipingan dari arsip pribadi seorang sastrawan; Suwarno Pragolopati, yang sekarang disimpan di Perpustakaan Ean Yogyakarta, bersama arsip-arsip lain yang beliau kliping. Sumonggo, menawi manfaat. 

Kenapa orang menulis puisi, tanyamu pada suatu hari. Kenapa orang masih juga menulis puisi, meskipun puisi tak lagi memberi untung baik prestise maupun materiil kepada penyairnya? Mungkinkah orang menulis puisi hanya karena kesombongan yang palsu untuk disebut pujangga, sebab jaman yang lampau dulu kedudukan pujangga sangat tinggi di tengah masyarakat? Apakah puisi itu bukan hanya hasil kerja orang yang tak punya kerja saja? 

Aku takkan marah padamu, walau aku ada dipihak mereka yang mencintai puisi. Mereka yang menolak puisi dan belum pernah sekalipun paham makna puisi, akan memberontak apabila dituduh kurang berpengetahuan. Sedang mereka yang tak punya sangkut paut dengan puisi, tapi bisa memahami puisi, diam-diam akan merasa bangga jauh dalam lubuk hatinya. Kau jangan menolak kebenaran itu! Diam-diam dalam kelasmu kau tentu merasa superior diantara teman-temanmu hanya karena karena kau tahu puisi dan mengerti serba sedikit tentang puisi. 

Tak ada seorangpun yang bisa membantah bahwa penyair adalah anggota masyarakat. Penyair adalah sebagian dari masyarakat yang takkan berguna pada apabila Ia samasekali terpisah darinya. Iapun turut memahami pahit getir dan bahagia masyarakat, dan mampu memahami dan menghayati sebagai seorang yang sedikit banyak. Dan seperti orang lainpun Ia menghadapi pelbagai persoalan dan masalah yang tak habis-habisnya mengancam dari segenap jurusan. Lewat puisinyalah Ia ingin agar orang lain bisa mendengar keluh, tangis, dan tawanya dalam jawabannya terhadap persoalan tersebut. 

Penyair adalah orang yang selalu ingin bicara kepada seorang lain. Yang ingin mengatakan segala-galanya, agar segala orang biasa mengambil bagian dalam masalahnya. Sebuah sajak adalah suatu jeritan dari seorang yang ingin memecahkan sunyi yang melingkupi dirinya, agar orang lain bisa percaya dan memahaminya. Jadi sajak adalah kurang lebih penghubung antara si penyair dan pembaca sajaknya. Sajak adalah alat komunikasi. Seperti juga kau. Kalaubpada suatu saat terjerat pada suatu masalah yang rumit dan menekan, kau selalu ingin mengatakan itu kepada orang lain agar bisa lebih lega terasa. Tapi pada saat itu pula kau tak sadar bahwa kau butuh berhubungan dengan orang lain. Begitu pulalah kira-kira sebuah sajak terlahir. 

Alat seorang penyair adalah kata, kata dan kata. Segala seluk beluk dan penjuru tentang kata itu harus Ia kuasai benar-benar, untuk bisa mengajak kita bercakap tentang apa saja dengan baik. 

Tapi, tanyamu, kenapa pula sajak-sajak itu biasanya sukar ditangkap maknanya? Apa termasuk kesombongan penyairkah untuk menyusun bahasa yang sulit diketahui oleh orang lain? Awas, kita sampai di tikungan yang berbahaya. Sajak yang gagal sebagai alat komunikasi adalah sajak yang gagal. Tapi apabila dalam menghadapi sebuah sajak dan kau tak bisa mengetahui maknanya jangan terburu menuduh: sajak itu gagal! Nanti dulu, nanti dulu. Ada syarat tertentu untuk bisa menerima sajak dengan baik, ini menyinggung intelek dan imajinasi. Yah, tak pernah ada tuntunan terhadap setiap orang untuk bisa menerima sajak dengan baik, sebab tak pernah ada saat kapan setiap orang bisa memahami syarat tersebut. Jangan kau kira bahwa hanya kekuatan intelektual saja yang perlu didikan. Kekuatan imajinasi juga perlu didikan. Sedang engkau tentunya juga bernasib malang sepertiku dulu tidak pernah menerima didikan untuk mengembangkan imajinasial tatkala di sekolah. Tak usah kau kutuk sistem pendidikan kita ... guru-guruku dulu hanya mendidikku dalam mengembangkan daya intelektualku saja. Dan bagi mereka yang tak sempat mengembangkan daya imajinasinya di luar lingkungan tembok-tembok sekolah, tentunya tak bisa dengan mudah menerima puisi, atau juga hasil seni yang lain. 

Sajak adalah alat komunikasi. Dan alat untuk menciptakan sajak itu adalah bahasa. Bahasa yang imajinatif. Aku tahu; buku-buku yang kau hafal tiap hari buat ulangan-ulangan sekolah adalah bahasa yang menggunakan bahasa nonartistik. Itulah pula salah satu sebab kenapa sajak sukar bagimu. Dan sekarang akan kucoba berurusan dengan contoh-contoh. Dalam mata pelajaran ilmu bumi alam kau akan membaca keterangan tentang Mega sekira-kira sebagai berikut:

Mega: uap air yang naik ke langit dan kemudian menjadi air. 

Lihat Mega, lain sama sekali Ia. 

Tapi seorang penyair yang memandang menulis seperti berikut:

Mega putih adalah tampungan segala bencana. 
Mega putih telah lewat. 
Maut menunggang di punggungnya. 
Mega putih adalah musyafir yang kembara. 
Kalut dalam tempuhan angin. 
Binasa dalam kesepian, juga biru. 
Tiada bapa, tiada bunda. 
Tanpa kasih tanpa cinta! 
(Mega Putih, W. S Rendra) 

Itulah beda antara ilmu pengetahuan dan puisi. Dalam ilmu pengetahuan orang harus bersifat analitis, sedang dalam puisi orang selalu melihat hubungan antara benda-benda.  Puisi adalah suatu keseluruhan yang tak bisa dipisahkan. Merasa agak sedih setiap kali kau memintakan buat menerangkan makna sajak sebaris demi seanalisa, sebuah sajak mulai memecahkannya, begitu hancur baris. Begitu Ika muli mengarang sajak itu sebagai sajak. Ia berhenti sebagai sajak di situ. 

Engkau barangkali akan menuduh lain lagi, masalah yang dibawa penyair kalau begitu yang tak wajar. Artinya tak bisa dimengerti orang. Tidak sama sekali tidak. Seorang penyair selalu bercakap tentang segala sesuatu yang berpegang pada pengalaman manusia. Kalau ada seorang penyair yang mencoba memutuskan hubungan sama sekali dengan pengalaman manusia itu atau kebudayaan masyarakat, Ia sudah tak normal lagi. Barangkali juga sikap dan pandangan-pandangan hidup orang yang menulis syair itu lain dengan sikap dan pandanganmu. Tapi tak berarti apa-apa! Orang hanya bisa menerima kenyataan-kenyataan dan kebenaran. Kan bagaimanapun juga belajar membukakan dirimu untuk mengerti adanya kenyataan-kenyataan lain yang kadang-kadang sama sekali lain dengan apa yang selama ini ada dalam pikiranmu. 

Ku harus tidak takut kepada kebenaran yang menghadapi dirimu. Jangan gemetar kau kalau kau baca sajak pendek dari Jepang ini:

Mimpi sayang dengarlah
pimpiku
jangan kau bawa daku
bersama
dengan orang yang kucinta 
sebab apabila aku nanti 
terjaga
akan terasa: betapa sunyinya! 

Itulah kebenaran, bukan? Yah, sudahlah kau tak usah terus menerus menerjang puisi, dan akupun tak perlu pura-pura yakni bahwa setiap orang bisa menyelami puisi. Akupun sudah lama tahu kenyataan ini; puisi memang kadang terlalu sukar "atau agak remang" bagi sebagian besar orang kebanyakan, pada jaman ini; atau pada jaman kapanpun. Seperti juga engkau masih banyak mereka yang mengeluh tentang kesukaran.  ... usaha yang tak gampang. 

Para penyairpun maklum bahwa puisi mereka hanya bisa diterima oleh segolongan tertentu dalam masyarakat saja. Mereka tidak menuntut apa-apa hanya dalam hati kecil mereka secara diam-diam mereka berharap agar bisa bercakap dengan golongan yang lebih luas lagi. Seorang penyairpun seharusnya insyaf bahwa golongan itu masih menyempit, artinya bakal kehilangan tempat di sini. Ini bisa terjadi apabila penyair mulai menggunakan bahasa yang menyerupai kode, lambang atau simbul yang hanya dimengerti oleh segolongan orang saja, beberapa orang saja. Sedang masyarakat luas tak punya kuncinya sama sekali. Di sini pula sajak sebagai alat komunikasi telah gagal. 

Para penyair modern, dalam mencari kepribadiannya sendiri, telah menolak segala sesuatu yang konvensionil dan tradisionil. Beberapa penyair telah begitu hebatnya memberontak, sehingga Ia sampai pada suatu bahaya besar. Kehilangan kontak dengan masyarakat. Me ... untuk memisahkan diri dari masyarakat. 

Tapi tidak! Selama manusia diam-diam masih mempunyai keinginan untuk selalu berhubungan dengan orang lain, selama itu pulalah masih lahir sajak-sajak. Dan selama itu pulalah masih ada orang yang bersedia membukakan diri bagi suara orang lain. Tak perlu dielakan kenyataan bahwa problem sebagai alat komunikasi adalah problem yang abadi bagi puisi. 

Pada akhirnya aku perlu mengingatkanmu bahwa penyair bukanlah filsuf. Renungan yang dalam saja belum cukup, pikiran yang muluk-muluk saja belum cukup buat melahirkan puisi. Dan pada suatu ketika kau akan sadar, bahwa setelah membaca satu atau dua sajak yang agung, kau merasa sedikit tak enak. Itulah salah satu ciri sajak besar. Manusia selalu merasa tak enak dihadapkan pada kenyataan, terus terang, pada kebenaran yang blak-blakan. Tapi kau harus, atau setidaknya berusaha begitu. Jangan takut. Salam. 

0 Komentar:

Posting Komentar