Minggu, 10 Juni 2018

Kutu Loncat di Kepalaku Berteriak; "Amboniki!"


Amboniki. Nama yang cukup asing terdengar di telinga Jawaku. Namun untuk telinga yang menjadi teman setia dalam setiap perjalananku, nama Amboniki seperti tak asing. Dalam kepalaku langsung berjingkrak beberapa kutu loncat saat menemukan sebuah kartu bergambar dengan tulisan kecil SD Negeri Amboniki. Ambo, adalah kata ganti orang pertama tunggal yang cukup halus lagi sopan dalam pengungkapan bahasa Minangkabau. Tentu cukup akrab di telingaku, karena lima tahun lebih telah kuhabiskan untuk menempuh studi di ranah Minang. Niki, juga ungkapan yang cukup halus dan sopan dalam bahasa Jawa, yang artinya; 'ini'. Jadi Amboniki adalah semacam ungkapan perkenalan yang cukup akrab sekaligus sopan; "Saya Ini..." pikirku bersama kutu loncat yang berjingkrak-jingkrak kesenangan saat mendapati nama desa penempatan.

Begitulah si kutu loncat sering jahil berjingkrak-jingkrak mengimajinasikan sesuatu. Sambil tersenyum malu sendiri, kuamat-amati lebih detil isi dalam kartu. Kartu dengan potret beberapa siswa menyongsong ke arah pengambil gambar di sebuah halaman sekolah dengan pakaian merah putih. Dalam kartu itu juga tertulis, kiranya; anak-anak Amboniki menunggu dan telah rindu kehadiran pak Guru Mabrur di sekolah.

Ah, kalimat apa-apaan ini, pikirku saat menemukan kartu itu di bawah terang lilin ruang pelatihan Intensif Calon  Pengajar Muda, Indonesia Mengajar. Bertemu saja belum, sudah rindu, imbuhku dalam senyum aneh. Malam itu adalah pembagian desa penempatan. Desa Amboniki lah tempatku bertugas selama satu tahun ke depan di bumi Anoa (Julukan untuk Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara).

Seminggu kemudian, sampailah aku di desa tersebut. Dipandu oleh Diyan (teman Pengajar Muda angkatan 14) yang telah purna tugas, juga sebelumnya berpenempatan di desa Amboniki.

Untuk sampai di Amboniki tentu tak mudah. Tidak seperti perjalanan Jakarta-Bandung dengan naik kereta atau bus yang tinggal tidur, lalu sampai. Perjalanan normal dapat menghabiskan waktu lima sampai enam jam. Tapi saat musim penghujan bisa butuh waktu setidaknya sepuluh sampai dua belas jam perjalanan, atau dua puluh empat jam dan bermalam di jalan juga sering. Setidaknya begitulah keterangan Diyan padaku, sebelum berangkat.

Benar saja. Berangkat dari Unaaha (Ibu Kota Kabupaten Konawe) pukul 10.00 WITA dan baru keesokan  hari pukul 07.30 WITA kami sampai di Amboniki. Sekali lagi, ini tak semudah perjalanan naik kereta atau bus dari Yogyakarta-Jakarta yang tinggal tidur lalu sampai.

Kira-kira, jarak tempuh memang hanya kisaran 86 Km, dengan medan jalan tanah merah dan belum sepenuhnya keras. Bertepatan juga, beberapa minggu terakhir Konawe dan sekitarnya sedang kelimpahan hujan terus menerus. Tentu paham, jalanan bermedan tanah saat terguyur hujan dan terus menerus berlalu lalang kendaraan (sepeda motor dan mobil) di atasnya. Menjadi lumpur kental lagi lengket—seperti coklat sedang dimasak setengah matang. Pada sejumlah titik terbentuk kubangan-kubangan yang kerap menjebak mobil atau sepeda motor terselip rodanya diantara lumpur.

Mobil yang kami tumpangi mulai berendam pada salah satu kubangan pukul 15.00 WITA. Dan baru bisa keluar dari kubangan pukul 18.30 WITA, setelah kami berbuka puasa. Seorang sopir dan dua orang awaknya berusaha berbagai cara untuk mengeluarkan mobil dari kubangan. Didorong, ke depan dan kadang ke belakang. Juga ditarik dengan seutas tali tambang dengan tenaga penarik para musafir yang sedang berpuasa berjumlah dua orang laki-laki dan empat orang perempuan.

Kami melanjutkan perjalanan dengan lelah, dengan harapan sisa perjalanan lancar, tidak lagi terjebak dalam ketel pemasak coklat—julukan yang kuberikan untuk kubangan di tengah jalan.

Memang manusia hanya bisa berharap, kenyataan lah yang semestinya diterima sepenuh hati dan sepenuh daya. Karena baru saja kami berjalan kurang lebih satu jam menerobos gelapnya rimba Konawe, kami terjebak lagi dalam ketel coklat. Kali ini lenih dalam. Mobil yang kami tumpangi tertanam—demikian masyarakat menyebutnya—nyaris sama sekali tak bisa bergerak. Baik maju maupun mundur. Bagian per mobil tersangkut pada gundukan tanah yang terbentuk oleh dua jalur roda kanan-kiri setiap mobil yang melintas. Hampir-hampir poros propeler mobil juga ikut tersangkut, hanya tinggal hitungan senti saja jarak tanah dengan poros propeler. Bahkan dua roda belakang hanya menyisakan tak sampai sepertiga lingkaran roda. Kami harus menggali habis gundukan tanah, tempat tersangkutnya per mobil.

Di sini aku mengenal Diyan dan Siska (teman PM angkatan 14) yang telah satu tahun hafal dan khatam dengan jalanan ini selama menjadi Pengajar Muda. Apa lagi mereka mondar-mandir antara desa dengan Ibu Kota Kabupaten menggunakan sepeda motor. Betapa susah-senang berjalan telah mereka lalui untuk sedikit saja membantu atau sekedar menemani proses pertumbuhan pendidikan anak-anak di kecamatan Latoma; desa Latoma Jaya dan Amboniki. Tentu aku tak akan heran jika Diyan dan Siska berasasal dari daerah seperti di Konawe ini. Namun keduanya berasal dari kota besar seperti Jakarta dan Bandung, yang tantangannya kemacetan tapi dengan jalanan yang cukup baik bahkan tol. Dan di Konawe ini, sungguh besar nyali mereka, dua orang perempuan berkendara sepeda motor dengan medan berlumpur sepanjang 86 Km dan sepanjang itu juga yang dilalui adalah hutan belantara. Sewaktu-waktu bisa saja bertemu beraneka binatang buas di tengah perjalanan. Anoa, babi hutan, atau rombongan sapi liar. Belum lagi dengan lintah yang tahu-tahu bisa saja sudah berkumpul di bagian tubuh. Karena medan berlumpur dan kanan-kiri hutan pastilah binatang pengisap darah-darah manis senang bersemayam.

Di ketel coklat yang ke dua ini, sungguh tenaga kami dikuras. Menggali dan terus menggali tanah dan lumpur, menarik dan mendorong mobil. Tapi mobil tetap jalan di tempat dengan raungannya yang memantul antara dinding perbukitan Abuki.

Hari bertambah malam, gerimis mulai datang. Udara menjadi dingin, ditambah kami perlu terus waspada dari lebah hutan yang menyongsong lampu mobil dan lampu senter yang kami bawa. Saat terancam, misal terinjak atau terjepit, lebah ini tak segan untuk langsung menyengat. Sengatan lebah hutan ini cukup sakit, pegal bercampur gatal. Jadi kami sambil bermandi lumpur tengah malam juga harus berebut cahaya dengan para lebah untuk terus menggali tanah dengan alat seadanya (satu cangkul kecil dan satu skop pasir). Alat yang telah dipersiapkan awak kendaraan untuk berjaga-jaga saat tertanam seperti ini di tengah hutan.

Dengan sangat terpaksa, mobil harus diinapkan di tengah kubangan berlumpur kental. Awak kendaraan berjaga di mobil. Sementara para penumpang dijemput oleh keluarga—yang telah mendapat kabar bahwa kami terjebak di kubangan, dari seorang pedagang sayur yang melintas dan berhasil lolos dari jalanan lumpur. Kami berempat (Siska, Diyan, Legi dan aku sendiri) dijemput oleh empat motor yang dikirim oleh keluarga angkat Siska. Kebetulan rumah keluarga angkat Siska—yang kemudian menjadi keluarga angkat Legi, karena Legi yang menggantikan Siska di desa Latoma Tua—berada di desa yang terdekat dari tempat kami terjebak di kubangan. Sementara untuk sampai di Amboniki, masih harus melalui enam desa lagi, dengan jarak antar desa rata-rata 5-10 km. Jadi Saya dan Diyan tidak bisa meneruskan perjalanan ke Amboniki malam itu juga. Kami bermalam di rumah keluarga angkat Siska.

Sampai di rumah Papa Ken (sebutan untuk keluarga angkat Siska dan Legi) pukul 23.00 WITA, dengan badan penuh lumpur dan kedinginan. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Papa Ken dan melanjutkan perjalanan esok hari.

Pagi-pagi sekali kami naik ke desa Amboniki dengan motor pinjaman dari keluarga Papa Ken. Singkat cerita kami sampai di Amboniki langsung disambut oleh anak-anak SD N Amboniki yang tengah bermain di suatu halaman rumah. Seketika mereka menyongsong kami. Membuntut di belakang motor yang kami kendarai.

Benar saja kata Rindu yang tertulis pada kartu penempatan, ampuh menemui takdirnya. Anak-anak langsung lengket, menggandeng tanganku mengajak bermain di halaman sekolah. Mereka menyambutku dengan tabur bunga dan memberikan ikatan-ikatan bunga perdu yang tumbuh di halaman sekolah kepadaku.

Ah, tak banyak yang dapat diungkapkan untuk melukiskan kerinduan anak-anak terhadap sesosok calon guru mereka. Calon guru yang baru bertemu dalam dongeng penghibur anak-anak atas perpisahan guru tercinta mereka. Guru yang selalu menemani hari-hari mereka bermain. Di sekolah, di kebun, di sungai dan juga di rumah. Ialah guru Pengajar Muda yang mereka sayangi. Anak-anak yang berjumlah hanya dua kali hitungan jari-jari tangan, harus bersedih sekaligus senang atas gurunya. Bersedih karena harus berpisah dengan guru tersayangnya, yang tentu banyak mereka kenang. Senang karena mereka mendapat guru baru yang sudah mereka rindukan dari cerita dongeng penghibur perpisahan.

Amboniki, berhasil lah kau meluluhkan hati, untuk berbuat sebisa-bisanya dengan setulus-tulusnya pengabdian pada ibu pertiwi. Dengan semangat binar ceria anak-anak yang tulus, manis sekali senyumnya. Hingga tak tertahankan jika kami para pemuda harus berpaling dan pergi begitu saja tanpa turut memberi suatu arti pada senyum setulus itu.

0 Komentar:

Posting Komentar