Rabu, 22 Oktober 2025

Jalan Pulang: Sebuah Pembuka yang Bodoh

Sumber gambar: fb

Kadang cinta tidak datang dengan dentuman besar, melainkan dalam hening paling khusyuk, di sela-sela ritual ibadah dan notifikasi yang saling bertabrakan. Raka tahu itu sejak mengenal Lira. Ia tidak pernah benar-benar jatuh cinta─setidaknya bukan seperti ini─seolah setiap detak jantungnya menegur dirinya sendiri: “Jangan, kau bukan orang suci.” Namun cinta diam-diam adalah ibadah paling sepi, dan Raka memilih memeluk sepinya tanpa banyak bicara.

Dulu, Ia beribadah sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Doa baginya hanyalah daftar rapalan yang mesti diselesaikan. Tapi sejak mengenal Lira─yang wajahnya selalu tenang dan langkahnya seolah tak pernah tergesa─Raka mulai merasa ada getaran lain dalam setiap rukuk dan sujudnya. Ia tidak tahu kenapa, hanya tahu bahwa setiap gerak dalam ibadahnya terasa lebih jujur dari semua retorika yang berkembang dalam pikirannya. Kadang di atas motor, di tengah lampu merah yang panjang, tiba-tiba matanya menjadi sembab tanpa tahu sebabnya.

Ia kini mengerti bahwa keimanan tidak tumbuh dari rasa takut terhadap neraka, melainkan dari keberanian untuk hidup di dunia yang selalu menggoda. Ia benci dogma yang mengurung, yang mengancam dengan neraka dan menjanjikan surga, seolah manusia hanyalah pion yang harus tunduk tanpa berpikir. “Setinggi-tinggi iman,” pikir Raka, “dibangun di atas tanah yang becek oleh godaan, bukan di langit yang suci tempat para malaikat.” Ia sering teringat syair Abunawas yang sering dilantunkan sebagai puja-puji di toa masjid kampung; bahwa manusia seperti dirinya tak akan kuat jika harus berada di dalam neraka, tapi juga Ia merasa tak layak untuk mengidamkan surga. Dan di situ Ia merasa, barangkali yang Tuhan mau hanyalah kejujuran, bukan kesempurnaan.

Lira, gadis muda penutup abad lalu─Gen Z pertama yang tumbuh dengan layar dan kode moral sekaligus─punya cara sendiri menjaga hati. Ia bukan gadis yang dingin; Ia hanya memegang prinsip dengan kedua tangannya yang mungil tapi kokoh. Kepada siapa pun, termasuk Raka, Ia menjaga jarak secukupnya. Tapi dalam tiap gestur kecil─dalam senyum yang tertahan, dalam ucapan “hati-hati di jalan” yang disisipkan di antara kalimat kerja─Raka merasakan sesuatu yang samar, seperti daun jatuh ke air: nyaris tak bersuara, tapi bergelombang jauh di dalam.

Ia tak pernah berani banyak bicara. Ia hanya menulis kalimat-kalimat absurd di linimasa, tanpa menyebut nama, tanpa makna jelas─sebuah upaya putus asa agar Lira tahu, bahwa ada seseorang yang memikirkannya di balik semua kepura-puraan profesional itu. Kadang Ia tertawa pada dirinya sendiri: betapa norak, betapa kekanak-kanakan. Tapi bukankah semua cinta bermula dari ketidakdewasaan yang tulus?

Raka bekerja di sebuah konsultan riset pertanian, berpindah dari satu daerah ke daerah lain, menulis laporan tentang kesejahteraan rumah tangga petani─sementara pikirannya entah kenapa selalu kembali pada Lira. Ia tahu, mereka berdua ingin hal yang sama: hidup sederhana, tanah yang bisa ditanami, waktu yang cukup untuk bernafas dan beribadah, tanpa harus diperbudak oleh ambisi dan angka. Mereka sama-sama ingin menjadi manusia biasa─yang cukup, bukan kaya; yang damai, bukan ambisi terkenal.

Kadang, di tengah riset harga komoditas dan data petani kecil yang tak kunjung membaik, Raka bergumam sendiri, “Berbuat baik boleh.” sambil tersu menekuri perolehan data dan bayangan target akan ambisi program-program pemberdayaan, ia menambahkan lirih, “Tapi kalau kebaikan dilakukan dengan menguras orang lain hingga kering, itu bukan kebaikan. Itu ketidakadilan yang berdzikir dengan sepinya sendiri.”

Dan setiap kali Lira membalas pesannya dengan sekadar emotikon senyum, Raka tahu: itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bertahan satu minggu lagi di dunia yang makin sulit Ia pahami. 

***

Malam turun seperti rahmat yang lelah. Lampu kota berpendar dalam kabut tipis; dari jendela kosnya, Raka melihat bayangan dirinya di kaca, samar, terbelah antara dunia nyata dan layar ponsel yang terus menyala. Notifikasi berbunyi pelan, dan untuk sesaat ia mengira itu dari Lira. Tapi bukan. Hanya iklan. Selalu iklan dari reksa dana dan pasar uang.

Ia mematikan layar, lalu termenung. Seandainya hidup manusia bisa diatur seperti algoritma─cukup hapus kesalahan, atur ulang kenangan, dan simpan semua rasa di folder yang rapi─mungkin cinta tidak akan serumit ini. Tapi manusia, pikirnya, diciptakan untuk berantakan. Dan di antara berantakan itu, ada yang disebut harapan.

Ia duduk di tepi ranjang, memegang buku catatan kecil. Tak ada yang istimewa dengan benda itu, hanya buku untuk menuangkan pikiran agar tidak terlalu overthinking. Kadang Raka membuka beberapa lembar dan meraih pena tanpa sadar sambil menarik nafas pelan, mencoba membaca kembali antara keyakinan dan keraguan─dua hal yang, entah bagaimana, selalu beriringan.

Ia teringat hari-hari ketika iman terasa seperti rutinitas yang tak punya ruh. Kini, ada gerak yang membuat ibadahnya lebih jujur, tapi juga lebih berat. Ia takut kehilangan ketenangan itu─takut jika perasaannya pada Lira hanyalah ujian kecil yang bisa merusak seluruh keseimbangan batinnya.

Namun di sisi lain, rasa itu juga menumbuhkan sesuatu yang baru. Seperti pohon kopi yang tumbuh di tanah keras, menembus lapisan batu demi sedikit air. Begitulah cintanya: bukan untuk dipamerkan, hanya untuk bertahan.

Di luar, suara kendaraan lewat seperti doa-doa yang tak sampai. Kota ini sibuk menampilkan kebahagiaan: orang-orang tertawa di layar, berbagi nasihat, membangun citra, menulis kata-kata bijak yang mereka sendiri tak mampu jalani. Dunia seolah menjadi tempat di mana semua orang ingin terlihat baik, tapi tak punya waktu untuk benar-benar menjadi baik.

Raka menarik napas panjang. Ia tahu, setiap kali menulis absurd, ia sebenarnya sedang berbicara dengan Tuhan, bukan dengan Lira. Tapi Tuhan mungkin sedang sibuk menenangkan hati orang lain yang lebih hancur darinya.

Di ujung malam itu, sebelum tidur, ia berbisik dalam hati:

"Aku tidak ingin apa pun, Ya Tuhan. Cukuplah aku bisa mencintai dengan damai. Tapi jika Kau izinkan, biarlah dia tahu─bahwa ada seseorang yang mengharap kasi Mu untuknya, bahkan tanpa nama."

Dan dengan itu, Raka memejamkan mata.

Malam pun menutup dirinya perlahan, seperti seorang ibu yang menidurkan anak yang terlalu banyak berpikir.

***

Hari itu matahari terbit seperti biasa, tapi rasanya sinarnya tidak sampai ke hati. Kantor konsultan tempat Raka bekerja sudah ramai sebelum jam delapan. Bunyi notifikasi di grup kerja bersahut-sahutan seperti doa-doa yang kehilangan iman: cek email, revisi instrumen, submit laporan harian, update progres. Semua orang sibuk membuktikan diri dengan cara paling sunyi─dengan terlihat aktif di layar.

Raka menatap layar laptop yang penuh warna, tapi kosong maknanya. Laporan tentang petani kopi di Selatan sudah selesai. Data bersih, grafik rapi, kata-kata sopan. Tapi di kepalanya yang berisik, Ia justru bertanya: untuk apa semua ini, kalau yang hidup di lapangan tetap tak beranjak dari nasib yang sama?

Ia tahu persis: petani yang diwawancarainya minggu lalu masih bingung kenapa harga bibit tambah mahal, kenapa pupuk langka, dan kenapa hidup mereka tak pernah ikut naik seperti grafik di laporan itu. Dunia riset seolah hanya pandai memoles luka agar tampak seperti prestasi.

Lira muncul siang itu, diam-diam seperti kebiasaan baik yang hampir punah.

Ia datang ke kantor membawa setumpuk dokumen dari lapangan, wajahnya tampak lelah tapi tetap tenang─seolah kelelahan adalah bagian dari ibadah yang tak perlu diadukan.

“Sudah kamu kirim?” tanyanya pendek.

Raka mengangguk.

“Baru saja,” jawabnya, berusaha terdengar datar. Tapi dadanya berdetak seperti genderang.

Lira duduk di seberang meja, membuka laptop. Aroma samar kopi hitamnya mengisi ruang. Tidak ada percakapan lain setelah itu, hanya suara klik keyboard dan kipas laptop yang menua. Namun bagi Raka, hening itu justru penuh suara: degup, ragu, dan rasa ingin mendekat yang tak bisa dibenarkan.

Ia ingin mengatakan banyak hal─tentang rasa rindu yang disembunyikan di antara kolom data, tentang doa-doa yang disamarkan menjadi draft laporan. Tapi Ia tahu, satu kata yang salah bisa mengguncang seluruh prinsip yang Lira junjung. Dan Raka tak ingin menjadi badai bagi perempuan yang menjaga dirinya dengan begitu tabah.

Di luar kantor, dunia terus berjalan dengan kesibukan yang menipu. Orang-orang berlomba tampak bahagia, seolah kelelahan adalah dosa. Semua berlomba menjadi versi paling produktif dari dirinya sendiri, meski kehilangan waktu untuk benar-benar hidup.

Kadang Raka merasa dunia ini bukan lagi tempat untuk manusia, tapi untuk algoritma: yang cepat, yang efisien, yang tak punya perasaan.

Ia melirik Lira sebentar. Dalam diamnya, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kalimat. Ia tampak seperti seseorang yang berperang tanpa senjata─melawan tuntutan pekerjaan, ekspektasi, dan mungkin dirinya sendiri.

Dan anehnya, dari semua itu, justru di situlah letak keindahannya.

“Lira…” panggil Raka pelan, hampir tak terdengar.

Gadis itu menoleh, matanya lembut tapi tegas.

“Hm?”

“Kalau dunia ini terus sibuk seperti ini… kamu nggak capek?”

Lira tersenyum kecil. “Capek. Tapi aku nggak punya pilihan selain terus jalan. Kalau berhenti, aku menjadi generasi malas. Kalau melambat, kita ketinggalan dengan dunia yang terus berkembang.”

Jawaban itu menghantam dada Raka seperti batu kecil yang dilempar dari jarak dekat. Ia ingin bilang: kamu nggak perlu terburu-buru, Lira. Dunia ini memang kejam pada orang baik. Tapi kata itu berhenti di tenggorokannya.

Ia hanya menatap layar, kembali mengetik sesuatu yang bahkan Ia tahu tak akan dibaca siapa pun dengan sungguh-sungguh.

Di sela mengetik, pikirannya melayang: mungkin inilah yang paling getir dari hidup di zaman ini─semua orang bicara tentang keberanian, tapi takut berhenti. Semua orang bicara tentang cinta, tapi takut dianggap berlebihan. Semua orang ingin terlihat beriman, tapi lupa menjadi manusia.

Dan di antara absurditas itu, Raka memilih diam. Karena mungkin diam, adalah satu-satunya cara mencintai tanpa mengganggu.

***

Sore datang seperti seseorang yang selalu tiba tapi tak pernah menetap. Langit berwarna jingga, tapi di mata Raka, warna itu tak lagi romantis─lebih mirip peringatan lembut bahwa hari sudah hampir habis, sementara dirinya belum juga menemukan arti.

Kantor mulai sepi. Satu per satu rekan kerja pulang, meninggalkan ruang yang kini hanya diisi dengung pendingin udara dan sisa aroma kertas. Lira masih duduk di sana, menutup laptopnya perlahan. Ia tersenyum kecil pada Raka sebelum beranjak. Senyum yang tak lebih dari dua detik, tapi cukup untuk membuat detak jantung Raka memanjang jadi menit.

“Pulang dulu, ya,” katanya.

“Iya… hati-hati.”

Lira berjalan ke arah pintu, membawa bayangan sore bersamanya. Tak ada kata lagi, tapi langkahnya cukup untuk menulis puisi yang tak akan pernah Raka kirimkan.

Setelah pintu tertutup, Raka menatap layar ponsel. Ada notifikasi baru─bukan pesan, hanya pembaruan story. Foto langit. Hanya langit. Tapi Raka tahu, langit itu langit tempat Lira berdiri barusan.

Ia menatapnya lama, lalu tersenyum getir. Dunia digital memang aneh: kadang hanya dengan melihat langit yang sama dari layar kecil, seseorang bisa merasa dekat.

Ia keluar dari kantor, berjalan menuju parkiran. Jalanan padat, motor-motor berdesakan seperti pikiran-pikiran yang tak sabar. Di lampu merah, Raka berhenti, menatap bayangan wajahnya di kaca helm. Ia tampak seperti pria biasa─lelaki yang menua pelan tanpa arah, yang berusaha tampak tegar di dunia yang tak memberi tempat bagi kelembutan.

Ia teringat kata-kata Lira siang tadi: “Kalau berhenti, aku jadi generasi malas.”

Itu kalimat paling jujur tapi getir yang pernah ia dengar. Dunia sekarang memang kejam terhadap yang melambat. Semua harus cepat: berpikir cepat, menjawab cepat, mencintai cepat. Padahal hati manusia tidak pernah dirancang untuk kecepatan─ia hanya tahu cara menunggu.

Di perjalanan pulang, Raka melihat papan reklame besar berganti-ganti gambar: minuman energi, lowongan kerja, iklan amal, dan motivasi murahan bertuliskan “Jangan menyerah, hidupmu berharga.” Ia tertawa kecil. Hidup memang berharga, tapi entah untuk siapa.

Di rumah kontrakannya yang sempit, Raka menyalakan lampu kuning redup. Meja kerjanya penuh kertas laporan dan cangkir kopi setengah basi. Ia membuka ponsel lagi, sekadar melihat langit Lira sekali lagi. Tapi kini status itu sudah menghilang─entah dihapus, atau tenggelam di antara unggahan orang-orang yang sedang berpura-pura baik-baik saja.

Ia termenung lama. Kadang, pikirnya, cinta di zaman ini bukan tentang menunggu balasan, tapi tentang belajar berdamai dengan algoritma.

Tentang sadar bahwa tak semua yang kau tulis akan sampai, dan tak semua yang kau rasakan perlu dimengerti.

Raka menatap jendela, melihat langit malam yang sama.

“Semoga kau istirahat malam ini, Lira,” bisiknya pelan. “Aku akan berhenti menulis untukmu malam ini. Mungkin.”

Namun ia tahu, besok pagi Ia akan menulis lagi. Bukan karena berharap dibaca, tapi karena itu satu-satunya cara agar dunia ini terasa sedikit lebih manusiawi.

***

Sabtu, 10 Juli 2021

Malam Minggu Bersama si-Beruang Kutub

 


Selamat malam minggu. Semoga sehat dan tidak kesepian.

Tentang kesepian, akan memiliki sudut pandang tersendiri saat membaca novelet Claudio Orrego ini.

Kenang-kenangan Mengejutkan si Beruang Kutub. Sebuah judul yang sekilas--setidaknya tangkapanku--menggambarkan kiprah politik negara sekitaran kutub.

Buku ini mengendap agak berdebu dan masih dengan balutan plastik dari penerbit lebih 6 bulan lalu. Baru kubuka tiga hari lalu.

Penulis mengawali Novelet dengan sebuah pengantar; bagaimana Ia mendapatkan kenang-kenangan & pengalaman Baltazar (si Beruang) secara misterius.

Pengantarnya di sini cukup untuk menyambungkan logika yang terputus. Bagaimana Baltazar bisa merenung, memgingat kampung halamannya sampai menjelaskan mengapa dia marah & ngamuk pada penjaga kandangnya di kebun binatang, pertemuannya dengan seorang anak gelandangan yang memanggil rasa ibanya, hingga pengalaman cinta pertamanya dan menjadi satu-satunya kebahagiaan yang tersisa, sebagai teman dalam lamunannya.

Di awal cerita penulis langsung bercerita sebagai Baltazar. Bagaimana latar belakang kampung halamannya yang serba putih sama dengan bulu tubuhnya yang tebal, siang dan malam yang panjang, para camar yang menjengkelkan namun Ia rindukan saat malam panjang tiba. Hingga bagaimana Ia bisa sampai di balik jeruji besi yang mulai saat itu menjadi kampung halamannya yang baru.

Bab-bab berikutnya banyak sekali renungan-renungan arif lagi bijaksana dari seekor beruang kutub yang sangat manusiawi. Masalah-masalah kemanusiaan seperti kewenangan, kekuasaan, penghambaan dan kebebasan menjadi sajian dari banyak hal yang Ia lihat & jumpai dari dalam kerangkengnya.

Di sini terlihat betapa kesepian Baltazar untuk membahas problem kemanusiaan. Ia hanya merindukan kebebasan, namun cukup sadar diri & mengerti dengan keadaannya dalam kerangkeng.

Rekomendasi untuk bacaan singkat tapi padat pesan, makna, pembelajaran dan inspirasi. Biasanya buku cerita yang menyorot problem kemanusiaan akan berbuku tebal. Dan karya Orrego ini cukup berbeda, singkat namun padat.

Buku ini kupesan langsung dari website @marjinkiri dan dapet diskon. Kubeli dari honor terakhir dari menjadi aparat desa di kampung halamanku.

Jumat, 25 Juni 2021

Melalui Kopi, Kamu Mau Cerita Apa?



Melalui kopi, kamu mau cerita apa?

Di gambar ini ada buku dari @marjinkiri tentang cerita fabel.

Buku ini ditujukan untuk bacaan anak-anak. Ceritanya ringan tapi cukup membawa pembaca turut berpikir kritis.

Meskipun fabel, kisah di dalamnya tidak meninggalkan realita. Ini cocok banget untuk menyadarkan sejak dini tentang keadaan sesungguhnya yang sedang terjadi di lingkungan pada anak.

Jika fasilitator atau pendampingnya dengan baik memanfaatkan kesempatan dari bacaan ini, memungkinkan anak akan memiliki empati yang tinggi terhadap lingkungannya.

Tokoh-tokoh di dalamnya yang lucu dan pandai mengambil peran, akan menarik antusias anak saat membacanya atau mendengarkan saat dibacakan atau didongengkan.

Di sana ada sekelompok kucing yang berserikat menyelamatkan generasi burung camar lengkap dengan ensiklopedia profesor.

Ada juga tikus dan monyet sebagai oposisi dari perserikatan para kucing.

Kisah ini diawali dengan drama si Camar yang terperangkap tumpahan oli/minyak bumi saat sedang mencari makan di sebuah pantai dekat pelabuhan.

-----------

Untuk para Bapak dan Ibu muda atau calon Bapak dan Ibu, atau siapapun yang ingin menyajikan bacaan untuk anak yang agak berbeda, buku ini sangat direkomendasikan.

Kamis, 24 Juni 2021

[Somay dan RM. Kartini]

Siang menjelang sore, di tengah keluangan waktu yang paripurna. Seterangnya ini hanya sebuah kalimat njlimet untuk menggantikan kata; malas.

Menyusun design souvenir pernikahan untuk sepupuku. Souvenir pernikahan anti mainstream katanya, sewaktu menggarap beberapa souvenir akhir tahun lalu untuk beberapa pelanggan @maxlare.co. Ia mendambakan saat resepsi pernikahannya membuat souvenir beginian (souvenir kopi). Dan ini tiba waktunya.

Sebuah telpon dari teman fasilitator petani dari perusahaan ternama, masuk. Menanyakan kopi apakah sudah siap dikirim. Membuka kembali catatan di kepala; apakah hari ini ada janji pengiriman. Sepertinya iya.

Spontan menyelesaikan design, dan melesat ke roastery dengan kopi dalam karung. Tanpa A B C D, langsung kunyalakan mesin roasting. Sepupu yang biasa meroastingkan, anaknya tengah rewel. Ibu-ibu dengan profesi dan buah hatinya memang luar biasa.

Kapasitas 5 kg mesin. Harus kulakukan sampai 3 kali penyangraian untuk menyelesaikan pesanan. Menjelang magrib barulah tuntas.

Menyalin, mengepak, dan melakukan kelengkapan lainnya selesai saat adzan magrib juga selesai.

Dengan was-was menerobos serangga malam yang mulai berkeliaran di jalan, berharap masih ada bis dari Gisting ke Bandar Lampung.

Sesampainya di swalayan ternama, sejumlah uang kuambil dari ATM untuk biaya pengiriman. Penjual somai yang setia masih ada di depan swalayan. Dengan keakraban sekaligus kepolosannya, Ia menyapa. Kujawab seperlunya dan memberi pesan; nanti aku balik mas.

Ke ekspedisi pengiriman, menyelesaikan kiriman ke salah satu kota di jawa. Lalu berjalan pelan menuju swalayan, dengan sebentar-sebentar melihat spion. Berharap sebuah bis tujuan Bandar Lampung ada di belakangku. Sampai di swalayan lagi, bis belum juga muncul.

Kupesan somai. Mengeluhkan kekhawatiran ke penjual somai. Dengan tidak memiliki tujuan apa-apa kecuali mengeluh saja.

Somai kulahap dengan terus melihat arah bis dari Kota Agung. Dan mas penjual somai pergi tanpa permisi, meninggalkan kuali yang masih ada beberapa somai sedang tergoreng untuk pemesan yang duduk di emperan swalayan.

Tak berapa lama, dan tak sampai somai dalam kwalinya gosong, Ia sudah kembali. Meneruskan aktivitas menggorengnya sambil berkata pelan.

"Anu mas, kata RM. Kartini yang biasa nganter paket, kalau jam segini biasanya sudah tidak ada bis lagi. Tapi semoga masih ada yang nyasar."

Aha, betapa lugu dan bertele-telenya dia mengatakan itu. Berbanding terbalik dengan inisiatifnya yang tepat dan tentu melibatkan empati yang tinggi.

Seringnya hal-hal heroik semacam ini mereka lakukan tanpa pamrih. Tanpa embel-embel somainya akan langsung diborong habis.

Adakah yang sering menemukan hal-hal haru begini?



Rabu, 27 Mei 2020

[Tak Pernah Bersekolah atau Sekedar Belajar Membaca]



Sering kulakukan perjalanan
jauh atau dekat
sendiri atau berteman
sebentar atau berbulan dan bertahun

tak cukup mendefinisikan; sebenarnya
apa yang dicari
namun kadang terfikir juga;
aku sedang mencari apa yang akan kucari.

Barangkali setelah itu baru lah
perjalanan akan berada
pada lipatan langkah yang lain
walau masih sama saja;
mencari.

Ada satu hal yang jelas kurasa
dalam setiap perjalanan
ke kota, laut, pantai, gunung gemunung atau menyusuri sungai
keteduhan mengelus manja di balik dada
seperti kucing yang menyentuh-sentuhkan punggungnya di betis
ini kurasa saat melihat keluasan yang mengagumkan;
keluasan kota dari gedung-gedung tinggi
keluasan laut dari kapal, perbukitan bahkan dari sampan kecil
keluasan suatu daratan dari gunung yang cerah
sungai yang mengalir tapi tampak diam dengan bentuknya

sekiranya alam berkata; kau hanya dapat menikmatiku dengan ketinggian.

Maka akan ku iyakan perkataannya.
Walau aku pun tak akan tahu; ada kah batasan dalam ketinggian, seperti yang terlihat bahwa langit belum terbanding oleh apapun, atau mungkin memang langit itu batasnya, cakrawala itu.

Kukatakan begini, karena pernah kulakukan perjalanan menuju langit, tapi tak pernah berujung, tak pernah sampai aku padanya.

Justru yang sampai padaku adalah kengerian melihat jurang dari kedudukan yang tengah kudaki.

Padahal tak pernah ada keinginan membuat curam kedalaman jurang. Aku hanya menghendaki langit.

Betapa desiran di balik dada menjadi
sama sekali berbeda
dari sentuhan punggung kucing
menjadi duri-duri runcing
saat terlihat kedalaman itu
benar-benar ada di bawah kakiku.

Akupun duduk termenung.
Seekor burung prenjak, yang kecil itu, sedang bergerak lincah di ranting cemara. Berpindah dari ranting ke dahan dan ke ranting yang lain.
Prenjak mencari sejarum daun cemara yang baik untuk merajut sarangnya di pohon kenanga kecil lagi liar.

Entah lah itu Prenjak jantan atau betina, aku bukan ahli perburungan seperti Novelis Mbah Y.B Mangun Wijaya yang banyak bercerita menggunakan metafora beburungan.

Dari polah lincah Prenjak itu
mataku lelah, dan membuat pikiranku malas untuk berenung. Inginnya seperti kucing yang menyandarkan atau mengeluskan punggungnya ke betis pemiliknya.

Selelap mataku terpicing, bayanganmu muncul begitu nyata. Aku tidak sedang bermimpi, dan aku tidak sedang tidur. Hanya mataku yang lelah dan membuat diri sekucing ini padamu.

Atas berbagai perjalanan, entah apa yang kucari, ketenangan dari sebuah keluasan yang kutemui, alam yang mesra mengagumkan penuh teka-teki dan misteri, kedalaman pada jurang entah di gedung-gunung atau penyelaman palung yang ngeri dan penuh daya kejut, sanpai pada cemara yang merelakan sejarum daunnya pada Prenjak untuk sebuah sarang sederhana di kenanga kecil yang wangi bagi buah cinta.

Dan jelas, matamu yang teduh dan dalam itu, semakin kuat menatap mataku yang kelelahan.

Dari matamu aku tersadar, kubuka perlahan kelopak mataku; baru kutemukan: dari setiap perjalanan yang pernah kutempuh; hanya pada matamu lah yang memiliki kedalaman tapi meneduhkan. Matamu tak seperti jurang yang kubentuk saat bersusah menjangkau langit. Tak seperti kengerian palung saat menantang diri menaklukan kegelapan dan berharap menemukan kerlingan mutiara di dasarnya.

Tapi ada satu yang masih sama saja dengan semua perjumpaan dalam setiap perjalanan. Justeru padamu lah yang lebih jauh dari semua itu;

Misterius, tak terbaca,
seperti hanya diri ini saja orang yang tak pernah bersekolah atau sekedar belajar membaca.
-------------------
S E L E S A I
-------------------

Kamis, 19 Desember 2019

[Sajak Tertinggal Terbawa Pulang]


[Sajak Tertinggal Terbawa Pulang]

Kehadiran menjadikanku aneh;

Bagun dari tidur jadi lebih awal
(sebenernya gak bisa tidur)

Perut selalu terasa kenyang
(gak doyan makan)

Mudah senyum dan menghemat kata
(lebih enak nglamun)

Jadi lebih sering memperhatikan bentuk dedaunan dan warna-warnanya
(daun-daun itu seperti matamu saat sedang tersenyum, sejuk dan memberi hidup)

Jadi suka mencari-cari air mengalir, seperti sungai atau drainase tak bertutup atau sekedar selokan di depan rumah
(karena di sana sering kali ada beberapa daun kecil ikut terbawa gemericik alirannya, berharap senyum di matamu turut hanyut di sana dan aku melihatnya. Betapa semerbak bunga-bunga bermekaran di dadaku, seperti ada yang menyesak hingga kuperlukan menghirupnya dalam-dalam)

Kebetulan sudah mulai musim hujan, aku jadi lebih rajin menengok anjing piaraan untuk sekedar memastikan ia berteduh saat rintik mulai jatuh
(sebenernya lebih ingin bergerimis ria, untuk membasahi wajah dan kepala langsung dari langit yang sedang teduh atau justru murung, berharap mendapatkan sejuk atau justru dinginnya musim. Jelas kesejukan itu adalah rindu yang sedang dibelai penerimaan yang pasrah; atau dingin yang menusuk ngilu bercampur perih seperti rindu yang sedang berontak)

Pada sore, tergesa memburu paman yang sedang mengambil rumput untuk pakan ternak di bukit, membantu sekuat tenaga, seolah mencarikan pakan ternak milik sendiri
(untuk menyaksikan indahnya matahari terbenam yang berwarna sorga, walau lebih sering sial terhalang kabut dan mendung, tapi aku yakin matahari tetap terbenam, dan itu menjadikan warna berbeda dengan sedikit gerimis dan cercah dari sobekan awan yang memancar di ufuk sana dan mencipta warna kemesraan tanpa cela. Atau naasnya kilat menyambar, guntur menggelegar, lalu lebatlah hujan. Biarlah, matahari tetap tenggelam dihati. Biar ia beristirah dari kepanikan sehari)

Saat malam datang menjadi lebih giat belajar astronomi, walau saat sekolah dulu tidak pernah mengambil jurusan itu
(jelas kuhitung bintang sampai larut malam, yang kadang harus terlahang awan atau kabut musim hujan, dan saat kutemukan beberapa titik mengerling, aku tersenyum, lukisanku telah sempurna dan kubelai wajahmu yang terlukis sejelas itu)

Begitulah waktuku dari sajak yang tertinggal dan terbawa pulang


Senin, 21 Oktober 2019

Negara, Saya dan yang Keluarga Pelihara



Sebuah judul, selain untuk daya tarik, ekspresi seni dan pantes-pantes, salah satunya merupakan representasi dari penjelasan yang ada di bawahnya, di dalamnya atau yang dilingkupinya. Namun jangan berburu prasangka dahulu dengan judul di atas.

Walau tersebut kata; Negara, namun di sini tidak akan ada penjelasan tentangnya. Pembaca tentu lebih terpelajar untuk menjelaskannya sendiri.

Di bawah ini akan lebih banyak kenarsisan saya dalam keluarga. Narsis karena cerita ini sepenuhnya hanya dalam persepektif saya sendiri.

Dalam keluarga saya, walau tidak banyak tapi ada beberapa yang dipelihara. Diantaranya ada ayam, itik, kambing, kucing, anjing, juga burung.

Selain hewan piaraan, keluarga juga memelihara beberapa tanaman. Ada yang di kebun, pekarangan, taman, dan ruang-ruang lain yang layak untuk tanaman tumbuh. Mulai dari tanaman yang diambil untuk sayur,  buah, sampai untuk hiasan juga ada.

Sebuah keluarga memerlukan peliharaan, apapun yang dipelihara, karena beberapa hal. Di sini akan saya jelaskan melalui peliharaan yang ada dalam keluarga saya.

Paling pokok yang harus dipelihara adalah ayam, itik atau sejenisnya dan tanaman. Hal ini diperlukan bahkan kami haruskan karena ayam dan beberapa tanaman sayur dan buah merupakan yang harus terpenuhi untuk kebutuhan kami sehari-hari. Yakni kebutuhan akan perut yang, jangan sampai kelaparan.

Kami menanam padi, kopi, singkong, lada, cengkih, pala dan jenis komoditas pertanian lain, tidak lain untuk konsumsi pokok sehari-hari. Untuk menu utama di dalam piring kami. Juga dengan ayam, dan sejenisnya, dan tanaman sayur, walau bukan untuk pemenuhan menu utama dalam piring kami, tapi keberadaannya menunjang, menjadi manu utama kelas dua dalam piring kami. Karena, tanpa menu kelas dua ini, menu utama agak susah tertelan ke dalam perut kami yang belum cukup kelaparan.

Dari ayam, itik dan sejenisnya, hingga tanaman komoditas pertanian, yang kami pelihara adalah bentuk dari sumber perekonomian yang, keluarga kami upayakan.

Kami juga memelihara kambing. Sesuai dengan filosofi dalam pemeliharaan kambing, yang sering digunakan sebagai simbol pendidikan bagi beberapa agama (sejauh ini saya menemukan agama Nasrani dan Islam yang menggunakan filosofi ini), begitu juga dalam keluarga kami. Memelihara kambing adalah bentuk tabungan untuk biaya pendidikan generasi mudanya. Di mana proses pengasuhannya dilakukan langsung oleh yang sedang menempuh pendidikan. Sewaktu SMP saya memelihara dua ekor kambing untuk biaya SPP, Seragam dan biaya transportasi serta jajan di sekolah.

Biaya pacaran, termasuk di dalam anggaran pemeliharaan kambing ini. Karena dulu, jika itu bisa dianggap pacaran, saya atur sedemikian rupa untuk digabungkan dengan biaya transportasi dan jajan. Saya lupa detil pembagiannya, dulu bagaimana.

Dari memelihara kambing, kami menjadi memiliki jaminan untuk pendidikan bagi generasi kami. Artinya, memelihara kambing di sini adalah untuk sumber ekonomi khusus yang tidak boleh diganggu gugat untuk keperluan lain, kecuali sangat mendesak. Itu pun harus dengan catatan; diganti senilai harga pendidikan jika sudah jatuh tempo.

Dengan beberapa peliharaan ini, penghuni rumah sudah cukup riuh mengurusnya. Ada ayam yang harus diberi makan, tanaman yang harus selalu diperhatikan; kapan disiangi, kapan disirami, kapan disulami dan tentu kapan untuk dipanen. Ditambah dengan kambing yang setiap pagi dan sore menuntut untuk kami berikan rumput segar.

Waktu kami untuk mengurus peliharaan yang ada, membuat tenaga cukup terkuras. Sehingga ada beberapa hal, atas keriuhan ini, tidak dapat kami tangani sendiri. Dengan sadar kami mengetahui itu. Yakni adanya tikus di dalam rumah yang sering makan sembarangan. Padi, kopi dan hasil tani kami sering dilahapnya dengan tidak sopan. Kadang dilubangi sudut-sudut penyimpanannya, kadang diambilnya sedikit-sedikit dan tercecer di jalanan menuju sarangnya, kadang juga dikencingi yang membuat simpanan kami menjadi tidak layak untuk dikonsumsi.

Atas hal itu, maka kami merekrut seekor kucing untuk menangani kasus-kasus dan kerusuhan yang membuat penghuni rumah jengkel. Memang untuk memberantas tikus-tikus ini, ada obat mujarab, berupa racun tikus mati kering, yang tidak menimbulkan bau bangkai saat mati di sembarang tempat. Namun ada kekhawatiran, nanti tikus-tikus yang terkena racun ini, bangkainya akan dipatuk-patuk ayam kami. Ini akan merugikan sekali, jika ayam-ayam kami mati satu persatu hanya karena tikus yang makannnya tidak seberapa. Lebih baik kami berbagi dengan tikus, daripada harus kehilangan ayam.

Kami memelihara kucing, selain untuk mengurus kerusuhan dalam rumah, walau kerusuhan tidak benar-benar padam, setidaknya agak terkendali, Ia adalah binatang yang menggemaskan, bisa untuk menghibur kelelahan kami sepulang dari ladang atau sawah. Sifatnya yang manja, wajahnya yang imut dan menggemaskan nmembuat kami cukup memiliki alasan untuk memelihara dan tentu menyayanginya.

Kerusuhan-kerusuhan kecil di dalam rumah sudah cukup terkendali dengan kami memelihara kucing. Namun ada ancaman kerusuhan datang dari luar rumah. Yakni tercipta atas bekerjanya kejeniusan manusia yang berelaborasi dengan keterdesakan hati; pencurian hasil tani kami dengan risiko kami kehilangan dengan sekala besar. Jika kerusuhan oleh tikus di dalam rumah, walau tidak kami kendalikan, dapat kami maklumi dan maafkan, kerena salah satu yang menyebabkannya adalah kejorokan dan ketidak-pedulian isi rumah, kerusuhan dari luar ini mengancam kami kehilangan separuh atau seluruh hasil tani kami. Jika hasil tani kami hilang, lantas menu utama dalam piring kami apa? Kami sekeluarga makan apa?

Maka ancama ini menduduki status serius, dan urgen. Kalau dibiarkan, tahu sendiri, kami akan mati kelaparan, walau semelimpah apapun hasil taninya, kami tidak bisa makan jika ancaman ini dibiarkan. Ini kalau ancaman benar-benar terjadi. Jika tidak pun, ini akan membuat kami selalu merasa was-was. Rasa was-was ini, yang membuat pikiran kami tidak tenang. Hasilnya; fokus dan keseriusan kami menggarap lahan pertanian menjadi berkurang. Akibat kekurangan ini, dasar hatinya menjadi resah, menu makan yang masuk ke perut kami membuat badan kurus tidak sehat. Ini mengancam kematian yang tidak khusnul khotimah.

Adanya ancaman yang mulai terfikir ini, kami perlu menciptakan rasa aman untuk menjamin kehidupan, dan saat kematian datang, kami mendapat kematian yang khusnul khotimah. Maka secara praktis dan subyektif, kami merekrut seekor anjing untuk menjadi benteng pertahanan kami. Atau setidaknya untuk memberi ancaman balasan kepada pengancam melalui kerusuhan dan pencurian dari luar rumah.

Kami memilih memelihara anjing, karena tidak mampu untuk membuat benteng kokoh seperti tembok besar China. Kami juga tidak mampu membayar militer sekuat Korea Utara atau USA.

Kalaupun anjing kami tidak bisa melumpuhkan ancaman yang mencoba masuk rumah kami, dengan memburu dan menggigit, setidaknya Ia bisa menggonggong cukup keras untuk memberi isyarat kepada penghuni rumah yang menunjukan adanya ancaman datang. Dengan itu kami dapat segera merespon dengan siaga.

Oleh karena anjing bukan manusia, Ia tidak bisa membedakan mana  ancaman dan mana tamu, maka kami selalu menyiapkan respon untuk keduanya. Jika tamu yang datang, maka kami segera meredamkan suara anjing, dan memintanya untuk kembali ke kandang. Jika yang digonggongi adalah pencuri, maka kami sudah siap untuk berkelahi.

Namun jika yang datang adalah tamu yang akan mencuri atau pencuri yang bertamu, bagaimana?

Ya kami siapkan pula untuk keduanya. Padamkan gongongan anjing, dan siapkan anjing untuk membantu kami berkelahi.

Untuk itu jangan larang kami memelihara anjing. Selain untuk mejaga keamanan, anjing adalah binatang yang cukup setia, selagi Ia kita beri makan rutin. Minimal pagi dan sore. Tidak perlu muluk-muluk juga memberikan makanan khusus atau vitamin tertentu, cukup apa yang kita makan, itulah yang harus anjing piaraan kita makan.

Rasa aman sudah kami miliki dengan memelihara anjing di halaman rumah. Namun kurang lengkap rasanya, jika rasa aman saja untuk berada di rumah. Sebagai manusia, untuk hidup secara layak, membutuhkan sumber inspirasi. Setidaknya inspirasi untuk pencaharian hidup.

Adanya kebutuhan ini, cukup memberi kami alasan untuk memelihara seekor burung dalam sangkar bambu. Kami memilih jenis burung kutilang. Walaupun hanya burung kutilang, kami tidak sembarangan memutuskan untuk mengambil dan memeliharanya. Pertama kami tidak mampu membeli burung perkutut atau burung-burung mahal lainnya.

Kedua, burung kutilang adalah burung yang cukup merakyat. Ia begitu dekat dengan kehidupan kami. Jenis burung ini selalu membuat sarang di pohon-pohon yang kami bisa jangkau. Kadang di pohon kopi, kadang di pohon gamal, kadang di pohon yang dirambati tanaman lada, kadang di pohon cengkih dan pohon-pohon lain yang sering kami tandangi. Dari segi makanan pun, burung ini tidak terlalu pilih-pilih. Makanan utamanya adalah buah pisang atau pepaya, yang merupakan buah konsumsi kami hari-hari. Namun Ia juga mau memakan, jika kita berikan nasi, konsentrat, jagung rebus dan makanan lain yang teksturnya lunak.

Lantas apa yang membuat inspirasi dari seekor burung kutilang?

Jawabannya tentu bukan hanya karena ocehannya yang merdu atau kehidupannya yang merakyat, yang sudah saya ceritakan barusan. Walaupun dua hal tersebut bisa menjadi pemicu untuk menimbulkan inspirasi. Paling utama adalah adanya kecintaan secara khusus tanpa adanya embel-embel fungsi tertentu seperti pada ayam, kambing, kucing dan anjing, kecuali dari sisi keindahan saja.

Inilah perlunya seni dalam kehidupan seorang manusia, setidak-tidaknya untuk pribadi dalam rumahnya, melalui burung yang Ia piara dalam sangkar. Singkatnya begitu kata orang-orang yang memelihara burung, bukan untuk komoditas ekonomi, tapi harus ada walau seekor di rumahnya.

Cukup panjang juga pejelasan persepktif pribadi saya; tentang peliharaan mendasar yang ada dalam rumah tangga. Mulai dari kebutuhan perut, ketentraman dalam rumah, jaminan rasa aman atas ancaman dari luar serta kebutuhan akan inspirasi untuk pencaharian.

Walaupun saya belum bisa sepenuhnya memenuhi semua itu, setidaknya saya sudah membaca (menggunakan perspektif pribadi saya yang sangat subjektif) dari yang dipelihara di rumah kami.

Di akhir tulisan ini saya ucapkan selamat atas pelantikan Bapak Joko Widodo dan KH. Ma’uf Amin menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2019-2024. Semoga bapak berdua dapat merepresentasikan kebutuhan Rakyat Indonesia dalam lima tahun ke depan.

Sabtu, 12 Oktober 2019

[Cinta Pertama]

Foto PM XVIII Konawe.
Diambil dari WA Group; KONAWE . PM XVI - PM XVIII, dikirim oleh Roidanana

Catatan ini berawal dari permintaan salah satu Pengajar Muda Indonesia Mengajar angkatan 18 yang sedang bertugas di Konawe. Di tengah kesibukan mereka bikin berantakan rumah Ibu Dwi (orang tua angkat PM Konawe), tengah malam melalui Butet, mereka minta disemangatin.

Terang saja, saya bingung, dan bertanya balik, apa yang bisa membuat semangat?

Sajak, puisi, kata Butet.

Adede... masih ada ya jaman sekarang orang baca puisi jadi semangat bertambah. Padahal sudah lama kukuburkan asumsi bahwa puisi bisa kasih semangat.

Mengapa kukubur?

Karena telah mati terbunuh oleh semangat ekonomi.

Mau tidak mau, malam itu kubangkitkan kembali asumsi yang telah terbunuh dari dalam kuburnya. Malam-malam, saat tetangga tidur pulas, saya harus bakar kemenyan dan dupa, mencari bunga-bunga di taman depan rumah, yang tumbuh liar, lebih tepatnya semak yang serupa taman, atau boleh dibolak-balik, suka-suka yang mana.

Walau berhasil kubangkitkan, itu arwah gentayangan, sempat kupertanyakan ke diri sendiri; lho puisi, sajak kok dipesan, diminta. Bukannya Ia tumbuh liar serupa hutan tropis, atau tumbuhan kaktus di tengah gurun, atau ikan-ikan kali yang mulai jarang kujumpai sekarang. Tapi ya udah, tak apa, toh keliaran itu bisa dibikin, bisa dipesan, bahkan bisa diantar dengan fasilitas free ongkir.

Maka jadilah tulisan di bawah ini, dengan membangkitkan arwah dari kubur untuk bergentayangan dan bekeliaran sampai ke Konawe. Semoga mereka bisa menikamati liarnya hutan, kaktus di tengah gurun, ikan-ikan yang mulai punah, dan syukur mereka bisa menghidupi keliaran itu.

Bahasa LSM Lingkungan Hidup; Pelestarian.

Tapi kalau saya lebih nyaman pakai; Peliaran.

Selamat menikmati, syukur bisa buat kontemplasi.

[Cinta Pertama]

Siapa yang lahir pertama?
Bukan!
Bukan Adam atau Malaikat
dan jelas bukan iblis yang sok senior itu.

Lalu siapa?
Cintalah yang lahir pertama,

Ia menjelma menjadi
sesuatu yang begitu jenius, perkasa dan tak kenal lelah
merupa diri sebagai iblis

lalu Ia menjelma menjadi
sesuatu yang begitu lembut, tajam dan sensitif
merupa diri sebagai malaikat

Cinta tak menemui kepuasan
pada jelmaan yang telah Ia lalui
justru membuatnya serba terbatas

pada suatu keadaan Ia begitu resah
mengejar impian-impiannya segenap jiwa raga
pada satu keadaan lagi, Ia merasa lekas berputus asa.
Cinta lelah, selalu berada pada keadaan seperti ini.

Lantas dilihatnya sesuatu tak berdaya;
rendah, pasrah, dan sangat lemah
hingga tak kuasa menahan keharuannya
air mata cinta jatuh
membasahi tanah di bawahnya.

Bukan cinta, jika terlalu cepat menyerah
hati dan pikirannya kacau betentangan
saling menahan, saling mewalan
dan tanah basah di bawahnya
menjadi korban pertentangan

direnggut, digenggam, ditekan

akulah manusia
hasil dari pertentangan
akal dan perasaan

akulah yang memimpin kalian
untuk menyelaraskan pertentangan
demi cinta yang kalian bawa
dan tidak ada yang lain, selain hanya cinta
yang harus terpancar ke seluruh alam

Mayoe
5/10/19

Selasa, 01 Oktober 2019

Ekspedisi MaxLare Coffee

Foto diambil dari IG @ardinarasti6

Tadi saat perjalanan mengantar kopi @maxlare.co di salah satu outlet ekspedisi pengiriman, kulewati gang rumah seorang yang dulu pernah kutaksir, dan sempat PDKT. Sudah tentu seorang gadis ya, dan jangan meragukan daya taksirku!

Saat melintas jalan yang dipotong gang arah rumah gadis itu, di dalam dada semacam ada yang berdesir. Bahasa kerennya; tratapan.

Sepanjang jalan jadi kepikiran. Seiring handle gas motor semakin kutarik ke belakang, demikian juga pertanyaan yang muncul di kepalaku, mirip letupan yang terjadi di knalpot. Di manakah dia sekarang, sudah menikah atau belum, apa sudah punya anak, tinggal di rumah suaminya atau masih di gang itu, dan sederet pertanyaan lain yang ingin mengungkapkan; kangen.

Sedang asik memanjakan pertanyaan-pertanyaan dalam lamunan dan belum sempat mencari jawaban, sebuah kesialan mengagetkanku; sepersekian detik motor yang kutunggangi menabrak polisi tidur cukup tinggi dengan kecepatan lumayan laju. Ini sebuah peringatan, kalau nyetir tidak boleh melamuni mantan, apa lagi kenangan manisnya! Selain sial, itu menguras energi untuk mencari cara agar bisa balikan.

Namun dasar sistem kerja isi kepalaku memang kurang ajar, sehabis mengumpat, justru menimbulkan pertanyaan lain yang lebih menjerumuskan pada jurang kenangan. Apa si yang membuat tertarik pada gadis itu, sampai mau-maunya melakukan PDKT?

Bahkan sampai saat ini aku sendiri menentang pertanyaan itu. Karena, jawaban apa yang akan diberikan oleh seorang anak SMP kelas 3, masih cukup polos, dari udik, dan bercita-cita masuk STM yang tidak suka dan tidak akan tawuran, kecuali saat terdesak. Tapi jadi menyesal, setelah melihat STM demo dengan gagah berani dan tak gentar melawan barisan polisi di Senayan, kemarin. Kenapa juga dulu tidak suka ikut tawuran, dasar cupu!

Lamunanku terputus, saat sampai di outlet ekspedisi pengiriman yang dikelola beberapa santri, dan pondok pesantrennya persis ada di belakang outlet. Terlebih saat kutuliskan alamat di tubuh paketan bertujuan Salatiga. Cepat-cepat kuselesaikan pekerjaan itu, agar bisa segera melanjutkan lamunan. Namun santri yang sedang berjaga justru membeberkan beberapa paketan yang kukirim kemarin lusa; satu sudah transit di Jakarta dan satu lagi baru sampai Bandar Lampung.

“Suwun mas, yang penting sudah terkirim.” Jawabku dengan berusaha seramah mungkin.

Setelah kubayar dengan uang pas tiga pulu dua ribu rupiah, langsung ngacir dengan berpamitan “Suwun mas, Assalamualaikum” dan kulanjutkan melamun.

Setelah kupikir-pikir lagi, ternyata dulu menyukainya karena sering nonton sinetron yang dibintangi mbak Ardina Rasti. Tapi bukan karena alur cerita atau kata-kata romantis dalam sinetron yang bikin remaja malu-malu kucing saat tahu Ia menonton tidak sendirian, melainkan ada ibunya siap menerkam dari belakang.

Pada waktu itu aku sudah benar-benar mengagumi mbak Ardina Rasti, kalau tidak bisa dikatakan menyukai, karena beliau artis terkenal dan terpelajar, dan aku hanya pringas-pringis sambil belajar. Maafkan saya mbak Ardina Rasti.

Tapi itulah risiko menjadi bintang peran atau apapun yang berada di bawah lampu sorot media. Harus merelakan segala respon, baik yang terungkap atau yang hanya tersimpan atau sekedar terlintas di benak penontonnya.

Sekarang saya begitu kagum dan bertambah setelah tahu mbak Ardina Rasti adalah seorang yang aktif membela korban kekerasan pada perempuan, dan ternyata cucu dari bapak pers nasional; Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Bertambah satu lagi, sangat menyayangi anaknya yang lucu dan menggemaskan. Serta ter-update di akun Instagram miliknya menampilkan pesona kecantikan yang alami, tanpa polesan kosmetik keartisan. sehingga membuat aura kecantikannya semakin terasa. Duh duh ...

Saat PDKT, lha kok terbayang gadis cantik yang kutaksir itu mirip mbak Ardina Rasti. Oooo memang kebangetan, kok ya sempat pede banget, dulu itu!

Tapi sungguh, senyumnya, lirikannya, caranya menunduk, saat Ia menoleh ke belakang, bahkan saat sebuah kata terucap dari bibirnya, lha kok yang terbayang adegan-adegan dalam sinetron atau iklan atau sebuah wawancara infotaiment yang fokusnya adalah wajah mbak Ardina Rasti. Begitu juga sebaliknya, saat menonton infotaiment, iklan dan adegan-adegan sinetron yang dibintangi mbak Ardina Rasti selalu membuat teringat dia; gadis taksiran itu.

Lha ini suka, kagum, atau jatuh cinta jenis apa?

Tapi mungkin beginilah cara kerja perasaan, yang sering kita sebut cinta atau sejenisnya. Semoga yang kulakukan dalam fikiran atas objek cerita ini, bukan bentuk upaya perusakan atau bahkan pengingkaran terhadap sesuatu yang sedang mengikat kesetiaan.

Pantes aja dulu pas PDKT, lewat sms hp poliponik, jawaban yang ke luar; nggih mas, pripun mas, onten nopo mas, sampun mas, mboten mas ...

Mas-mes mas-mes tok. Lha pantes, sing tak sir ki bakno njobo njero ayune artis je. Bedhes, kok yo pede mbiyen kae!

Rabu, 18 September 2019

[Tetap Bayi yang Menangis]


Baru kusadari; saat seorang bayi yang baru terjaga dari tidur, mendapati diri tak ada seorang pun yang menemaninya, lantas menangis begitu keras.

Juga saat seorang bayi baru lahir, dengan sekuat tenaga menangis. Mungkin begitu takut, dalam hidupnya; di dunia yang riuh ini, tak benar-benar ada orang, yang akan menemaninya sampai mati.

Lantas, apa yang membuat orang-orang dewasa mampu bertahan dengan tidak lagi menangis dalam menjalani hidupnya?

Kira-kira, seiring dengan usianya, mereka telah pandai menghibur diri. Atau setidaknya telah cukup terampil menyembunyikan semua jenis tangis. Karena jelas, diantara mereka akan saling mengejek untuk sebuah kecengengan. Bahkan diri sendiri. Ini benar-benar lucu jika para bayi tahu, tentu menjadi hiburan tersendiri. 

Orang dewasa, juga ingin selalu merasa kuat dan mampu. Untuk itu, semua perlu diupayakan, mulai dari manipulasi sampai tipu muslihat diri.

Padahal, tak ada diantara mereka yang benar-benar bersama, walau mereka sering duduk bersama, jalan bersama, tidur bersama, makan bersama dan hal-hal bersama lainnya.

Bagaimana tidak? 

Mereka duduk, jalan, bercinta, tidur, makan bersama, dalam waktu dan tempat yang sama tapi, apa rasa mereka sama, tujuan mereka sama, kesan mereka sama, lamunan mereka sama, perselingkuhan fikirian mereka sama?

Tidak, mereka benar-benar sendiri. Sama seperti seorang bayi yang baru saja terjaga dari tidur mendapati diri tak ada seseorang di sisinya. Juga seperti seorang bayi baru lahir, yang begitu takut, mendapati diri, tak seorang pun menemani sampai habis usianya. Untuk itu mereka perlu beraktifitas sebagai bentuk manipulasi dan tipu muslihat diri dengan ketabahan yang luar biasa.

tlb
17/9/19
Mayoe

Minggu, 16 Juni 2019

[Muridku yang Menggemaskan]



Jikalau aku melihat wajah anak-anak
di desa-desa dengan mata yang bersinar-sinar
“Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!”
Aku bukan lagi melihat mata manusia
Aku melihat Indonesia

Puisi Bung Karno di atas sudah tersebar luas di dunia maya. Berjudul; Aku Melihat Indonesia, dari buku; Bung Karno dan Pemuda.

Sengaja saya awali cerita ini dengan kutipan puisinya Bung Karno. Harapannya; hati yang membaca tersambar gelora Bung Karno yang hidup di setiap halaman-halaman revolusi Indonesia, hingga berlipat-lipat dari usianya. Kalau tidak tersambar, juga tidak apa-apa. Setidaknya saya sedang belajar menyampaikan, walau hanya sesajak.

Dari puisi di atas, setiap melihat anak-anak di mana pun berada, terlihatlah Indonesia. Di desa, di kota, di gunung, di pasar, di tempat penyewaan game, di sumber-sumber Wi-Fi, di sungai, di pantai, di kebun dan terlebih di bangku-bangku sekolah.

Sekian banyak itu, dengan mata yang bersina-sinar dan berteriak; "Pak Merdeka; Pak Merdeka; Pak Merdeka!” mereka memamggil harapan yang menggemaskan sekaligus tantangan yang mencemaskan.

Anak muridku di SDN Amboniki sungguh menggemaskan dengan bakat--yang pernah kukatakan--tak habis-habis. Ada Frisa yang cakap mendongeng; Rehan dan Alsat yang pintar dan merdu sekali bersenandung; Andra yang pandai menggambar; Naila yang lincah menggemulai tari-tarian; Alfrida dan Augnisa yang lekas fasih berbahasa; Arga, Asma dan Afdal yang tangkas memainkan aneka permainan. Dan lainnya yang tidak akan cukup untuk dituliskan di sini.

Rehan satu diantara sekian muridku yang menggemaskan itu. Ia duduk di kelas IV bersama tiga temannya; Asma dan Augnisa. Ia belum cukup lancar membaca dibanding dua teman sekelasnya. Namun dalam ilmu hitung, Ia yang cukup cepat menangkap dan mudah mengingat kembali apa yang sudah dipahaminya. Terlebih mengingat lirik-lirik dan nada pada setiap lagu dan musik yang pernah didengarnya.

Bakat dan kemampuannya ini mendapat tempat saat Rehan mengikuti lomba lagu solo daerah pada rangkaian acara Latoma Fun Camp. Ia berhasil menjuarai lomba tersebut.

Kesempatan berikutnya bukan mengikuti lomba, namun tampil di sebuah kafe mengisi acara penggalangan dana untuk memberangkatkan adik tingkatnya (Frisa) mengikuti lomba dongeng tingkat nasional di UGM, Yogyakarta. Saat itu Rehan menampilkan suara merdunya. Ia membawakan beberapa lagu yang Ia pilih sendiri dan beberapa yang direques para pengunjung kafe.

Selain itu, Rehan juga mendeklamasikan puisi WS. Rendra yang fenomenal itu; Makna Sebuah Titipan (sajak ini sering dideklamasikan oleh pejabat-pejabat, tapi tidak tahu bagaimana penghayatan dalam hidup mereka). Mengetahui daya tangkap Rehan yang cemerlang, ekspresi yang penuh penghayatan dan tegas serta kepercayaan diri yang tak diragukan, sebenarnya sudah kusiapkan Sajak Sebatang Lisong-nya WS. Rendra untuk dideklamasikannya juga. Tapi ada kekhawatiran, nanti disangka mendikte anak yang sedang tumbuh dengan sesuatu yang belum waktunya diterima anak seusianya.

Untuk melihat bagaimana penampilan Rehan mendeklamasikan Makna Sebuah Titipan-nya WS. Rendra, bisa klik link https://youtu.be/nlkBm5CDWqY

Saya merasa terwakili dan nyaman sekali saat menyaksikan Rehan tampil percaya diri, penuh penghayatan dan berimprovisasi dengan bahasa tubuh yang begitu luwes. Bangga sekali, bahkan kebanggaanku cukup berlebihan melihat penampilan Rehan. Hal ini karena, ketika seusia Rehan, aku adalah anak yang gampang rendah diri dan tak bisa apa-apa (Tidak tahu apa bakatnya). Selain itu, karena aku melihat karakter Rendra--setidaknya kutangkap dari penuturan para sahabat beliau yang masih sehat, di beberapa ceramah--ada pada diri Rehan. Diantaranya yang paling menonjol adalah pemberani dan kritis.

Rasa senang, bangga, kagum bercampur gemas menjadi bertambah saat menyaksikan penampilan Rehan membawakan lagu-lagu India. Sunn Raha Hai, adalah judul yang Ia ajukan saat kami sedang latihan deklamasi puisi. Sebelum kucari di salah satu Platform Video Online ternama, Rehan memberi keterangan, bahwa lagu tersebut baginya cukup sulit dinyanyikan ketimbang lagu-lagu India lainnya.

Bahkan saat gladi bersama relawan pemain keyboard, kakaknya cukup kerja keras memahami musiknya. Tapi bukan murni karena lagunya yang sulit, si. Lebih karena memahami Rehan yang belum terbiasa diiringi dengan alat musik modern seperti keyboard. Sehingga membuat Rehan perlu beradaptasi dengan apa yang ada di hadapannya. Juga telah tersusun meja kursi kafe yang siap dipenuhi pengunjung. Semua itu membuat Rehan begitu tertantang. Namun saya yakin dia mampu melampaui tantangannya.

Rehan menyukai tantangan.

Senin, 03 Juni 2019

[Keruarga Piara]


Mengenal istilah keluarga piara pertama kali adalah saat mengikuti program @pemudapenggerakdesa di Halmahera Selatan. Ke-dua kalinya tentu saat menjadi @pengajarmuda yang ditempatkan di Kabupaten Konawe. 

Kebetulan dua kali tugas di daerah selalu mendapat wilayan Indonesia bagian Timur. Sehingga budaya dan karakter masyarakatnya pun masih saling berkaitan. 

Begitu juga dengan kebiasaan mengangkat keluarga piara. Sejauh yang saya jumpai dan rasakan sendiri, menjadi anak piara atau saudara piara selalu menjadi perhatian khusus. Apa-apa selalu menjadi keutamaan keluarga. Sampai-sampai masyarakat setempat menganggap bahwa rasa sayang terhadap anak dan saudara piara jauh lebih utama ketimbang anak atau saudara sendiri.

Soal makanan misalnya; selalu mendapatkan bagian paling enak, paling banyak, dan paling pertama. Begitu juga terkai tempat istirahat selalu mendapat bagian yang paling nyaman di tengah rumah. Dan banyak lagi yang diberikan demi anak dan saudara piara secara berlebih. 

Gambaran ini bukan sebagai citra yang dibuat-buat. Melainkan sebuah karakter budaya yang sudah sejak nenek moyang dahulu diturunkan.

Di Konawe saya menjadi anak piara dari keluarga bapak Hikas dan Ibu Masnia atau lebih akrab dipanggil papanya dan mamanya Reski. Keluarga ini begitu baik menerima saya. Juga menerima dua orang @pengajarmuda sebelum saya.

Ada hal unik yang cukup menarik dari keluarga piara saya ini. Di mana setiap orang yang menjadi anak piara mamanya Reski, harus bisa Molulo--tari kaki khas masyarakat Tolaki. Setiap ada pesta dan membuka acara Molulo, mamanya Reski selalu mengajak, bahkan memaksa kami untuk ikut pergi pesta dan masuk dalam lingkaran Lulo. 

Padahal saya termasuk pribadi yang kecerdasan kinestetiknya kurang. Sejak kecil saya kurang suka kegiatan yang berkaitan dengan gerak tubuh, seperti olahraga, tari dll. Namun sejak menjadi anak piara mamanya Reski, daya tangkap saya akan gerak menjadi meningkat. Hanya hitungan minggu saya sudah mempu menguasai berbagai gaya tari Lulo. Dari gerak kaki sederhana sampai yang rumit. 

Bagaimana tidak, saya selalu ditarik, digandeng dan tidak dilepas lagi dari lingkaran Lulo. Hanya boleh berhenti kalau pakaian yang melekat di tubuh sudah basah kuyub oleh keringat. Untuk itu setiap pergi pesta, diharuskan mamanya Reski untuk selalu membawa pakaian ganti. Setelah berganti pakaian dan istirahat sebentar, sudah pasti digandeng lagi. 

Perlu diketahui, acara Molulo ini dimulai dari ba'dha Isya sampai menjelang subuh. Dan mama Reski adalah Rajanya Lulo se-kecamatan Latoma. Sehingga mama Reski akan malu jika ada anak piaranya yang tidak bisa Molulo. Jadi mau tidak mau, harus bisa. 

Demi itu, pertama mencoba saya hanya terseret ke kanan dan ke kiri dengan kaki bolak-balik terinjak dan terkilir. Tapi jangan bilang mama Reski Raja Molulo kalau tidak berhasil memaksa saya bertahan sampai 10 kali putaran Lulo dengan diameter lingakaran 20 meter saat awal mencoba. 

Namun hasilnya masyarakat sampai heran "paguru sudah seperti orang asli di sini." Saya pun dengan puas menyambut dengan tawa gembira. 

#19ceritaPM 
#Beran19abung 
#Beran16eda 
#PMXVI #PMXIX

#Beran19abung 
Daftarkan dirimu di bit.ly/DAFTARPM19

Sabtu, 01 Juni 2019

[Hari Pertama--Bertabur Bunga--di Desa]


Siapa yang tak terharu disambut dengan cara seperti dalam video ini. Sangat sederhana, tapi kesannya tak akan hilang. 

Video ini diambil dan disusun oleh Buguru ketjeh @_diyans yang sejak 2017 s.d 2018 bertugas di desa Amboniki, Konawe. Kemudian saya yang melanjutkan tugasnya pada satu tahun berikutnya. 

Dalam video ini adalah siswa-siswi SDN Amboniki. Jumlah mereka memang tak banyak, namun bakat, kreatifitas dan inisiatif mereka tak habis-habis. 

Adanya ceremony penyambutan dengan tabur bunga ini sebenarnya tanpa rencana dan tanpa sengaja. Setidaknya begitu penuturan @_diyans. 

Pagi itu saya dan diyan baru sampai di desa. Saya diantar sama diyan dong--khawatir nyasar kalau dibiarkan sendiri, katanya. Haha ini beneran ngarang. 

Sebenarnya kami berangkat dari Ibukota Kabupaten sudah sejak satu hari sebelumnya. Namun kami harus bermalam di tengah perjalanan. Menginap di desa tempat tugas Buguru @keziapuspitaa yang dilanjutkan Paguru @legi_oktaputra desa Wowalatoma. 

Faktor jalanan berlumpur dan musim hujan membuat mobil pickup yang mengangkut kami tidak lancar berjalan. Beberapa kali harus tertanam di lumpur. 

Untungnya ada utusan orang tua asuh @keziapuspitaa & @legi_oktaputra yang datang menjemput saat mobil sudah sama sekali tak mau bergerak dari pelukan lumpur Latoma. Itu pun kami sampai di Wowalatoma sudah jam 11an malam. 

Memang benar kata pepatah; berakit-rakit ke hulu, berenang-renang kemudian. Setelah bersakit-sakit gulat dengan lumpur dan puasa lagi, paginya bersenag-senang dengan anak-anak desa Amboniki di halaman sekolah menabur bunga dan main bola lagi. 

------------------------------------------------------------

Cerita selamanya meninggalkan kesan. Ini adalah kesan tak terlupakanku saat awal menginjakkan kaki di desa penempatan. 

Rasakan kesan-kesan indah dalam balutan kesederhanaan dengan #Beran19abung menjadi @pengajarmuda angkatan XIX di @ind_mengajar.

#19ceritaPM 
#Beran16eda 
#Bera19abung 
#Indonesiamengajar
#Pengajarmuda
#PMXVI #PMXIX 

Jumat, 31 Mei 2019

[Gondrong Semasa Pelatihan Intensif CPMXVI]


Tagline pendaftatan Pengajar Muda angkatan 16 adalah #Beran16eda. Sebagaimana pada cerita sebelumnya; tentang kenapa menjadi Pengajar Muda--karena menjadi Pengajar Muda itu cita-cita saya. Maka dengan tagline #Beran16eda saya masuk prlatihan dengan kondisi rambut dan jenggot gondrong.

Hari pertama kumpul untuk pelatihan, saya termasuk yang datang di awal waktu.  Saat itu baru ada beberapa CPM16 yang sudah datang dan duduk di depan pendopo kantor Indonesia Mengajar (Senbaw). Kira-kira lima orang kusalami dengan tas punggung masih dalam gendonganku. Sambil berjabat tangan tentu saling sapa, dan sebutan 'Bang' selalu teriring menyapa.

Usut demi usut--selain karena tampangku yang memang mengundang untuk dipanggil bang (udah tua)--ternyata ada juga seorang dari officer yang juga gondrong. Kiranya mereka menyangka saya adalah officer itu. Walau sama sekali tak mirip--dan tentu lebih ganteng dia-- tapi mereka menyangka saya adalah bang @bung_ucok.

Lalu saat sudah berhari-hari di dalam camp pelatihan--waktu itu di Indosat Training Centre Jatiluhur--dan sering dijenguk oleh para officer IM, selalu di berondong; "brur, kakakmu datang, kakakmu datamg tu," aku mah gak apa-apa dan santai. Tapi kan khawatir bang @bung_ucok gak berkenan, hahahaa

Nah dari sini saya berusaha untuk menekankan kata BERANI dari tagline #Beran16eda. Bukan hanya dengan kata yang lantang, tapi juga dengan ekspresi dan tindakan yang tak kalah lantang.

--------------------------------------------------------------------------

Pada pendaftaran @pengajarmuda XIX kali ini @ind_mengajar mengusung tagline masih dengan kata BERANI pada awalannya; #Bera19abung.

Untuk itu, saya mengajak--bagi yang masih memiliki kesempatan dan benar-benar berani--untuk #Beran19abung dengan @ind_mengajar melalui pendaftaran @pengajarmuda XIX.

#19ceritaPM 
#Beran19abung 
#Beran16eda 
#PMXVI #PMXIX

Kamis, 30 Mei 2019

[Menjadi Pengajar Muda itu Cita-cita, Terus Berada dalam Gerakan itu Cinta]


Satu tahun lalu, tepatnya pertengahan bulan Mei saya beserta Pengajar Muda angkatan 16 lainnya dilepas untuk berangkat ke daerah penempatan masing-masing. Ada semacam ritual wajib bagi para PM (Pengajar Muda) seblum dilepas ke daerah, yaitu mendengar wejengan dari para Founder.

Kala itu tim training dari kantor Indonesia Mengajar menyebutkan beberapa motivasi dan perjuangan para Pengajar Muda dalam menyelesaikan proses seleksi dan pelatihan.  Salah satunya; ada PM yang sebelumnya telah mendaftarkan diri sebanyak tiga kali baru berhasil lolos sampai benar-benar menjadi PM. 

Dipandu oleh teman-teman PM, seisi ruangan menoleh dan menunjuk padaku dengan pandangan heran sambil melepas tawa. Itu artinya akulah yang paling berpengalaman mengikuti seleksi menjadi PM--kalau gak bisa dibilang paling 'tua', dan tertawalah kalian melihat orang tua tak tahu malu ini.

Di situ lah saya mulai bingung mengolah rasa. Apakah harus bangga atau haru atau justru malu? Dan sesingkat tolehan mereka, saya hanya bisa membalas dengan sesungging cengiran.

Cengiran itu mengulas tiga tahun ke belakang. Bahwa setiap tahun namaku terpampang di website Indonesia Mengajar dalam pengumuman lolos tahap I dan siap mengikuti tahapan II; Direct Assessment. Dan Februari 2018 adalah akhir dari keikutsertaanku dalam seleksi tahap II.

Pada rangkaian seleksi tahap II, bagiku sudah tak asing lagi, secara keseluruhan hampir sama dari tahun ke tahun. Tiba waktunya interview, saya kebagian berhadapan dengan dua orang lingkaran inti dari Indonesia Mengajar. Satu nama adalah salah satu Founder dan satunya lagi adalah seorang dari bagian Direksi.

Entah ini kesempatan atau ancaman. Tapi di sana justru saya curhat; bahwa saya sudah daftar menjadi PM sebanyak tiga kali, dan tak satupun berhasil lolos. 

Karena saya percaya perjuangan itu berbatas waktu, maka saya ungkapkan juga; bahwa ini kali terakhir saya mengikutsertakan diri dalam segala bentuk proses seleksi menjadi PM. Jika kesempatan terakhir ini juga tak lolos, terpaksa saya harus mencari jalan lain dalam gerakan-gerakan serupa. 

Curhatan itu, memancing banyak pertanyaan lain dan bertubi dari dua orang di hadapanku itu. Hingga seolah tanpa sadar, saya sudah bercerita tentang hal apa saja yang telah kukerjakan selama tiga tahun terakhir selain mendaftar dan ikut seleksi menjadi PM. 

Bincang hangat dengan dua orang assessor itu seperti tidak sedang interview, begitu santai dan tiba-tiba saja selesai. Kami berjabat tangan erat-erat. Entah pertanda apa itu, pikirku kala itu. Jelasnya saya telah pasrah, apapun hasilnya, berada atau tidak dalam lingkungan IM secara langsung saya akan terus bergerak dan tumbuh tanpa bisa ditunda-tunda. 

Seperti makna filosofis dari logo Indonesia Mengajar; rumput muda yang sedang tumbuh, selagi waktu berjalan tak bisa ditunda lagi pertumbuhannya. 

Dari ini, kiranya saya sudah masuk dalam kategori #Beran19abung. Kalian yang masih muda-muda bagaimana? Apa juga #Beran19abung menjadi Pengajar Muda angkatan XIX? Ikut juga menjadi bagian dari #19ceritaPM