![]() |
| Sumber gambar: fb |
Kadang
cinta tidak datang dengan dentuman besar, melainkan dalam hening paling
khusyuk, di sela-sela ritual ibadah dan notifikasi yang saling bertabrakan.
Raka tahu itu sejak mengenal Lira. Ia tidak pernah benar-benar jatuh cinta─setidaknya
bukan seperti ini─seolah setiap detak jantungnya menegur dirinya sendiri:
“Jangan, kau bukan orang suci.” Namun cinta diam-diam adalah ibadah paling
sepi, dan Raka memilih memeluk sepinya tanpa banyak bicara.
Dulu, Ia beribadah sekadar untuk menggugurkan kewajiban. Doa baginya hanyalah daftar
rapalan yang mesti diselesaikan. Tapi sejak mengenal Lira─yang wajahnya selalu
tenang dan langkahnya seolah tak pernah tergesa─Raka mulai merasa ada getaran
lain dalam setiap rukuk dan sujudnya. Ia tidak tahu kenapa, hanya tahu bahwa
setiap gerak dalam ibadahnya terasa lebih jujur dari semua retorika yang
berkembang dalam pikirannya. Kadang di atas motor, di tengah lampu merah yang
panjang, tiba-tiba matanya menjadi sembab tanpa tahu sebabnya.
Ia
kini mengerti bahwa keimanan tidak tumbuh dari rasa takut terhadap neraka,
melainkan dari keberanian untuk hidup di dunia yang selalu menggoda. Ia benci
dogma yang mengurung, yang mengancam dengan neraka dan menjanjikan surga, seolah
manusia hanyalah pion yang harus tunduk tanpa berpikir. “Setinggi-tinggi iman,”
pikir Raka, “dibangun di atas tanah yang becek oleh godaan, bukan di langit
yang suci tempat para malaikat.” Ia sering teringat syair Abunawas yang sering
dilantunkan sebagai puja-puji di toa masjid kampung; bahwa manusia seperti
dirinya tak akan kuat jika harus berada di dalam neraka, tapi juga Ia merasa
tak layak untuk mengidamkan surga. Dan di situ Ia merasa, barangkali yang Tuhan
mau hanyalah kejujuran, bukan kesempurnaan.
Lira,
gadis muda penutup abad lalu─Gen Z pertama yang tumbuh dengan layar dan kode
moral sekaligus─punya cara sendiri menjaga hati. Ia bukan gadis yang dingin; Ia
hanya memegang prinsip dengan kedua tangannya yang mungil tapi kokoh. Kepada
siapa pun, termasuk Raka, Ia menjaga jarak secukupnya. Tapi dalam tiap gestur
kecil─dalam senyum yang tertahan, dalam ucapan “hati-hati di jalan” yang
disisipkan di antara kalimat kerja─Raka merasakan sesuatu yang samar, seperti
daun jatuh ke air: nyaris tak bersuara, tapi bergelombang jauh di dalam.
Ia tak
pernah berani banyak bicara. Ia hanya menulis kalimat-kalimat absurd di
linimasa, tanpa menyebut nama, tanpa makna jelas─sebuah upaya putus asa agar
Lira tahu, bahwa ada seseorang yang memikirkannya di balik semua kepura-puraan
profesional itu. Kadang Ia tertawa pada dirinya sendiri: betapa norak, betapa
kekanak-kanakan. Tapi bukankah semua cinta bermula dari ketidakdewasaan yang
tulus?
Raka
bekerja di sebuah konsultan riset pertanian, berpindah dari satu daerah ke daerah
lain, menulis laporan tentang kesejahteraan rumah tangga petani─sementara
pikirannya entah kenapa selalu kembali pada Lira. Ia tahu, mereka berdua ingin
hal yang sama: hidup sederhana, tanah yang bisa ditanami, waktu yang cukup
untuk bernafas dan beribadah, tanpa harus diperbudak oleh ambisi dan angka.
Mereka sama-sama ingin menjadi manusia biasa─yang cukup, bukan kaya; yang
damai, bukan ambisi terkenal.
Kadang,
di tengah riset harga komoditas dan data petani kecil yang tak kunjung membaik,
Raka bergumam sendiri, “Berbuat baik boleh.” sambil tersu menekuri perolehan
data dan bayangan target akan ambisi program-program pemberdayaan, ia
menambahkan lirih, “Tapi kalau kebaikan dilakukan dengan menguras orang lain
hingga kering, itu bukan kebaikan. Itu ketidakadilan yang berdzikir dengan
sepinya sendiri.”
Dan
setiap kali Lira membalas pesannya dengan sekadar emotikon senyum, Raka tahu:
itu sudah lebih dari cukup untuk membuatnya bertahan satu minggu lagi di dunia
yang makin sulit Ia pahami.
***
Malam
turun seperti rahmat yang lelah. Lampu kota berpendar dalam kabut tipis; dari
jendela kosnya, Raka melihat bayangan dirinya di kaca, samar, terbelah antara
dunia nyata dan layar ponsel yang terus menyala. Notifikasi berbunyi pelan, dan
untuk sesaat ia mengira itu dari Lira. Tapi bukan. Hanya iklan. Selalu iklan
dari reksa dana dan pasar uang.
Ia
mematikan layar, lalu termenung. Seandainya hidup manusia bisa diatur seperti
algoritma─cukup hapus kesalahan, atur ulang kenangan, dan simpan semua rasa di
folder yang rapi─mungkin cinta tidak akan serumit ini. Tapi manusia, pikirnya,
diciptakan untuk berantakan. Dan di antara berantakan itu, ada yang disebut
harapan.
Ia
duduk di tepi ranjang, memegang buku catatan kecil. Tak ada yang istimewa
dengan benda itu, hanya buku untuk menuangkan pikiran agar tidak terlalu overthinking.
Kadang Raka membuka beberapa lembar dan meraih pena tanpa sadar sambil menarik
nafas pelan, mencoba membaca kembali antara keyakinan dan keraguan─dua hal
yang, entah bagaimana, selalu beriringan.
Ia
teringat hari-hari ketika iman terasa seperti rutinitas yang tak punya ruh.
Kini, ada gerak yang membuat ibadahnya lebih jujur, tapi juga lebih berat. Ia
takut kehilangan ketenangan itu─takut jika perasaannya pada Lira hanyalah ujian
kecil yang bisa merusak seluruh keseimbangan batinnya.
Namun
di sisi lain, rasa itu juga menumbuhkan sesuatu yang baru. Seperti pohon kopi
yang tumbuh di tanah keras, menembus lapisan batu demi sedikit air. Begitulah
cintanya: bukan untuk dipamerkan, hanya untuk bertahan.
Di luar,
suara kendaraan lewat seperti doa-doa yang tak sampai. Kota ini sibuk
menampilkan kebahagiaan: orang-orang tertawa di layar, berbagi nasihat,
membangun citra, menulis kata-kata bijak yang mereka sendiri tak mampu jalani.
Dunia seolah menjadi tempat di mana semua orang ingin terlihat baik, tapi tak
punya waktu untuk benar-benar menjadi baik.
Raka
menarik napas panjang. Ia tahu, setiap kali menulis absurd, ia sebenarnya
sedang berbicara dengan Tuhan, bukan dengan Lira. Tapi Tuhan mungkin sedang
sibuk menenangkan hati orang lain yang lebih hancur darinya.
Di
ujung malam itu, sebelum tidur, ia berbisik dalam hati:
"Aku
tidak ingin apa pun, Ya Tuhan. Cukuplah aku bisa mencintai dengan damai. Tapi
jika Kau izinkan, biarlah dia tahu─bahwa ada seseorang yang mengharap kasi Mu
untuknya, bahkan tanpa nama."
Dan
dengan itu, Raka memejamkan mata.
Malam
pun menutup dirinya perlahan, seperti seorang ibu yang menidurkan anak yang
terlalu banyak berpikir.
***
Hari
itu matahari terbit seperti biasa, tapi rasanya sinarnya tidak sampai ke hati.
Kantor konsultan tempat Raka bekerja sudah ramai sebelum jam delapan. Bunyi
notifikasi di grup kerja bersahut-sahutan seperti doa-doa yang kehilangan iman:
cek email, revisi instrumen, submit laporan harian, update progres. Semua orang
sibuk membuktikan diri dengan cara paling sunyi─dengan terlihat aktif di layar.
Raka
menatap layar laptop yang penuh warna, tapi kosong maknanya. Laporan tentang
petani kopi di Selatan sudah selesai. Data bersih, grafik rapi, kata-kata
sopan. Tapi di kepalanya yang berisik, Ia justru bertanya: untuk apa semua ini,
kalau yang hidup di lapangan tetap tak beranjak dari nasib yang sama?
Ia
tahu persis: petani yang diwawancarainya minggu lalu masih bingung kenapa harga
bibit tambah mahal, kenapa pupuk langka, dan kenapa hidup mereka tak pernah
ikut naik seperti grafik di laporan itu. Dunia riset seolah hanya pandai
memoles luka agar tampak seperti prestasi.
Lira
muncul siang itu, diam-diam seperti kebiasaan baik yang hampir punah.
Ia
datang ke kantor membawa setumpuk dokumen dari lapangan, wajahnya tampak lelah
tapi tetap tenang─seolah kelelahan adalah bagian dari ibadah yang tak perlu
diadukan.
“Sudah
kamu kirim?” tanyanya pendek.
Raka
mengangguk.
“Baru
saja,” jawabnya, berusaha terdengar datar. Tapi dadanya berdetak seperti
genderang.
Lira
duduk di seberang meja, membuka laptop. Aroma samar kopi hitamnya mengisi
ruang. Tidak ada percakapan lain setelah itu, hanya suara klik keyboard dan
kipas laptop yang menua. Namun bagi Raka, hening itu justru penuh suara: degup,
ragu, dan rasa ingin mendekat yang tak bisa dibenarkan.
Ia
ingin mengatakan banyak hal─tentang rasa rindu yang disembunyikan di antara
kolom data, tentang doa-doa yang disamarkan menjadi draft laporan. Tapi Ia
tahu, satu kata yang salah bisa mengguncang seluruh prinsip yang Lira junjung.
Dan Raka tak ingin menjadi badai bagi perempuan yang menjaga dirinya dengan
begitu tabah.
Di
luar kantor, dunia terus berjalan dengan kesibukan yang menipu. Orang-orang
berlomba tampak bahagia, seolah kelelahan adalah dosa. Semua berlomba menjadi
versi paling produktif dari dirinya sendiri, meski kehilangan waktu untuk
benar-benar hidup.
Kadang
Raka merasa dunia ini bukan lagi tempat untuk manusia, tapi untuk algoritma:
yang cepat, yang efisien, yang tak punya perasaan.
Ia
melirik Lira sebentar. Dalam diamnya, ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan
dengan kalimat. Ia tampak seperti seseorang yang berperang tanpa senjata─melawan
tuntutan pekerjaan, ekspektasi, dan mungkin dirinya sendiri.
Dan
anehnya, dari semua itu, justru di situlah letak keindahannya.
“Lira…”
panggil Raka pelan, hampir tak terdengar.
Gadis
itu menoleh, matanya lembut tapi tegas.
“Hm?”
“Kalau
dunia ini terus sibuk seperti ini… kamu nggak capek?”
Lira
tersenyum kecil. “Capek. Tapi aku nggak punya pilihan selain terus jalan. Kalau
berhenti, aku menjadi generasi malas. Kalau melambat, kita ketinggalan dengan
dunia yang terus berkembang.”
Jawaban
itu menghantam dada Raka seperti batu kecil yang dilempar dari jarak dekat. Ia
ingin bilang: kamu nggak perlu terburu-buru, Lira. Dunia ini memang kejam pada
orang baik. Tapi kata itu berhenti di tenggorokannya.
Ia
hanya menatap layar, kembali mengetik sesuatu yang bahkan Ia tahu tak akan
dibaca siapa pun dengan sungguh-sungguh.
Di
sela mengetik, pikirannya melayang: mungkin inilah yang paling getir dari hidup
di zaman ini─semua orang bicara tentang keberanian, tapi takut berhenti. Semua
orang bicara tentang cinta, tapi takut dianggap berlebihan. Semua orang ingin
terlihat beriman, tapi lupa menjadi manusia.
Dan di
antara absurditas itu, Raka memilih diam. Karena mungkin diam, adalah
satu-satunya cara mencintai tanpa mengganggu.
***
Sore
datang seperti seseorang yang selalu tiba tapi tak pernah menetap. Langit
berwarna jingga, tapi di mata Raka, warna itu tak lagi romantis─lebih mirip
peringatan lembut bahwa hari sudah hampir habis, sementara dirinya belum juga
menemukan arti.
Kantor
mulai sepi. Satu per satu rekan kerja pulang, meninggalkan ruang yang kini
hanya diisi dengung pendingin udara dan sisa aroma kertas. Lira masih duduk di
sana, menutup laptopnya perlahan. Ia tersenyum kecil pada Raka sebelum
beranjak. Senyum yang tak lebih dari dua detik, tapi cukup untuk membuat detak
jantung Raka memanjang jadi menit.
“Pulang
dulu, ya,” katanya.
“Iya…
hati-hati.”
Lira
berjalan ke arah pintu, membawa bayangan sore bersamanya. Tak ada kata lagi,
tapi langkahnya cukup untuk menulis puisi yang tak akan pernah Raka kirimkan.
Setelah
pintu tertutup, Raka menatap layar ponsel. Ada notifikasi baru─bukan pesan,
hanya pembaruan story. Foto langit. Hanya langit. Tapi Raka tahu,
langit itu langit tempat Lira berdiri barusan.
Ia
menatapnya lama, lalu tersenyum getir. Dunia digital memang aneh: kadang hanya
dengan melihat langit yang sama dari layar kecil, seseorang bisa merasa dekat.
Ia
keluar dari kantor, berjalan menuju parkiran. Jalanan padat, motor-motor
berdesakan seperti pikiran-pikiran yang tak sabar. Di lampu merah, Raka
berhenti, menatap bayangan wajahnya di kaca helm. Ia tampak seperti pria biasa─lelaki
yang menua pelan tanpa arah, yang berusaha tampak tegar di dunia yang tak
memberi tempat bagi kelembutan.
Ia
teringat kata-kata Lira siang tadi: “Kalau berhenti, aku jadi generasi malas.”
Itu
kalimat paling jujur tapi getir yang pernah ia dengar. Dunia sekarang memang
kejam terhadap yang melambat. Semua harus cepat: berpikir cepat, menjawab
cepat, mencintai cepat. Padahal hati manusia tidak pernah dirancang untuk
kecepatan─ia hanya tahu cara menunggu.
Di
perjalanan pulang, Raka melihat papan reklame besar berganti-ganti gambar:
minuman energi, lowongan kerja, iklan amal, dan motivasi murahan bertuliskan
“Jangan menyerah, hidupmu berharga.” Ia tertawa kecil. Hidup memang berharga,
tapi entah untuk siapa.
Di
rumah kontrakannya yang sempit, Raka menyalakan lampu kuning redup. Meja
kerjanya penuh kertas laporan dan cangkir kopi setengah basi. Ia membuka ponsel
lagi, sekadar melihat langit Lira sekali lagi. Tapi kini status itu sudah
menghilang─entah dihapus, atau tenggelam di antara unggahan orang-orang yang
sedang berpura-pura baik-baik saja.
Ia
termenung lama. Kadang, pikirnya, cinta di zaman ini bukan tentang menunggu
balasan, tapi tentang belajar berdamai dengan algoritma.
Tentang
sadar bahwa tak semua yang kau tulis akan sampai, dan tak semua yang kau
rasakan perlu dimengerti.
Raka
menatap jendela, melihat langit malam yang sama.
“Semoga
kau istirahat malam ini, Lira,” bisiknya pelan. “Aku akan berhenti menulis
untukmu malam ini. Mungkin.”
Namun
ia tahu, besok pagi Ia akan menulis lagi. Bukan karena berharap dibaca, tapi
karena itu satu-satunya cara agar dunia ini terasa sedikit lebih manusiawi.













