Minggu, 29 Maret 2015

PENGGALAN "SURAT UNTUK LAKSMI"

Hati-hati mencari mawar
Karena mawar berduri
Hati-hati mencari pacar
Karena pacar bisa menyakiti hati


Pecundang. Apa arti atau makna dari kata itu. Tapi sungguh menusuk dalam hati. Terkadang menyayat tapi tak begitu perih. Hanya sebuah pertanyaan, apa maksudmu berkata seperti itu.

Aku hanya ingin melenyapkan rasa sakit yang semacam menusuk dalam. Maka hanya dua atau tiga kali ku baca surat balasanmu. Kemudian  ku lenyapkan dalam bara yang hampir padam di tungku dapur mbahku. Tungku yang mungkin baru saja untuk memasak air dalam dua jam sebelum aku pulang dari sekolah.

Tak sempat ku kenang selembar surat balasanmu. Seiring lenyapnya selembar kertas itu dalam rambatan bara yang mulai menjadi abu, hanya sebait pantun yang ku kenang entah sampai kapan.


Hati-hati mencari mawar
Karena mawar berduri
Hati-hati mencari pacar
Karena pacar bisa menyakiti hati

Pantun mu seolah menjadi penimbang dalam langkah-langkah ku kemudian. Sebait pantun mu merasuk kemudian menyatu bak sebuah nasihat untukku. Tapi kenapa saat mengingatnya selalu muncul sebuah kata “pecundang”, yang aku sendiri lupa tersusun dalam kalimat seperti apa. Aku bukan akan tersinggung dengan arti atau makna kata itu, yang baru ku ketahui makna kata itu setelah lama melupakanmu. Aku hanya ingin bertanya alasanmu membubuhkan kata “pecundang” dalam surat yang kau tulis untukku.

Aku tak perlu pusing berpikir keras untuk tau alasanmu. Yang ku tau suratmu adalah penolakan atas rasa cinta kasih yang ingin ku curahkan padamu. Telah kau benarkan penolakan itu dengan sikapmu yang kemudian berbeda. Perlu kau tau, suratku yang telah kau bacai sesungguhnya tak ku kehendaki untuk sampai di tanganmu. Atau justru ungkapan ini yang membuatmu membubuhkan kata “pecundang” dalam suratmu? Sudahlah, bukannya aku tak perlu tau alasanmu.

Suratmu tak pernah sekali saja ku tunjukan ke orang lain. Tidak seperti surat yang ku tulis untukmu. Sebelum suratku sampai di tanganmu, telah ku tunjukan kepada teman yang ku anggap tau tentang bahasa asmara. Tau kah kau apa tanggapan temenku. Betapa dia terpesona dengan tulisanku. Ah, mungkin itu hanya semacam dorongan saja, supaya aku lebih banyak menulis surat untuk mu Laksmi.

Namun sayang, aku tak bisa mengingat dengan jelas puisi cinta seperti apa yang ku tulis untukmu. Aku pun tak pernah tau nasib surat itu. Bagaimana kabarnya setelah kau baca. Apakah kau simpan, ataukah dia tersesat bersama sampah kulit tempe di pambuangan. Atau mungkin senasib dengan suratmu yang telah menjadi abu bersama bara dalam tungku. Aku tak pernah tau dan tak ku cari tau kabarnya.

Setelah itu hubungan kita memburuk. Tidak seperti sebelumya yang penuh dengan cerita romantis di dalam kelas. Bercerita semua hal, tentang keluarga, tentang guru baru di kelas enam, tentang adikmu yang masih lucu-lucunya. Kita selalu cerita saat murid-murid lain sedang khusuk menyalin catatan pelajaran IPS dari buku paket yang ditugaskan pak Jono. Kau masih ingat bukan, catatan kita selalu rapi dan lebih dulu selesai dari murid-murid lain di kelas kita. Aku sendiri mulai rajin mencatat di rumah sejak kau nasihati di akhir catur wulan ketiga saat kita duduk satu bangku di kelas empat. Waktu itu kau berpesan untuk rajin mencatat supaya kita mudah mempelajarinya kembali saat menjelang ujian catur wulan. Aku selalu mengingatnya. Aku tak pernah terpaksa untuk menyalin catatan-catatan dari buku pinjaman pak Jono.


*

0 Komentar:

Posting Komentar