Rabu, 04 Maret 2015

Deskriminasi Poligami

Dudung

Dudung sedang menunggu bus di pinggir jalan.
Seorang wanita mudaa tidak jauh darinya sedang duduk di bawaah pohon beringin. Sepertinya sedang menunggu bus juga. Sebagai pria yang telah akil balikh, Dudung pun mulai memperhatikan waanita muda itu.

Jilbab meraah jambu menutup seluru rambutnya, ransel kecil menempel di punggung, kacamata berlensa nangkring di batang hidung, dan sebuah ponsel sedang dipencet-pencet.

Setelah diperhatikan, Dudung merasaa tertarik. Dan berusaaha untuk mencuri perhatiannya. Mendekat sedikit-sedikit, sambil sesekali melirik wanita muda yang tak jauh darinya.


Pucuk dicinta ulam pun tiba, wanita muda itu menoleh ke arah Dudung, dan memberi senyum. Dudung salah tingkah. Hatinya penuh harum bunga.
Dudung semakin terpesona dengan keanggunan senyumnya.

Kemudian Dudung berinisiatif ingin menyapa. Awalnya Dudung mau nanya, apakah mbaknya sedang menunggu bus juga.

"Sedang...." ucap Dudung terputus.
Sepeda motor hitam sudah berada di hadapan wanita muda yang tidak jauh dari Dudung.
Pemandangan aneh itu membungkam mulut Dudung.

Seorang gagah di atas sepeda motor sedang berjabat tangan dengan wanitaaa muda itu. Dicumnya pula punggung tangan si gagah.

Dudung kecewa. Tapi Dudung tetap penasaran. Hari itu Wanita mudaa itu Dudung ikhlaskan untuk sementara.

Hampir setiap pulang kerja dudung menunggu bus di tempat yang sama. Berharap momen bertemu dengan wanita mudaa yang membuatnya terpesona itu bisa terulang kembali.

Suatu ketika di alun-alun, Dudung bertemu lagi dengan wanita muda anggun itu. Bukannya bahagia, si Dudung malah bertambah kecewa. Padahal sebelumnya Dudung sangat mengharapkan untuk dipertemukan lagi dengan wanita muda anggun itu.

Tapi apa boleh buat, kecewalah hasilnya. Di Alun-alun Wanita muda anggun itu tengah duduk bertigaa, seorang adalah si Gagah, dan seorang lagi adalah balitaa imut di pangkuannya.

Lenyap sudah harapan Dudung.




***



Jatuh cintaanya si Minung.

Minung adalah seorang mahasiswa. Aktivis lagi. karena faktor ekonomi, si Minung bekerja sambilan sebagai kasir di sebuah minimarket ternama. itu lho minmarket yang menjamur di mana-mana, hampir di setiap gang jalan bangunannya selalu biru merah atau kuning merah. Sebeenernya Minung terpaksa bekerja sebagai kasir. sebagai aktivis, Minung sudah tentu menolak sistem kapitalis itu. tapi idealisme Minung kepentok dengan keadaan ekonominya.

Sebagai mahasiswaa tingkat Akhir, Minung lumayan banyak waktu luang, walau sebenarnya itu waktu yang diluangkan. Ya, bagaimanapun Minung kan seorang aktivis, gak mungkin lah, seorang aktivis nganggur.

Minung bekerja pada sif kedua. antara sore sampai agak malam. walau berat tapi demi menyokong perekoniman mahasiswaa tingkat akhir, minung rela.

Suatu sore, ada seorang ramah belanja di minimarket tempat Minung bekerja.
Seorang lelaki gagah dan ramah. belanjanya tidak banyak, hanya perlengkapan mandi dan beberapa kosmetik pria.

Saat pertama masuk, lelaki gagah ini berucap samal (salam cara muslim). Minung heran, tidak biasanya ada seorang yang belanja berlaku demikian. Minung menjawab lirih, demi menggugurkan kewajibannya untuk menjawab salam itu. karena dalam ketentuan kerjanya, setiap kali ada yang hendak belanja, Minung harus menyapa dengan ucaaapan "Selamat datang, Selamat belanja di ********".

Seorang ramah itu bersenyum dan minta izin belanja kepada minung. dan Minung mempersilakan "Monggo mas". Jawaban itu mestinya tidak ada dalam protokoler seorang kasir di minimarket itu. Minung menjawab reflek saja.

Tanpa disadari, minung mengikuti setiap laku seorang raamah itu dengan pandangannya. Dari rak ke rak, taangan si ramah berpindah, dan selalu minung membuntuti dengan pandangan tidak biasa.

Takut dipergoki, karena minung telah mencuri pandang. Minung mengalihkan perhatian dengan tergagaap, pura-pura sedang menyusun beberapa belanjaan di belakang meja kasir. Walu telah mengalihkan perhatian, tapi bola mata Minung selalu berada di sudut mata. Berharap dengan leher tetap tegak, tapi dapat memandang si ramah.

"saampun mbak" tegur si ramah.

tergagaplah si Minung, baru saja bola matanya mencari-cari yang semula diperhatikan, tibaa-tiba dikagetkan dengan teguran suara si ramah yang telah terekam di memorinya beberapa menit lalu.

Karena kaget, barang-barang yang sedang tidak disusunnya itu malah jadi jatuh dari rak. Malu bukan main Minung dibuatnya.

"ada apa mbak", tanya si ramah.
"ndak apa apa mas", jawab minung sambil buru-buru mengambil barang-barang yang jatuh.

"sebentar ya mas" sambil malu malu minung merasa bersalah karena tidak segera melayani pelanggan.
"ndak usah mas" Minung mencegah si ramah yang hendak membantunya mengambil barang-barang yang jatuh. Si ramah paham, dia tidak diperkenankan masuk ke celah meja kasir. Begitu aturannya.

dengan kemerah-merahan pipi Minung kemudian melayani si raamah.

"nglamuni nopo to mbak, kok gugup ngoten"

pipi Minung bertambah merah dan pandangannya semakin tertunduk.
sambil memberi kembalian uang belanja, Minung berusaha tetap profesional. "ada yang lain mas" Minug berusaha mematuhi protokoler sebagai seorang kasir lagi.

"matur suwun mbak" jawab si ramah.
"jangan banyak nglamun mbak, ntar kesambet jin lewat lho" sambil tersenyum si raamah menambahi serangannya.
berucap salam dan si ramah meninggalkan minimarket.

sejak peristiwa itu, konsentrasi minung jadi sering terganggu. Baik saat ngerjain revisi skripsinya, saat konsultasi dan terlebih saat kerja. Suaraa merdu dalam salam dan sapaan si ramah yang telah terekam oleh Minung, menjadi suara misterius. Kapan pun, selagi mata terbuka dan dalam kesadaran penuh, selalu saja salam si ramah terngiang-ngiang di telingan Minung.

Tak kuasa dengan deritaanya, Minung akhirnya mencurahkan perasaannya kepada ibunya. dengan keluh dan kesahnya, ibu minung paham apa yang di alami anaknya.

pada kesimpulannya, Minung telah jatuh cinta.

Hampir satu bulan lebih, perasaan Minung yang resah telah mereda. Minung yang memang patuh dengan nasihat Ibundanya, membuatnya mudah dalam menyelesaikan berbagai masalahnya. termasuk derita Minung akibat suara merdu si ramah.

Sore itu, hujan grimis. minimarket sepi. Minung bekerja dengan seorang rekannya.
Minung sedang membeli Syomai di depan minimarket tempatnya bekerja.
Sambil menunggu bapak tukang Syomai meracik dua bungkus Syomainya, Minung melihat sepasang suami-istri sedang turun dari motor untuk berteduh di halaman parkir minimarket tempat Minung bekerja.

Wanita dengan jilbab lebar yang dibonceng lari terlebih dahulu untuk segera berteduh. Kemudian disusul suaminya seteleh memastikan motor terparkir dengan baik. Terlihat mereka (Suami-Istri) bercakap-cakap di emperan minimarket.

Minung berjalan masuk ke dalam minimarket sambil memperhatikan sepasang Suami-Istri yang sedang bercakap-cakap. Tak begitu terdengan isi percakapannya, yang jelas nampak begitu asik dan bahagia mereka bercakap. Tiada keluh dan kesal di wajah mereka, walau perjalanan mereka terhalang oleh hujan.

Pintu Minimarket yang satu-satunya itu terbuka dan terdengar salam. Minung yang telah berada di balik meja kasir tergagap kaget. Secepat mungkin Minung membereskan kunyahan Syomai di mulutnya. Menjawab salam lirih dan menjalankan profesionalnya dengan menyapa pelanggan dengan sapaan wajib minimarket itu.

Minung seperti pernah kenal dengan suara merdu dalam salam yang baru saja dia dengar. Minung berusaha mengingat.

Pelanggan yang barusan masuk adalah Suami-Istri yang berteduh di emperaan minimarket. Mereka mengambil dua buah roti dan satu botol air mineral kemasan.
Saat kedua pelanggan itu membaya di kasir, Minung semakin jelas mengingat suara merdu dalam salam tadi. si Ramah. Minung memberanikan diri menataap sekilas wajah pelanggan itu untuk menguatkan ingatannya. Dan benar, dialah si ramah itu.

"Matur Suwun mbak", ucap si ramah sambil mengambil uang kembalian si Minung.
Berucap salam, dan si ramah melangkah keluar minimarket. Minung hanya bisa mengikuti langkah dua sejoli yang mesra tapi tidak norak itu dengan pandangannya.

Hujan reda, dan kehangatan emperan minimarket hilang.
Sepasang suami-istri yang baru saja menjadi pelanggan Minung telah meninggalkan tempat berteduhnya.

Perasaan minung yang telah mulai reda tiba-tiba datang kembali, seperti datangnya banjir bah.

Minung kembali lagi terpuruk dalam deritaa. Bukan karena si Ramah telah beristri. Melainkan laku si Ramah terhadap istrinya yang nampak mesra dan istri ramah terlihat nyaman sekali berada di dekat suaminya.

akibat deritanya, si Minung berhari-hari melamun. Aktifitasnya seolah lumpuh. Makan tak enak, tidur tak nyenyak, jalan juga gelisah. Seperti itulah derita Minung.

lagi-lagi minung kepentok dengan keadaan. minung mencoba kembali pada kesadarannya. Sadar akan keterpurukan yang akan menghambat segala cita dan impiannya. Ibunda lah tempat pencurahan paling nyaman bagi Minung.

Pada kesimpulan Ibundanya, Minung benar-benar telah jatuh cinta. Ibunda minung selalu mengerti bagaimana keadaan buah hatinya yang tampak kuat tapi cengeng itu. Maka jalan terbaik dipilah-pilah dalam forum curahan hati yang berubah menjadi diskusi antara ibunda dan buah hatinya.

Dengan segala pertimbangan, Minung tetap tidak bisa untuk melupakan laki-laki yang telah beristri itu. Merasa kasihan dengan derita Minung, Ibundanya mendiskusikan masalah buah hatinya itu kepada ayah Minung.

Di Kemudian Hari, Ayah Minung mencari tau siapa si Ramah yang telah beristri itu.
Tempat tinggal, tempat kerja dan latar belakang keluarga si Ramah telah diketahui Ayah Minung.

Dan akhirnya Ayahanda Minung memberanikan diri 'Nembung' ke si Ramah untuk menjadikan si Minung menjadi bagian dari rumah tangganya.

Tamat.

0 Komentar:

Posting Komentar