Selasa, 17 Maret 2015

Pesona Krapyak (dalam catatanku yang tak indah)

Di Jogja ini ada sebuah tempat yang membuat ku berkali-kali ingin ke sana. Tiada bosan, walau hanya sekedar melintas, tak kenal panas, tak kenal hujan. Kalau sudah kepengen langsung berangkat. Taidak perduli bensin sudah di bawah garis merah.

Tempat itu bukanlah tempat wisata, bukan pula sebuah museum yang yang terkenal, Tapi tempat itu masih satu garis lurus dengan alun-alun selatan, kemudian Kraton dan alun-alun utara, kemudian titik nol Jogja, Jalan Malioboro, Tugu Jogja dan seterusnya Merapi. Tempat itu di sekitaran Kandang Rusa —termasuk bangunan tua, bangunan cagar budaya Jogja.

Biasanya aku berjalan dari arah RSUD Jogja melalui jalan Sisingamangaraja ke arah utara sampai jumpa masjid Al Irsyad menuju jalan Parangtritis melalaui jalan kecil, jalan Prawirotaman. Prawirotaman ini banyak berjajar kafe dan hotel yang ramai dikunjungi turis-turis mancanegara. Kapanpun melintainya selalu ada turis yang berjalan santai. Kadang seorang diri atau berpasangan. Jarang sekali yang berombongan.

Walau jalan ini tak begitu lebar dan tak begitu padat, tapi suasananya tak pernah sepi. Terlebih saat malam-malam akhir pekan atau hari-hari liburan, kafe penuh dengan pengunjung yang hampir semuanya turis mancanegara. Kebanyakan dari mereka adalah berambut pirang dan berkulit putih.

Aku berjalan tidak dengan buru-buru. Bukan karena menaati rambu lalulintas yang menganjurkan pelan untuk jalan kecil itu. Berjalan santai menikmati setiap yang terlintas. Mengagumi kafe-kafe sederhana yang ramai dan unik penuh dengan sentuhan seni budaya, juga turis-turis yang berjalan santai dengan bakaian sederhana.

Menembus jalan Prawirotaman dengan kecepatan rata-rata 20 Km/h. Secara stabil handle gas motor yang ku kendarai bejalan mengikuti kehendakku. Kemudian di ujungnya jalan Parangtritis menyambut dengan kepadatan kendaraan yang kontras dengan jalan Prawirotaman. Wajar saja, karena jalan Parangtritis lebih lebar dan memang akses jalan utama dari kota Jogja menuju pantai Parangtritis.

Menyebrangi jalan Parangtritis, kemudian melintasi jalan Tirtodipuran yang juga tidak padat. Suasananya hampir sama dengan jalan Prawirotaman,hanya saja para turisnya tidak terlalu ramai dan tidak juga banyak kafe dan hotel.

Nah, tetap dengan kecepatan yang konstan, 20 Km/h. Jalan Mayjen DI Panjaitan ramai kendaraan, tetapi tidak sepadat jalan Parangtritis. Soal lebar, hampir sama dengan Jalan Parangtritis. Klaupun lebih lebar, ya lebar jalan Parangtritis sedikit lah.

Dari gawangan jalan Tirtodipuran, kalau berbelok ke kanan atau ke utara itu menuju jalan MT Haryono. Dan jika terus lagi ke utara, itu alun-alun kidul. Seterusnya cari sendiri di Google Maps. hehehe

Aku ambil jalan ke kiri, ke arah selatan. Kalau sudah sampai di jalan DI Panjaitan, kecepatan berkendara ku deselarasi dari kecepatan 20 Km/h. Kira-kira, jika ketelitian Speedometer di sepeda motor yang ku kendarai itu tinggi, kecepatannya akan terukur 10 s.d 13 Km/h.

Ada suatu hipnotis dalam berkendara yang ku alami saat melintas jalan ini. Reflek saja langsung kuturunkan kecepatan.

Hampir sama saja dengan jalanan lain di kota Jogja ini. Ada barisan toko juga warung makan, warung klontong dan bertengger juga minimarket yang biasa ku sebut menjamur di mana-mana —dan banyak merebut pangsa pasar rakyat kecil.

Melaju perlahan, masih satu garis lurus, hanya di batasi dengan pertigaan, jalan DI Panjaitan berganti menjadi jalan Ali Maksum. Saat memasuki jalan ini, debaran jantungku berlawanan dengan rpm (rotation per minute) mesin motor yang ku kendarai. Jika rpm sepedamotor yang ku kendarai berkisar di putaran mesin stasioner (1.500 rpm), maka jika diumpamakan dengan mesin detak jangtungku sepuluh kali lipat dari putaran mesin stasioner.

Biasanya aku sengaja melintasi jalan ini pada waktu-waktu strategis. Antara jam 2 siang sampai jam 3 atau antara jam 4.30 sampai jam 6 sore.

Mulai memasuki jalan Ali Maksum, suasana damai dan teduh mulai terasa. Pada waktu-waktu yang ku sebut strategis tadi, jalan Ali Maksum ramai. Ramainya bukan ramai biasa. Dan Pastinya bukan ramai karena Turis.

Berjalan lurus, tanpa memperhatikan terlalu fokus ke arah depan. Lebih banyak ku perhatikan kanan dan kiri. Berjalan terus, sampai menjumpai bangunan tua di tengah jalan —lebih tepatnya jalanan itu yang melingkari bangunan tua. Namanya Kandagn Rusa, kata salah seorang teman ku.

Di kandang rusa ini aku tak melanjutkan jalan ke arah selatan. Mengelilingi kandang rusa, dan berbalik ke utara lagi. Masih tetap dengan kecepatan berkendara seperti sebelumnya.

Jalan Ali Maksum ramai dengan pedagang. Mulai dari pedagang dawet, angkringan, burjo, warung padang, warung soto, warung mie ayam dan bakso, warung pulsa, beberapa toko buku dan percetakan. Banyak juga pedagang kaki lima yang di pinggir jalan. Ada yang jualan syomai, sate, es kelapa muda, cireng, jus buah dan semua yang meberkahkan jalan ini.

Warung Burjo —bubur kacang ijo— menjadi pilihanku untuk duduk ngopi. Kadang juga Angkringan di samping sebuah ATM Bank ternama —yang jangkauannya sampai ke plosok-plosok.

Di warung Burjo atau di angkringan ini biasanya aku menemukan rasa yang aneh. Boleh jadi, aku hanya sekedar nongkrong —begitu anak muda menyebutnya. Tapi memang benar, di sana aku hanya duduk sambil ngopi, kadang sambil baca koran tapi lebih banyak memandang ke arah jalan dan para pedagang kaki lima yang ramai dikrumuni pembelinya.

''Mas, kopi kap*l a** special mix''. tanpa basa-basi langsung ku pesan kopi dan duduk tenang.

Warung burjo memang agak lengang untuk waktu-waktu antara jam dua sampai jam tiga sore. Lebih ramai di angkringan. Tapi aku memilih di warung burjo, yang tidak terlalu ramai.

Teman yang hanya berteman dengan telinga lebar ku, dengan penghlihatanku yang kadang buram karena terlalu lama tidak berkedip. Mereka itu yang tak pernah lebas dari sarung yang membelit dari pinggang sampai mata kakinya. Mereka yang berpakaian longgar dan berjilbab pantas. Tidak tua tidak muda, demikian yang ku lihat. Dan yang ku dengar pembicaraan-pembicaraan ringan penuh keceriaan tanpa beban.

Bagi mereka yang bersarung, lebih lama duduk untuk makan nasi orak-arik atau sekedar nasi kucing. Sedangkan yang berjilbab, mereka hanya berlalu-lalang. Sesekali berhenti agak lama, untuk menunggu racikan batagor atau syomai dari penjualnya.

Aku tidak begitu tau apa yang mereka fikirkan saat nongkrong di warung burjo atau angkringan. Hanya saja mereka tampak beristirahat dari lelah menyerap ilmu dari sang guru. Mereka berjalan begitu santai, dan kebanyakan mereka bergerolbol tiga sampai empat berjalan beriringan.

Jarang sekali melihat mereka berjalan pada watu-waktu strategis itu seorang diri. Dan kalaupun ada seorang mereka berjalan sendiri, sudah pasti mereka sedang terburu-buru.

Kontras sekali dengan para turis mancanegara itu, juga dengan ku. Aku juga selalu santai walau berjalan seorang diri. Terlebih saat melalui jalan Ali Maksum ini.

Hanyut terbawa arus mondar-mandir para kaum sarungan ini, pikiranku seolah tak mampu mengingat beban yang ada. Tiada terlintas tentang janji, tentang hutang, tentang kesejahteraan, tentang kehidupan yang akan datang. Semuanya terbawa oleh terompah para kaum sarungan yang hilir-mudik dan bersantai di warung-warung makan murah dan berkah.

Lamunanku tidak jelas, hanya candu kopi saja yang kemudian memberi sedikit warna di alam pikiranku saat duduk di burjo atau di angkringan. Semua lamunanku tersita hanya untuk lebih mengagumi dan mendambakan wajah-wajah teduh para kaum sarungan itu.

Kebanyakan dari mereka memang berumur lebih muda di bawahku, walau sebagian ada juga yang ku tebak seumuran dengan ku. Menyenangkan sekali bisa seperti mereka, wajah-wajah yang menggambarkan ilmu dan amal sholeh.

Saat mereka berjalan pun luwes, tidak terlalu menunduk, tapi penuh senda-gurau di wajah mereka. Saling menyapa sesama mereka. Dan senyum yang memancar tiada akan pernah habis. Bahkan aku tidak bisa membayangkan wajah-wajah mereka saat tanpa senyum.

#Krapyak_yang_teduh

0 Komentar:

Posting Komentar