CGK===>PDG
Trimakasih Lion Air |
Tak ada persiapan yang begitu
matang tetapi saya anggap sesuai kebutuhan di cibubur nanti. Jam setengah 11
meluncur ke Bandara Internasional Minangkabau, bersama Ipir. Dengan santai,
kami maota-ota (ngobrol) sepanjang perjalanan dan sempat pula kami mampir di
warung makan untuk mengganjal perut yang sebentar lagi diperkirakan akan
keroncongan dan tibalah di BIM (Bandara Internasional Minangkabau) jam 11.30..
Perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya dengan waktu 30 menit saja, karena
maota-ota dan mampir, jadi 60 menit. Sampai di BIM pun tak langsung cek-in
--padahal waktu cek-in sudah dibuka--, kami melanjuktkan maota-ota yang tak
jelas lagi dan tepat jam 12, terasa haus, membeli minum pelepas dahaga di
pojokan kantin bandara. Karena sudah mendekati waktu landing langsung saja
pamit sama Ipir dan masuk untuk cek-in. Seperti biasa, cek-in lancar, boarding
lancar dang semua lancar. Masuk ke rung tunggu --ruang tunggu di BIM cuma 1
(untuk keberangkatan domestik) jadi gak usah dikasih nama aja-- banyak
penumpang yang juga sedang menunggu, mungkin karena akhir pekan.
Lama ternyata mengunggu 45
menit,.. bosan juga rasanya. Jaringan Internet gak ada, tv juga yang ada
berita-berita kriminal, HP butut gak ada musiknya,, yaaah pasrah duduk
bermangu-mangu sediri di tengah keramaian. Bukannya gak mau ngobrol dengan yang
lain, tapi gak tau kenapa penumpang saat itu banyak yang cewe, jadi ja'im-ja'im
aja. hehe
Waktu yang ditunggu telah
tiba, tepat pukul 12.45, terdengar nada peringatan operator bandara --tung ting
tung--. Sang operator dengan seenak perutnya sendiri mengumumkan, bahwa pesawat
yang akan saya tumpangi dile kurang lebih 30 menit, karena alasan teknik. Ya
sudah lah, yang penting selamat pikirku.
Sementara di Bumi Perkemahan
Cibubur pukul 16.00 akan dilakukan acara pembukaan pelatihan leadership dan
life skill. Dalam pembukaan itu, seharunya saya sudah berada di sana untuk
registrasi ulang. Kenapa harus tepat waktu, ya... bener seorang pemimpin
haruslah disiplin. Tetapi karena alasan keselamatan penerbangan jadi disiplin
adalah nomor dua.
Kutelfon panitia, terutama
Mbak Nadia --soanya kontak panitia yang ku punya baru itu--, saya memohon ijin,
bahwa akan datang terlambat dengan alasa pesawat dile. Alhamdulillah panitia
dapat mengerti kondisi itu dan saya dapat toleransi utnuk registrasi saat makan
malam atau saat perkenalan dengan coach.
Benar, mereka tak tepat
janji, dari 30 menit yang di janjikan ternyata masih molor 10 menit lagi.
Kembali disadarkan akan keselamatan saat terbang, jadi legowo aja.
Pesawat Boing 737 Lion Air,
mengangkasa dan saya pun tertidur lelap di bawah kepakan sayapnya. Tanpa sadar
telah mendarat di Sukarno Hatta. Aktifkan kembali HP, waktu menunjukan jam
15.15, mustahil bisa terkejar untuk ikut pembukaan nanti, pikirku. Ternyata
memang benar, hampir satu jam menunggu bagasi turun. Sejurus kemudian, masuk ke
pembelian tiket DAMRI jurusan terminal Kampung Rambutan.
Sesuai dengan panduan pada
website FIM tentang rute yang harus ditempuh untuk menuju cibubur dari Bandara
Internasional Soekarno Hatta, saya harus naik anggkot jurusan cibubur dengan
kode 121A. Telah ku temukan sekerumunan angkot yang lagi mgeTEM di terminal
Kampung Rmbutan berkode tersebut. Efek dari menunggu pesawat yang dile, nunggu
bagasi turun dari pesawat, nugggu di halte DAMRI, dan perjalanan menuju kampung
rambutan yang lumayan dingin --busnya berAC, kagak nahan-- membuat perut perlu
rasanya untuk diisi sesuatu. Terlepas dari toleransi tidak mengikuti open
ceremonial, Saya putuskan untuk mencari warung makan untuk mengisi perut yang
sudah campur sarian dari tadi.
Ekspresi muka tenang melaju
ke cibubur dengan angkot saran panitia --meski was-was dalam hati, soalnya gak
tau mau berenti di mana--, tetapi dengan nyantai ku dekati sopir dan sok tau
dikit lah sama daerah itu. "Pak, di gerbang BUPERTA ya", "iya
kang" jawabnya. Eh gak taunya 30 detik setelah ku bilang angkot langsung
berhenti aja. Sedikit curuga, takut tertipu, tapi dengtan PD turun aja dan
langsung masuk BUPERTA tanpa kendaraan. Sampai di Pos satpam langsung menajukan
pertanyaan, "pak penyelenggaraan FIM di mana ya pak", dengan penuh
keseriusan pak satpam mengarahkanku dengan peragaan tangan dan bahasa tubuhnya.
"Adik lurus aja sampai mentok jalan ini terus belok kiri, nah di sana
tempat pelatihannya".
Patuh perintah, --karena
belum tau menau dareh tersebut, jadi ya hrus patus terhadap perintah hasil
pertanyaan--. Ternyata jauh juga, dengan percaya diri, menenteng koper seorang
diri menuju tempat pelatihan. Melewati sekumpulan kader partai politik sedang berkemah,
membacakan puisi, meneriakan ambisi-ambisi yang akan diusung pada pemilu 2014
mendatang.
oooh benar, terlihat sepanduk
sepanjang kurang lebih 3 meter yang khas dengan warna merah darah Forum
Indonesia Muda. Menghembus nafas lega, akhirnya sampai juga. Dan pertama masuk
justru yang menyambut bukanlah panitia, malah peserta lain yang sebelumnya
belum pernah bersalaman alngsung dengan etnisnya. Bernama Stenly dari Papua.
Wah luar biasa, logat bahasa Indonesianya khas, tegas dan simpel.
Singkat cerita, Saya
dapat kamar No. 3B, dari beberapa daerah asal, Pekanbaru, Padang, dari Pulau
Jawa, Kalimantan dan beberapa daereah Indonesia Linnya.
Untuk cerita di pelatihan,
nanti aja deh, saya ceritakan di sesi lain. ini sekarang menuju kepulangan
dengan Tiket Pesawat yang juga telah dibooking bersamaan tiket berangkat. Tapi
saya lupa kode pesawatnya JT berapa, yang jelas masih jenis Boing 737 Lion Air.
Waktu telah diperhitungkan.
Berangkat dari pancora jam 4 sore. Keluar dari gang perumahan tempat semalaman
kami nginap, tepatnya di wisma Mahasiswa Aceh, yang kami kenal adalah Agus.
Menuju halte Damri menggunakan kopaja --kode jurusannya lupa--, yang jelas kami
berhenti di halte damri dekat tugu pancora. Hapir 30 menit kami menunggu Damri
Airpot. Keberankatan ke Bandara Internasional Soekarno Hatta diiringi dengan
titik-titik hujan yang yang semakin deras. Sungguh tidak menguntungkan kami
kedatangan hujan saat itu. Tapi disatu sisi, aku mensyukurinya, ditengah
panasnya suhu ibu kota Jakarta, masih dapat menikamati sejuknya hujan dan
pemandangan nyata Negara Indonesia saat hujan. Terlihat, kota ini seperti tidak
mau menerima rahmat dari yang kuasa. Deretan mobil komersil, pribadi, industri
dan kendaraan lain yang menggunakan jasa tol mengantri masuk melalui pintu-pintu
tol yang ada. Panjang sekali antriannya, dan ternyata ini yang disebut dengan
macet. Lama kami menunggu masuk dalam lintasan tol itu.
Damri pun masuk dengan
bijaksana sesuai dengan jargonnya "Selamat, Cepat dan Tepat". Untuk
menghilangkan kegelisahan akan waktu yang semakin mepet jadwal penerbangan, ku
lihat pemandangan kota sepanjang tol yang indah --bagi yang tau keindahan--.
Gedung-gedung pusat kementrian RI yang menjulang tinggi terlihat di pinggiran
tol, kami lewati. Terfikir, akankah ku bisa masuk dalam ruang sempit yang
menjulang tinggi itu. Terurut semua antri untuk ku absen, dari Direktoran
Jendral Pajak, LIPI, Bank-bank Nasional, Gedung MPR yang megah nan indah
memukau membuat ingin sejenak mampir untuk ngeteh-ngeteh atau ngopi dan
beberapa gedung pencakar langit lain yang tengah dalam pembangunan. Inilah
Jakarta ku. Tak seindah yang ku bayangkan. --Persepsi pertama menilai Jakarta,
yang belum mencoba menikmati keindahan jakarta sisi lain--.
Tanpa terasa kami telah
keluar dari tol dan masuk menuju gerbang Bandara Internasional Soekarni Hatta.
Namun waktu telah menunjukan jam 5.45, tersadar kekhawatiran dengan jadwal
penerbangan kami. Pak sopir ternyata mengerti kegelisahan ini, dengan cepat dan
ligat plus kehati-hatian pak sopir mempercepat armada busnya untuk segera tiba
di terminal B1 Bandara. Tepat pukul 5.55 sore itu kamu turun dari Damri dan
bergegas membawa bagasi menuju conter Lion Air --tentu melaui pemeriksaan--,
dengan tergesa-gesa kami mohon dengan petugas pemeriksa imigras untuk cepat pemeriksaannya
dengan alasan kamu hampir tertinggal pesawat. Sementara itu operator bandara
telah memanggil para penumpang untuk masuk ke dalam pesawat --menambah kungsung
kami--.
Setibanya di conter Lion
nomor 21 --kalo gak salah--, "mbak, pesawat kami berangkat jam segini,
barusan dipanggil, mohon dipercepat cek-innya", tanpa rasa bersalah kami
memohonnya. Dengan santai si mbak-mbak itu menulis sesuatu di print out tiket
kami dan menyerahkannya kembali ke kami sambil bicara gini "silakan Bapak urus
di bagian kasir ya, trimakasih, ada yang bisa kami bantu lagi Bapak?". Ku
terima tiketnya dan tertera tulisan dalamnya dengan pena yang barusan diletakan
di meja kerjanya, tertulis "18.00" dengan digaris bawahi. Apa
maksudnya ini --fikirku, ah biarlah jangan su'uzhan, dalam hariku".
"Permisi mas, ini saya
dari conter 21" sambil menyerahkan tiket. Beberapa saat kemudian si mas
kasir mengotak-atik komputer yang ada di hadapannya, lalu menawarkan
keberangkatan pesawat berikutnya "Bapak, untuk penerbangan tujuan Padang,
yang malam ini telah penuh semua. Beberapa yang masih kosong besok pagi, siang,
sore dan malam atau lusa". Mulai tambah bingung ini saya. "yang
paling pagi aja deh mas", langsung kuputuskan. Bagaimana pun penerbangan
setahu ku emang disiplin dan tidak bisa dilobi-lobi. Tadinya sih berfikir
bamgaimanapun harus pulang malam ini, mau duduk di wc pun tak masalah, namun
sepertinya tak logis karena keselamatan penerbangan lagi-lagi harus utama.
"Tujuan Padang
kebarangkatan paling pagi pukul 05.45 ya Bapak, cek-in satu jam sebelum
keberangkatan dengan penambahan biaya Tujuh Ratus Ribu Rupiah, silakan diurus
di bagian pembayaran". Waaah kayak kesetrum kunang-kunang saya. "kok
ada penambahan biaya mas". "Begini mas, karena Bapak terlambat untuk
cek-in dan pesawat telah berangkat, maka tiket bapak hangus 90 %, jadi untuk
keberangkatan lagi Bapak harus membayar 90 % kembali. Sepontan aja "gak
ada solusi lain mas?", "ma'af Bapak itu aturan sistem kami".
Berbagai jurus kami
keluarkan, sampai-sampai kami minta untuk menemui manajer lapangan Lion Air,
namun tak membuahkan solusi lain. Pindah pesawat tambah mahal, duduk di wc tak
mungkin karena keselamatan penerbangan hal utama, dan jurus-jurus lain yang tak
mungkin saya bocorkan pun ikut keluar, tak ada yang menemukan hasil sesuai
harapan.
Mencoba setenang mungkin.
Waktu Shalat magrib hampir habis hanya untuk berdebat dengan para pengelola
bandara (petugas Lion Air). Menghibur diri dan Randa yang juga paling panik. ku
ajak si Randa pergi ke mishala untuk melemaskan urat-urat yang sempat tegang
beberapa saat. Kami bergantian melaksanakan shalat, Saya terlebih dahulu shalat
dan Randa menjaga barang-barang bawaan kami.
Selesai shalat, kami pun
mencoba menghubungi beberapa orang yang mungkin bisa kami hubungi. Pertama kami
hanya mencari tau bisa diakalin gak hal seperti ini. Dua sampai tiga orang yang
memang berpengalaman dalam penerbangan --karena saya kira meraka biasa terbang
sana sini pakai pesawat Lion Air--. Hasilnya pun sama, harus beli tiket lagi
atau bayar yang 90 %.
Lapang dada, ya sudah lah
kalo emang solusinya seperti itu, saya harus tetap balik ke Padang. Belum
saatnya saya menggelandang di Ibu kota. Nah, kemabali kami merenung, kira-kira
siapa yang bisa membantu dana sebesar itu. Keuangan kami telah menipis bahkan habis,
hanya cukup untuk boarding pass aja. Telfon si Ridwan, dan Alhamdulillah menuai
jalan pemecahan masalah. Bergerak cepat, dana ditransfer dan kami bayarkan
tiket baru untuk keberangkatan jam 8 pagi esok harinya.
Administrasi beres, giliran
termenung kembali untuk menginap di mana dan juga perut sudah lapar, karena
memang dari siang belum terisi nasi. Terfikir untuk kembali ke wisma Aceh, tapi
takut terlambat lagi. Ya sudah lah, kami putuskan untuk menginap di Bandara
dengan porsi dan tempat tidur seadanya dan dilayak-layakakan. Dan terasa sudah
biasa bagi petualang untuk dapat tidur di mana saja. Sudah risiko juga.
Menelusuri terminal B1, C1,
dan A1 untuk mencari makan yang sedikir miring dan jaringan internet untuk
mengabarkan nasib yang sedikit mujur ini --sedikit mengibur diri--. Jaringan
internet banyak dan semuanya hampir bertuliskan Free WIFI, namun tak ada satu
pun yang dapat digunakan. Lelah, letih, lesu setelah berputar-putar di terminal
1, kami pun kembali menuju terminal B1, terminal di mana kami besok pagi harus
cek-in kembali --takut terlambat lagi--. Dengan satu cangkir pop mie kami
dihantarkan untuk beristirahat di bangku tunggu penumpang.
Banndingkan keberangkatan saya dari Padang ke Jakarta dengan kepulangan saya dari Jakarta ke Padang. Adakah keadilan di sana, ataukah ini sistem yang berlaku ya.....
Banndingkan keberangkatan saya dari Padang ke Jakarta dengan kepulangan saya dari Jakarta ke Padang. Adakah keadilan di sana, ataukah ini sistem yang berlaku ya.....
Sebagai rakyat kecil kita itu
harus disiplin, sabar, legowo (lapang dada), dan manut aturan yang berlaku.
Supaya tidak terjadi kecelakaan apapun, karena kecelakaan terjadi biasanya
disebabkan oleh pelanggaran aturan.
0 Komentar:
Posting Komentar