Rabu, 09 Mei 2012

KETINGGALAN PESAWAT

CGK===>PDG

Trimakasih Lion Air
Depart PDG 28 April 2012 12.45 hrs, Arrive CGK 28 April 2012 14.35 hrs. Jadwal keberangkatan Pesawat Lion Air JT 359 dari Padang tujuan Jakarta, pesawat yang saya tumpangi untuk menuju cibubur untuk mengikuti kegiatan FIM (Forum Indonesia Muda).

Tak ada persiapan yang begitu matang tetapi saya anggap sesuai kebutuhan di cibubur nanti. Jam setengah 11 meluncur ke Bandara Internasional Minangkabau, bersama Ipir. Dengan santai, kami  maota-ota (ngobrol) sepanjang perjalanan dan sempat pula kami mampir di warung makan untuk mengganjal perut yang sebentar lagi diperkirakan akan keroncongan dan tibalah di BIM (Bandara Internasional Minangkabau) jam 11.30.. Perjalanan yang seharusnya ditempuh hanya dengan waktu 30 menit saja, karena maota-ota dan mampir, jadi 60 menit. Sampai di BIM pun tak langsung cek-in --padahal waktu cek-in sudah dibuka--, kami melanjuktkan maota-ota yang tak jelas lagi dan tepat jam 12, terasa haus, membeli minum pelepas dahaga di pojokan kantin bandara. Karena sudah mendekati waktu landing langsung saja pamit sama Ipir dan masuk untuk cek-in. Seperti biasa, cek-in lancar, boarding lancar dang semua lancar. Masuk ke rung tunggu --ruang tunggu di BIM cuma 1 (untuk keberangkatan domestik) jadi gak usah dikasih nama aja-- banyak penumpang yang juga sedang menunggu, mungkin karena akhir pekan.


Lama ternyata mengunggu 45 menit,.. bosan juga rasanya. Jaringan Internet gak ada, tv juga yang ada berita-berita kriminal, HP butut gak ada musiknya,, yaaah pasrah duduk bermangu-mangu sediri di tengah keramaian. Bukannya gak mau ngobrol dengan yang lain, tapi gak tau kenapa penumpang saat itu banyak yang cewe, jadi ja'im-ja'im aja. hehe

Waktu yang ditunggu telah tiba, tepat pukul 12.45, terdengar nada peringatan operator bandara --tung ting tung--. Sang operator dengan seenak perutnya sendiri mengumumkan, bahwa pesawat yang akan saya tumpangi dile kurang lebih 30 menit, karena alasan teknik. Ya sudah lah, yang penting selamat pikirku.

Sementara di Bumi Perkemahan Cibubur pukul 16.00 akan dilakukan acara pembukaan pelatihan leadership dan life skill. Dalam pembukaan itu, seharunya saya sudah berada di sana untuk registrasi ulang. Kenapa harus tepat waktu, ya... bener seorang pemimpin haruslah disiplin. Tetapi karena alasan keselamatan penerbangan jadi disiplin adalah nomor dua.

Kutelfon panitia, terutama Mbak Nadia --soanya kontak panitia yang ku punya baru itu--, saya memohon ijin, bahwa akan datang terlambat dengan alasa pesawat dile. Alhamdulillah panitia dapat mengerti kondisi itu dan saya dapat toleransi utnuk registrasi saat makan malam atau saat perkenalan dengan coach.

Benar, mereka tak tepat janji, dari 30 menit yang di janjikan ternyata masih molor 10 menit lagi. Kembali disadarkan akan keselamatan saat terbang, jadi legowo aja.

Pesawat Boing 737 Lion Air, mengangkasa dan saya pun tertidur lelap di bawah kepakan sayapnya. Tanpa sadar telah mendarat di Sukarno Hatta. Aktifkan kembali HP, waktu menunjukan jam 15.15, mustahil bisa terkejar untuk ikut pembukaan nanti, pikirku. Ternyata memang benar, hampir satu jam menunggu bagasi turun. Sejurus kemudian, masuk ke pembelian tiket DAMRI jurusan terminal Kampung Rambutan.

Sesuai dengan panduan pada website FIM tentang rute yang harus ditempuh untuk menuju cibubur dari Bandara Internasional Soekarno Hatta, saya harus naik anggkot jurusan cibubur dengan kode 121A. Telah ku temukan sekerumunan angkot yang lagi mgeTEM di terminal Kampung Rmbutan berkode tersebut. Efek dari menunggu pesawat yang dile, nunggu bagasi turun dari pesawat, nugggu di halte DAMRI, dan perjalanan menuju kampung rambutan yang lumayan dingin --busnya berAC, kagak nahan-- membuat perut perlu rasanya untuk diisi sesuatu. Terlepas dari toleransi tidak mengikuti open ceremonial, Saya putuskan untuk mencari warung makan untuk mengisi perut yang sudah campur sarian dari tadi.

Ekspresi muka tenang melaju ke cibubur dengan angkot saran panitia --meski was-was dalam hati, soalnya gak tau mau berenti di mana--, tetapi dengan nyantai ku dekati sopir dan sok tau dikit lah sama daerah itu. "Pak, di gerbang BUPERTA ya", "iya kang" jawabnya. Eh gak taunya 30 detik setelah ku bilang angkot langsung berhenti aja. Sedikit curuga, takut tertipu, tapi dengtan PD turun aja dan langsung masuk BUPERTA tanpa kendaraan. Sampai di Pos satpam langsung menajukan pertanyaan, "pak penyelenggaraan FIM di mana ya pak", dengan penuh keseriusan pak satpam mengarahkanku dengan peragaan tangan dan bahasa tubuhnya. "Adik lurus aja sampai mentok jalan ini terus belok kiri, nah di sana tempat pelatihannya".

Patuh perintah, --karena belum tau menau dareh tersebut, jadi ya hrus patus terhadap perintah hasil pertanyaan--. Ternyata jauh juga, dengan percaya diri, menenteng koper seorang diri menuju tempat pelatihan. Melewati sekumpulan kader partai politik sedang berkemah, membacakan puisi, meneriakan ambisi-ambisi yang akan diusung pada pemilu 2014 mendatang.

oooh benar, terlihat sepanduk sepanjang kurang lebih 3 meter yang khas dengan warna merah darah Forum Indonesia Muda. Menghembus nafas lega, akhirnya sampai juga. Dan pertama masuk justru yang menyambut bukanlah panitia, malah peserta lain yang sebelumnya belum pernah bersalaman alngsung dengan etnisnya. Bernama Stenly dari Papua. Wah luar biasa, logat bahasa Indonesianya khas, tegas dan simpel.

Singkat cerita,  Saya dapat kamar No. 3B, dari beberapa daerah asal, Pekanbaru, Padang, dari Pulau Jawa, Kalimantan dan beberapa daereah Indonesia Linnya.

Untuk cerita di pelatihan, nanti aja deh, saya ceritakan di sesi lain. ini sekarang menuju kepulangan dengan Tiket Pesawat yang juga telah dibooking bersamaan tiket berangkat. Tapi saya lupa kode pesawatnya JT berapa, yang jelas masih jenis Boing 737 Lion Air.

Waktu telah diperhitungkan. Berangkat dari pancora jam 4 sore. Keluar dari gang perumahan tempat semalaman kami nginap, tepatnya di wisma Mahasiswa Aceh, yang kami kenal adalah Agus. Menuju halte Damri menggunakan kopaja --kode jurusannya lupa--, yang jelas kami berhenti di halte damri dekat tugu pancora. Hapir 30 menit kami menunggu Damri Airpot. Keberankatan ke Bandara Internasional Soekarno Hatta diiringi dengan titik-titik hujan yang yang semakin deras. Sungguh tidak menguntungkan kami kedatangan hujan saat itu. Tapi disatu sisi, aku mensyukurinya, ditengah panasnya suhu ibu kota Jakarta, masih dapat menikamati sejuknya hujan dan pemandangan nyata Negara Indonesia saat hujan. Terlihat, kota ini seperti tidak mau menerima rahmat dari yang kuasa. Deretan mobil komersil, pribadi, industri dan kendaraan lain yang menggunakan jasa tol mengantri masuk melalui pintu-pintu tol yang ada. Panjang sekali antriannya, dan ternyata ini yang disebut dengan macet. Lama kami menunggu masuk dalam lintasan tol itu.

Damri pun masuk dengan bijaksana sesuai dengan jargonnya "Selamat, Cepat dan Tepat". Untuk menghilangkan kegelisahan akan waktu yang semakin mepet jadwal penerbangan, ku lihat pemandangan kota sepanjang tol yang indah --bagi yang tau keindahan--. Gedung-gedung pusat kementrian RI yang menjulang tinggi terlihat di pinggiran tol, kami lewati. Terfikir, akankah ku bisa masuk dalam ruang sempit yang menjulang tinggi itu. Terurut semua antri untuk ku absen, dari Direktoran Jendral Pajak, LIPI, Bank-bank Nasional, Gedung MPR yang megah nan indah memukau membuat ingin sejenak mampir untuk ngeteh-ngeteh atau ngopi dan beberapa gedung pencakar langit lain yang tengah dalam pembangunan. Inilah Jakarta ku. Tak seindah yang ku bayangkan. --Persepsi pertama menilai Jakarta, yang belum mencoba menikmati keindahan jakarta sisi lain--.

Tanpa terasa kami telah keluar dari tol dan masuk menuju gerbang Bandara Internasional Soekarni Hatta. Namun waktu telah menunjukan jam 5.45, tersadar kekhawatiran dengan jadwal penerbangan kami. Pak sopir ternyata mengerti kegelisahan ini, dengan cepat dan ligat plus kehati-hatian pak sopir mempercepat armada busnya untuk segera tiba di terminal B1 Bandara. Tepat pukul 5.55 sore itu kamu turun dari Damri dan bergegas membawa bagasi menuju conter Lion Air --tentu melaui pemeriksaan--, dengan tergesa-gesa kami mohon dengan petugas pemeriksa imigras untuk cepat pemeriksaannya dengan alasan kamu hampir tertinggal pesawat. Sementara itu operator bandara telah memanggil para penumpang untuk masuk ke dalam pesawat --menambah kungsung kami--.

Setibanya di conter Lion nomor 21 --kalo gak salah--, "mbak, pesawat kami berangkat jam segini, barusan dipanggil, mohon dipercepat cek-innya", tanpa rasa bersalah kami memohonnya. Dengan santai si mbak-mbak itu menulis sesuatu di print out tiket kami dan menyerahkannya kembali ke kami sambil bicara gini "silakan Bapak urus di bagian kasir ya, trimakasih, ada yang bisa kami bantu lagi Bapak?". Ku terima tiketnya dan tertera tulisan dalamnya dengan pena yang barusan diletakan di meja kerjanya, tertulis "18.00" dengan digaris bawahi. Apa maksudnya ini --fikirku, ah biarlah jangan su'uzhan, dalam hariku".

"Permisi mas, ini saya dari conter 21" sambil menyerahkan tiket. Beberapa saat kemudian si mas kasir mengotak-atik komputer yang ada di hadapannya, lalu menawarkan keberangkatan pesawat berikutnya "Bapak, untuk penerbangan tujuan Padang, yang malam ini telah penuh semua. Beberapa yang masih kosong besok pagi, siang, sore dan malam atau lusa". Mulai tambah bingung ini saya. "yang paling pagi aja deh mas", langsung kuputuskan. Bagaimana pun penerbangan setahu ku emang disiplin dan tidak bisa dilobi-lobi. Tadinya sih berfikir bamgaimanapun harus pulang malam ini, mau duduk di wc pun tak masalah, namun sepertinya tak logis karena keselamatan penerbangan lagi-lagi harus utama.

"Tujuan Padang kebarangkatan paling pagi pukul 05.45 ya Bapak, cek-in satu jam sebelum keberangkatan dengan penambahan biaya Tujuh Ratus Ribu Rupiah, silakan diurus di bagian pembayaran". Waaah kayak kesetrum kunang-kunang saya. "kok ada penambahan biaya mas". "Begini mas, karena Bapak terlambat untuk cek-in dan pesawat telah berangkat, maka tiket bapak hangus 90 %, jadi untuk keberangkatan lagi Bapak harus membayar 90 % kembali. Sepontan aja "gak ada solusi lain mas?", "ma'af Bapak itu aturan sistem kami".

Berbagai jurus kami keluarkan, sampai-sampai kami minta untuk menemui manajer lapangan Lion Air, namun tak membuahkan solusi lain. Pindah pesawat tambah mahal, duduk di wc tak mungkin karena keselamatan penerbangan hal utama, dan jurus-jurus lain yang tak mungkin saya bocorkan pun ikut keluar, tak ada yang menemukan hasil sesuai harapan.

Mencoba setenang mungkin. Waktu Shalat magrib hampir habis hanya untuk berdebat dengan para pengelola bandara (petugas Lion Air). Menghibur diri dan Randa yang juga paling panik. ku ajak si Randa pergi ke mishala untuk melemaskan urat-urat yang sempat tegang beberapa saat. Kami bergantian melaksanakan shalat, Saya terlebih dahulu shalat dan Randa menjaga barang-barang bawaan kami.

Selesai shalat, kami pun mencoba menghubungi beberapa orang yang mungkin bisa kami hubungi. Pertama kami hanya mencari tau bisa diakalin gak hal seperti ini. Dua sampai tiga orang yang memang berpengalaman dalam penerbangan --karena saya kira meraka biasa terbang sana sini pakai pesawat Lion Air--. Hasilnya pun sama, harus beli tiket lagi atau bayar yang 90 %.

Lapang dada, ya sudah lah kalo emang solusinya seperti itu, saya harus tetap balik ke Padang. Belum saatnya saya menggelandang di Ibu kota. Nah, kemabali kami merenung, kira-kira siapa yang bisa membantu dana sebesar itu. Keuangan kami telah menipis bahkan habis, hanya cukup untuk boarding pass aja. Telfon si Ridwan, dan Alhamdulillah menuai jalan pemecahan masalah. Bergerak cepat, dana ditransfer dan kami bayarkan tiket baru untuk keberangkatan jam 8 pagi esok harinya.

Administrasi beres, giliran termenung kembali untuk menginap di mana dan juga perut sudah lapar, karena memang dari siang belum terisi nasi. Terfikir untuk kembali ke wisma Aceh, tapi takut terlambat lagi. Ya sudah lah, kami putuskan untuk menginap di Bandara dengan porsi dan tempat tidur seadanya dan dilayak-layakakan. Dan terasa sudah biasa bagi petualang untuk dapat tidur di mana saja. Sudah risiko juga.

Menelusuri terminal B1, C1, dan A1 untuk mencari makan yang sedikir miring dan jaringan internet untuk mengabarkan nasib yang sedikit mujur ini --sedikit mengibur diri--. Jaringan internet banyak dan semuanya hampir bertuliskan Free WIFI, namun tak ada satu pun yang dapat digunakan. Lelah, letih, lesu setelah berputar-putar di terminal 1, kami pun kembali menuju terminal B1, terminal di mana kami besok pagi harus cek-in kembali --takut terlambat lagi--. Dengan satu cangkir pop mie kami dihantarkan untuk beristirahat di bangku tunggu penumpang.

Banndingkan keberangkatan saya dari Padang ke Jakarta dengan kepulangan saya dari Jakarta ke Padang. Adakah keadilan di sana, ataukah ini sistem yang berlaku ya.....

Sebagai rakyat kecil kita itu harus disiplin, sabar, legowo (lapang dada), dan manut aturan yang berlaku. Supaya tidak terjadi kecelakaan apapun, karena kecelakaan terjadi biasanya disebabkan oleh pelanggaran aturan.

0 Komentar:

Posting Komentar