Jumat, 17 Maret 2017

Berlalu Pada Jalan


Berlalu Pada Jalan
Mayoe

Malam menyekat 
Berselimut damai
Menabur hening 
Gerlap gemintang
Rembulan berlayar 
Meratap sunyi
Rapat pagi
Mengusik sepi
Kicau bernyanyi 
Terbit mentari
Terang menari 
Pada daun 
Mengalir sejuk
Berujung tunduk
Mendayu semilir 
Rayu deru
Menghirup haru
Aroma bunga
Taman cahaya
Terbenam menanam
Guruh tumbuh
Gemuruh mengakar
Tanah menjulang
Langit merindu
Tangis kasih
Jatuh cinta
Pada senja
Sederhana bersahaja
Rona cakrawala
Pasrah berjiwa
Pada duka
Alam raya
Bergema menyeru
Rindu menggebu
Mereguk sedu
Mengadu manja
Berisak mesra
Sayup tak terhingga
Getaran dada
Mengendap di kepala
Ringan melangkah
Titian jalan
Berpulang diri
Sunyi berhati

Kedirian Jalan Langkah


Kedirian Jalan Langkah
Diri berdiri
Jalan berjalan
Langkah melangkah
Hati berjalan
Akal melangkah
Jalan berhati
Langkah berakal
Jalan melangkah
Langkah berjalan
Hati melangkah 
Akal berjalan
Jalan berakal
Langkah berhati
Hati berakal
Akal berhati 
Hati berhati
Akal berakal
Pada diri
Hati Akal
Akal Hati
Langkah Jalan Kedirian 

Kamis, 16 Maret 2017

Tahan



Tahan
Mayoe 

Datang pagi 
Bersuguh hangat 
Gemulai tari 
Tatap hadap menahap
Setia punggung bertegak
Hujam mendalam
Bubung meninggi
Berkukuh cinta

Tabah 
Laku sunyi
Menapak jalan
Diri

Songsong gelora 
Raup gairah bertari
Membasuh dekap lenyap
Senyap pesta 
Beraya

Sabtu, 04 Maret 2017

Perjodohan ‘Mas―(ih)' Sendiri: Pakaian Malaikat

Foto Oleh Mabrur M Yusup
Diambil pagi di lereng gunung Sumbing di tepi jalan di antara persawahan dan ladang-ladang tembakau pada triwulan pertama 2015.

Perjodohan ‘Mas(ih)' Sendiri: Pakaian Malaikat

Oleh: Mayoe

Perkenalkan saya seorang ‘Mas’ yang selalu dalam perkenalanterutama dengan lawan jenismemperkenalkan diri dengan Mas(ih) Sendri. Kenapa Mas(ih) Sendiri? Karena saya seorang Pendekar yang ke mana-mana harus sendiri. Kalau bertemu di jalan cukup panggil saja ‘Mas’, kepanjangannya kewajiban sekaligus hak saya.

Dengan itu tak banyak saya memiliki teman. Hanya beberapa kerap datang untuk berbagi cerita atau sekedar berkelakar. Mereka golongan teman yang cukup mengerti sayayang Mas(ih) Sendiri. Selain sekedar berkelakar, cerita kosong, kami juga sering berdiskusi kecil-kecilan.

Bejo yang pendiam tapi frontal kerap diam-diam datang menginginkan diskusi. Walaupun pada jalannya diskusi ia banyak diam dan terkesan pasif. Boleh dikata ia sorang yang bertipe jika menginginkan sesuatu keturutannya jangan melalaui maunya. Aneh memang, tapi itu lah Bejo. Pernah ia menyukai seorang gadis di kampus lain. Mereka sudah saling kenal. Tetapi si gadis tidak sadar disukai si Bejo. Bejo benar-benar jatuh cinta. Sampai-sampai ia sulit tidur dari malam ke malam bulan ke bulan. Sedikit saja matanya terpejam, hanya mata bening dan senyum malu gadis pujaan hati yang muncul di pelupuk.

Jiwanya uring-uringan karena jatuh cinta. Bejo tidak pernah sungguh-sungguh mengobati uring-uringannya. Tak terhitung ia telah berencana untuk menemui saja gadis itu. Minimal untuk berobat. Tapi bukan Bejo namanya kalau merencanakan sesuatu keinginannya tidak satu paket dengan rencana pembatalannya sekaligus. Padahal ia bukan seorang pengecut atau lemah mental dan juga bukan seorang yang kurang menarik hati gadis-gadis. Sebaliknya ia pemberani, romantis, puitis dan sangat maskulin. Bahkan di kampusnya sendiri banyak Mahasiswi-mahasiswi baik junior, senior maupun satu angkatan yang berebut mencari perhatian Bejo. Tapi bergitulah ekstrim dan frontalnya Bejo. “Kalau bisa, di mana pun lah ada dia (gadis pujaan hatinya), jangan sampai aku yang lihat. Soal dia yang lihat itu bukan soal.” Ungkapnya penuh percaya diri pada suatu malam. Dasar BEJO!!!

Seorang lagi adalah patner diskusi yang cukup alot dan gigih. Ripin, ia biasa kami panggil. Logikanya kuat, detil dan tahan lama. Pokoknya kalau dengar atau lihat iklan obat kuat pria, ya begitu lah Ripin. Dengan itu pacarnya bertebaran di mana-mana. Tapi jiwanya lembut, perasaannya halus dan setia orangnya.

“Lho, kok setia? Lha pacarnya di mana-mana e!”

“lha ya biar to. Pacar-pacar dia dan diantara mereka gak ada yang protes. Ripin pun aman dengan kesetiaannya. Kok ribut.”

“lha itu kan bertentangan. Pacar di mana-mana kok distempeli setia.”

“Terserah dong. Yang ngasih stempel aku dan ini cerita, ceritaku. Repot.”

“Oke, memang ini cerita, ceritamu. Tapi kamu punya tanggungjawab atas cerita ini. Mana tanggungjawab mu?”

“Halha ya nanti. Orang aku ‘Mas(ih) Sendiri sudah dituntut tanggungjawab. Mbok ya sabar, jangan gampang nuntut. Malah jadi fitnah nanti.”

Bejo dan Ripin. Mereka seperti dua kutub yang berseberangan tarik-menarik menjaga keseimbangan. Yang merupakan manifestasi Pendekar Kapak Naga Geni 212 Wirosableng masa kini: yang berlainan namun merupakan pasangan.

Nama Bejo dan Ripin sungguh bukan yang sebenarnya. Ini merupakan kesepakatan diantara kami untuk tidak menyulitkan panggilan. Bejo sendiri kependekan dari Benedict Jhosep. Ripin kependekan Richard Pinckle. Dan saya tetap Mas dari Mas(ih) Sendiri.

“Jo, punya uang lipuluh? Belum makan gak ada kopi gak ada rokok pula.” Ripin membuka obrolan setelah memasukan bidak catur ke dalam kotaknya.

“Ada ada, ini.” Tanpa panjang lebar Bejo mengelurkan lembaran lima puluh ribu rupiah dari dompetnya.

Aku diam seolah tidak mendengarnya dengan menunduk menatap fokus gawaiku. Di sana sedang berlangsung pertandingan catur antara aku dengan CPU level 9. Ripin melangkah cari makan, kopi dan rokok ketengan. Tertinggal aku dan Bejo.

“Bagaimana KKN mu Jo.” Tanyaku memecah kebekuan diantara kami.

“Ya gitu. Malah diperpanjang sampai pertengahan bulan depan.” Jawab Bejo bernada malas.

“lho kok gitu?”
“Entah, kerja mereka ya begitu lah. Padahal di kalender akademik akhir bulan sudah selesai.”

“Dua bulan lebih jadinya Jo?”

“Ya gitu.”

“Ya sabar.”

“Aku mah sabar terus. Mana, aku pernah gak sabar.”

 Aku tidak punya pilihan kata untuk menaggapi ungkapan Bejo. Tawa kecil tanpa nada remeh sudah cukup memberi arti kepada Bejo. Begitu berat ia menjalani hari-hari di kampusnya. Teman satu angkatan sudah lebih banyak yang lulus dari yang belum. Terlebih teman-teman dekatnya. Sisa seorang pun sudah menuju meja sidang Skripsi. Sedang Bejo janganpun menggarap Skripsi, proposalnya saja selalu terbentur meja pembimbing akademik. Dan KKN yang sedang ia jalani merupakan langkah sulit dari dua tahun sebelumnya.

Memang kuliah itu tidak mudah, tapi juga tidak terlalu sulit. Tidak remeh, tapi tidak juga terlalu serius. Dan Bejo, ia terlalu serius dengan remeh temeh perkuliahannya. Parahnya lagi ia mempersulit kemudahan yang sudah ada. Bejo yang naas, dipersulit oleh kemudahan.

“Kalau si Marto mah enak. Bukan dia yang nyari dosen tapi malah dosen yang nyari dia. Bejo dia itu.” Cerocos Bejo dengan nada dongkolnya.

Tawaku meledak mendengar akhir ungkapan Bejo. “Kebalik. Kamu yang Bejo baukan Marto.” Tawaku berlanjut sampai tidak tertahan hingga perut minta dipegang. Tawa ku hentikan pakasa saat sadar khawatir perasaan Bejo tersinggung. Sambil menyeka sisa tawa di sudut mata, di seberang meja Bejo menyambung dengan lega dan ria.

“Baru tadi, Marto selesai sidang.”

“Wah, kok cepet gitu dia?” Tanyaku antusias.

“Sudah ku bilang, dia yang Bejo.”

“Ah kamu Jo, bisa aja.”

Ripin datang dengan membawa kantong plastik hitam berisi gula setengah kilo, kopi dua saset dan empat batang rokok ketengan. Ripin tidak membawa pulang makanannya. Sebelum pergi ia sempat menawarkan kepada kami berdua yang tinggal. Tapi Bejo bilang sudah makan, begitu juga dengan ku. Sehingga Ripin makan di tempat. Sebenarnya aku belum makan juga sudah lapar. Dan aku yakin demikian halnya dengan Bejo. Hal seperti ini sering terjadi diantara kami. Tapi kami belum pernah membahasnya. Dan memang tidak perlu untuk dibahas. Bagi kami sudah cukup untuk saling mengerti. Dan kadang kami lakukan bersama-sama terhadap orang lain. Cara ini sama sekali bukan penolakan apalagi pelecehan. Karena penawaran tidaklah terlalu penting. Tetapi apa yang sudah dihadapkan itu wajib dipertanggungjawabkan.

Ripin menyalin gula dan kopi ke dalam mog masing-masing. Lalu ia sibuk menyiapkan mini ricecooker untuk merebus air. Tak berapa lama sambil ku nyalakan sebatang rokok, dua gelas kopi mengepul disaji Ripin hadap-menghadap diantara kami bertiga.

“Aih, siregar kali. Hujan-hujan ada kopi ada rokok. Kurang apa lagi coba.” Ripin mencair dalam obrolan dengan logat Batak yang dibuat-buat.

Kami tertawa kecil bersama-sama dengan pencairan Ripin yang sudah biasa di setiap obrolan.

“Apa, bahas apa tadi?” Tanya Ripin masuk ke dalam obrolan.

“Itu si Marto. Baru selesai sidang skripsi rupanya dia.” Jawabku dengan logat Batak yang juga kubuat-buat.

“Bah. Iya Jo?” Ripin meminta konfirmasi Bejo.

“Siang tadi selesai.” Bejo menjawab datar. “Ya... wajar lah dia selesai. Orang dosen yang nyari dia kok. Kalau aku... baru gak wajar.” Lanjutnya bernada mengejek.

“E... udah ada kopi, rokok, perut kenyang, malam, hujan pula. Apa lagi yang mau dirisaukan kalau sudah ngumpul begini?” aku mencoba mengalihkan pembahasan.

“Ya betul. Ngumpul. Ini yang perlu kita bahas sekarang.” Ripin paham dan segera mengalihkan pembahasan. “Makan gak makan, yang penting kumpul.” Celetupnya sambil beralih pandang.

Sebagai ‘Mas’(ih) Sendirisejati, orisinil, asli dan otentikungkapan pribahasa Ripin itu, nenek moyangku sendiri yang bikinaku hanya mengangguk-angguk setengah remeh. Sama sekali aku tak berpaling dari Sterku yang diancam menteri hitam milik CPU level 9. Sementara jauh di belakang, menteri hitam ku bertengger dengan kudanya samping menyamping. Kehilangan Ster sama dengan kehilangan separuh dari seluruh pasukan. Aku tidak mau itu. Gugurlah menteri hitamku tanpa balas.

“Makan gak makan kumpul. Kalau kita maknai mendalam, ia bukan sekedar ungkapan penghibur seperti yang selama ini terjadi.” Ripin mulai menggoda dan merayu saraf-saraf otak kami untuk terhubung pada pembahasannya. “Orang yang benar-benar berpegang pada ‘makan gak makan kumpul’ bisa dipastikan kumpulnya itu bukan dan tidak membahas soal makan. Karena makan tidak makan itu bukan suatu perkara yang pokok lagi.” Tambahnya.

Bejo mengangguk-angguk antara mengerti dan tidak. Tidak ada respon lain selain mengangguk dan menyimak serius penjelasan Ripin. Seperti lancar-lancar saja logika yang menjalar ke saraf otaknya. Aku juga mengangguk dan tetap tidak berpaling dari papan catur dalam gawaiku. Tapi otakku sama sekali tidak bisa berfikir serius pada dua hal yang tertangkap indera secara bersamaan. Ia harus bergantian. Sehingga keduanya saling mengganggu. Dan anggukanku terhenti saat ster CPU level 9 benar-benar mematikan rajaku melalui persekongkolan benteng dan menteri hitamnya yang keparat itu.

“Kalau makan sudah bukan perkara yang pokok. Dan kumpulnya sudah bisa dipastikan bukan membahas dan mengagung-agungkan perkara makan. Kira-kira perkara apa yang dibahas dan dilakukan atas kumpul itu?” Ripin memberi tekanan khusus diujung kalimatnya.

“Hah! Duoboooooool.” Pekikku.

“Sebentar... sebentar... bagus ini... apek... elok elok elok. Jenius kamu Mas.” Ekspresi Ripin seperti orang bingung yang tiba-tiba mendapat ide di dalam toilet.

“Apa to? Ini lho, skak lagi, mati lagi.” Ku tunjukan kematian rajaku di atas meja.

Ripin tertawa. Bejo sekedar senyum.

“Gimana tadi. Kok sampai bilang aku Jenius. Baru tahu apa?” Aku mulai masuk lebih serius dalam pembahasan Ripin.

“Kalau beneran Jenius, itu game catur mu perlu diupdate. Kalau nggak tersedia updetannya, kirim email ke developernya. Minta tambah level yang setiap levelnya sepuluh kali lipat lebih sulit dari yang ada sekarang.” Ripin membrondong habis kepercayaan-diriku yang kadang terlanjur bersisa-sisa begini.

“Iya... iya... besok lah ku update. Entar tak WA aja developernya. Biar cepet.” Sebatang rokok yang sempat mati ku nyalakan kembali sambil menata kaki bersila di atas kursi. Sementara Bejo mengangkat gelas kopi di hadapannya dan setelahnya berganti aku yang mengangkat.

“Sepertinya yang paling mendekati ya perkara nduobol. Apa coba? Makan sudah bukan perkara yang repot dan merepotkan.” Ripin kembali pada pembahasan.

“Ya mungkin saja. Tapi ya yang subtansial lah yang dilakukan. Perkara ndobol kan masih dekat dengan urusan makan memakan. Jadi belum sesuai dengan tesismu tentang ‘makan gak makan kumpul’ itu.” Sahutku serius.

“Iya ya. Nah ini kerja kita. Mencari maksud ngumpul itu.” Ripin mengangguk setuju.

“Begini. Aku kan ‘Mas(ih) Sendirito? Godaku kepada Ripin dan Bejo. Yang kemudian mereka tampak berfikir keras. Dan pribahasa yang kita bahas ini bikinan nenek moyangku asli. Kemudian dinasionalisasikan. Sehinga semua orang bisa memakainya. Tetapi mereka memakainya hanya sekedar untuk penghibur dari kesempitan-kesempitan dan kesulitan-kesulitan yang dialami. Ya semacam obat penenang gitu lah.”

“Itu yang ku maksud di awal tadi.” Ripin menyela.

“Betul. Makanya ku ulangi sekalian ku tambahi. Begini Pin Jo. Untuk memahami itu kita tidak bisa secara langsung, kita butuh mengaitkan dengan hal lain yang lebih mudah untuk kita pahami dan tentu yang sudah mantep di hati kita. Gampanganya itu seperti berjodoh, kita menemukannya dengan dan/atau untuk kemantapan hati.”

“Maksudnya apa to ini. Kok ruwet. Sampai jodoh-jodohan pula.” Ripin tidak sabar menunggu penjelasanku.

“Maksudku, itu pribahasa kan dari nenek moyang ku, nenek moyang kita. Nah, bagaimana kalau kita mempelajarinya memlaui jalan perjodohan antara maksud pribahasa itu dengan ajaran Keyakinan yang kita peluk.”

“Maksudnya menjodohkan antara Jawa denga Islam?” Ripin mulai menebak-nebak.

“Begitu juga boleh. Hal lain pun bisa Pin. Asalkan konsepnya menjodohkan untuk berjodoh.”

“Lha kalau kita menjodohkan dan hasilnya tidak berjodoh gimana?” Tanya Ripin menguji.

“Kalau tidak berjodoh ya sudah, gak usah dipaksakan. Malah merusak nanti.” Jawabku santai.  “Sebenarnya ada dua kemungkinan: tidak berjodoh atau belum berjodoh. Kalau tidak, memang sama sekali tidak bisa. Tapi kalau belum, barangkali ada sesuatu yang masih kurang. Mungkin pengetahuan kita, wawasan kita, ilmu kita, rasa kita dan apapun yang mungkin menjadi kekurangan itu. Makanya sabar kalau belum berjodoh Pin, barangkali masih ada yang kurang.” Sambil kulirik Ripin setengah mengejek.

“Yang ‘Mas(ih) Sendirikan kamu, kok malah nyuruh aku sabar. Ripin membalas sinis.

“Gitu aja tersinggung Pin. Kalau aku lho udah jelas ‘Mas(ih) Sendiri, lha kamu itu lho! Pacarmu di mana-mana tapi satu pun belum ada yang berjodoh. Ya wajar lah kalau aku nyuruh bersabar. Daripada aku nyuruh untuk nambah pacar lagi atau mutusin semua kan perlu modal dan repot.” Ku habisi Ripin sambil tertawa puas.

“Udah ah. Tadi ‘makan gak makan kumpul’ mau dijodohkan sama siapa, eh sama apa?” Ripin mengembalikan fokus pembahasan.

Aku dan Bejo tertawa kecil mengejek Ripin yang keceplosan.

“Kita coba jodohkan denga ‘rukun’. Sepertinya itu yang lebih pas dan dekat daripada ndobol.” Ungkapku menyambung pembahasan. Ripin mengangguk tersambung, disusul kemudian Bejo turut mengangguk. “Kalau sudah ‘kumpul’ dan tidak mempersoalkan perkara ‘makan tidak makan ‘, yang menjadi pokok dari ‘kumpul’ itu ya ‘rukun’. Kalau sudah kumpul ya rukun. Ya rukun diri, rukun rumahtangga, rukun, tetangga...”

“Rukun Iman sekaligus rukun Islam serta rukun-rukun di dalamnya.” Ripin menyambung kalimatku.

“Ini baru jenius. Memang Ripin.” Sahutku memuji.

“Kalau jenius sekedar jenius, setan pun lebih jenius. Lanjutkan rukunnya!” Ripin membela diri.

Aku mengangguk setuju. Sementara Bejo hanya melihatku mengangguk.

“Jenius dan setannya kita bahas lain waktu saja, gak selesai nanti ‘rukun’ kita. Iya to Jo.” Sambil ku mainkan alisku ke arah Bejo.

“Lanjut-lanjut.” Jawab Bejo sambil mengangguk.

“Terus prosesi perjodohan antara ‘makan gak makan kumpul’ dengan rukun iman dan rukun islam gimana?” Ripin semakin tidak sabar.

“Kalau ‘makan gak makan kumpul’ kita jodohkan denga dua hal sekaligus, nanti jadinya poligami Pin. Apa bisa? Atau, apa mau mereka?” Aku mencoba memberi analisis terhadap perjodohan yang Ripin pertanyakan.

“Maksudnya gimana? Kok sampai ke poligami segala. Tambah ruwet.” Ripin berfikir keras.

“Masing-masing punya jodohnya Pin. Kalau memungkinkan ia tidak berpoligami, ya kenapa harus poligami. Dan sebaliknya. Kalau memungkinkan ia berpoligami, kenapa tidak.”

Ripin bertambah pusing berkerut kening. Dagunya ditarik mendekat leher sambil melihatku tajam setengah memicing.

“Menurutku ‘makan gak makan kumpul’ berjodohnya dengan salah satu antara rukun iman atau rukun islam. Jika kedua-duanya dipaksa berjodoh, aku belum sanggup Pin. Belum kuat.” Sambil ku gelengkan kepalaku.

“Maksudmu ‘makan gak makan kumpul’ berjodohnya dengan rukun iman saja atau rukun islam saja.” Ripin memperjelas tangkapannya.

“Iya, betul Pin. Tapi kasihan kalau yang kita jodohkan hanya salah satu ‘rukun’ saja. Masa iya ‘rukun’ yang satunya mau seperti ku yang ‘Mas(ih) Sendiri. Jadi kita harus mencarikan jodoh untuk rukun yang nantinya belum berjodoh dengan makan gak makan kumpul’.”

“Terus apa? Kamu ada pilihan calon Jo?” Ripin beralih pandang menanya Bejo.

“Mana aku tahu.” Jawab bejo singkat sambil mengangkat dua bahunya.

“Begini. Ada satu lagi yang asli dari nenek moyang ku, nenek moyang kita.” Jawabku menyela Ripin dan Bejo.

“Oh ya...! Apa... apa...?” Ripin penasaran.

“Dia masih bersaudara dengan ‘makan gak makan kumpul’. Saudara dekat sekali malahan.”

“Iya... Apa?” Ripin semakin penasaran.

“Aku pun baru terfikir barusan ini. Ia sangat urgen dalam kehidupan nenek moyang kita. Dan sudah menjadi nafas turun temurun.”

“Iya... Apa? Lama-lama ku teguk habis kopi ini.” Ripin sambil mengangkat gelas.

“Tenang-tenang Pin. Itu kopi bukan air mineral. Sewajarnya saja, dikit-dikit. Jangan seperti orang kehausan.” Aku tidak rela kopi habis seketika, karena pembahasan masih panjang. “Baik, ia adalah ‘Sandang, Pangan, Papan’. Ia kakak kandung dari ‘makan gak makan kumpul’. Jadi sebelum menjodohkan ‘makan gak makan kumpul’ dengan salah satu ‘rukun’, terlebih dahulu kita jodohkan ‘sandang, pangan, papan’ dengan salah satu ‘rukun’ yang pas, cocok, dan satu leting lah.” Paparku lebih lanjut kepada Ripin dan Bejo.

“Lho... mereka dua bersaudara?” Tangkap Ripin.

“Minimal seperti itu. Tapi bisa lebih.” Jawabku lebih lanjut.

“Tiga, empat, lima?” Ripin memburuku.

“Aku juga belum tahu pasti. Tapi naluri ‘Mas(ih) Sendiriku begitu kuat terhubung dengan nenek moyang, nenek moyang kita. Dengan itu aku yakin dan mantep ada soudara yang lain lagi. Dan nantinya barangkali dapat juga menemukan jodohnya.” Ungkapku melayani buruan Ripin dengan meraba naluri ke-‘Mas(ih) Sendiri-anku.

“Terlalu mantep dengan ke-‘Mas(ih) Sendiri-anmu. Tapi belum juga menemukan yang pasti. Yang namanya mantep mestinya ya pasti, gimana si.” Ripin memprotes rabaan naluriku.

“Sebentar Pin. Mantep mestinya pasti?” Tanyaku pada protes Ripin.

“Lha ya iya. Kalau udah mantep mestinya udah pasti.” Ripin mempertegas.
“Yap. Ketemu.” Aku memetik jari, menemukan jalan terang.

“Ketemu apa? Jodoh?” Sela Ripin di tengah jalan terang yang sedang ku telusuri.

Mantep mestinya pasti. ‘Madep, Marep, Mantep’. Ini saudara dari kakak-beradik tadi.” Ungkapku cepat dengan wajah cerah.

“Kalau gitu sementara tiga bersaudara. ‘Makan gak makan kumpul’; ‘sandang, pangan, papan; dan ‘madep, marep, mantep’. Gitu?” Ripin merangkum penelusuran sementara kami.

“Betul Pin. Tapi harus berurutan dari yang paling tua: ‘Sandang, pangan, papan’; ‘makan gak makan kumpul’; baru ‘madep, marep, mantep’. Supaya mudah menjodohkannya kita harus tahu lebih dulu urutan itu.”

“Iya.. iya... sekarang sudah tahu. Dari tadi cuma kakak, adik, saudara. Perjodohannya kapan? Ijabqobulnya, resepsinya itu lho!” Ripin mengejar.

Mendengar ujung kalimat Ripin, Bejo tertawa kecil dan aku mengikutinya. Sementara Ripin melihat tingkah kami, Ia gerakan dagunya ke depan sambil mengangkat kedua alisnya.

“Sabar Pin.” jawabku menenangkan Ripin sambil mengambil sebatang rokok di atas meja lalu membakarnya. “Ini ngrokok dulu, biar segar fikiran kita.” Ku sodorkan rokok yang baru ku bakar kepada Ripin. Dan aku mengambil satu yang tersisa di meja. Sebelum ku bakar terlebih dahulu kutawarkan kepada Bejo. Bejo mengangkat tangan kanannya di depan dada. Sudah dua bulan Bejo berhenti merokok. Kutawarkan, barangkali ia ingin kembali merokok. Ternyata tidak. Aku yakin, sebenarnya ingin juga ia merokok. Tapi inginnya mempertahankan daya menahan tidak merokok lebih besar daripada rasa ingin merokoknya.

Sementara Ripin menghembuskan asap rokok yang dihisapnya dalam-dalam ke udara sambil menggeleng-gelengkan kepala.

“Memang siregar bah.” Logat bakat yang dibuat-buatnya keluar lagi.

Aku menyusul Ripin. Menghisapnya dalam-dalam lalu menghembuskannya ke udara. Bejo terbatuk dengan dibuat-buat sambil tangannya mengepal di depan mulutnya yang dimonyong-monyongkan. Sejurus kemudian ia angkat gelas kopi di depannya. Kami tertawa lepas bersama.

“Dah, lanjut-lanjut.” Bejo memulai.

“Lanujut Pin?” Pandangku mengarah Ripin.

“Mari, lanjut sudah.” Ripin berganti logat timur yang dibuat-buat.

“Perjodohan pertama. ‘Sandang, Pangan, Papan’. Ayo, siapa jodohnya?” Tanyaku memancing.

“E..., pakai siapa lagi. Pakai apa lah!” Protes Ripin.

“Sekarang konteksnya kan sudah jelan Pin. Jadi sudah boleh pakai siapa.” Bantahku kepada Ripin.

“Iya.. iya.. sudah jelas sekarang konteksnya. Siapa jodohnya? Rukun yang mana?” Kejar Ripin.

“Kita urutkan dulu. Rukun mana yang menjadi kakak dan adik. Supaya perjodohannya pas. Seperti tadi, kita sudah tahu urutan silsilah dari nenek moyang kita.”

“Kali ini aku sabar. Ayo kita urutkan dulu.”tambahnya mengejar.

“Mana yang lebih dahulu antara tindakan dengan kepercayaan atau keyakinan?” Ku lontarkan tanya untuk memulai penelusuran.

“Mbok langsung aja. ‘Rukun’ mana yang menjadi adik, mana yang menjadi kakak.”

“Gak bisa gitu lah Pin. Harus ada sebab-akibatnya untuk mengambil keputusan.”

“Lha kok ruwet to?” Ripin mulai kembali tidak sabar.

“Namanya juga kita menelusuri. Ya selangkah demi selangkah, seteguk demi seteguk, sesuap demi sesuap, setetes demi setetes...”

“Iya udah-udah. Ayo melangkah. Aku masih sabar kok.”

“Duluan mana?” Kejarku.

“Kalau melangkah atau bertindak dulu baru percaya atau yakin, ya langkahnya jadi bimbang, ragu dan yang jelas gamang. Malah gak jadi melangkah.” Ungkap Ripin meladeni pertanyaanku.

“Dalam konteks ini jawabanmu pas Pin. Tapi dalam kontesk lain nanti berlaku sebaliknya. Itulah sebabnya kita harus Empan Papan dengan berbagai kontesk. Begitu nasihat nenek moyang kita.”

“Jadi, dalam konteks kita sekarang: ‘Rukun Iman’ itu sebagai kakak atau pendahulu dan ‘Rukun Islam’ itu sebagai adik atau penerusnya. Begitu maksud keruwetanmu itu?”

“Iya Pin. Kira-kira seperti itu.” Jawabku sambil mengangguk yang diikuti oleh Bejo.

“Berarti sudah bisa dijodohkan sekarang.” Lanjut Ripin semangat. “Kalau tadi kita sudah sepakat bahwa ‘sandang, pangan, papan’ sebagai kakak atau pendahulu yang sama kedudukannya dengan ‘rukun iman’, artinya mereka berjodoh.”
“Belum.” Jawabku singkat.

“Lho... gimana to? Kedudukan mereka sudah sama, satu leting, sama-sama kakak pendahulu. Layak dong kalau mereka berjodoh.”

“Belum berjodoh. Baru mau kita jodohkan.” Dengan tempo lambat bertekanan khusus ku jawab kegelisahan Ripin.

“Sama saja, sami mawon!” Sewot Ripin bernada kesal.

“Beda to! Kalau sudah berjodoh artinya sudah bertemu, sudah bersatu, nyawiji gitu lho Pin. Kalau baru mau dijodohkan,...”

“Baru mau ditemukan, disatukan, di-sawiji-kan.” Sela Ripin memotong kalimatku.

“Betul. Itu namanya proses, langkah, tumindhaklaku.”

“Makanya cepat dijodohkan.” Ripin mengahiri hisapan rokoknya yang sudah memuntung.

“Baik. Kita mulai perjodohannya. Siap Pin?” Tantangku.

“Siapa takut.” Ripin mengambil kotak tembakau linting.

“Pertama kita harus menyediakan wali untuk mengijabqobulkan dua hal itu. Aku belum tahu pihak ‘Sandang, Pangan, Papan’ berwalikan apa dan siapa. Tapi aku yakin pasti bahwa “Rukun Iman” berwalikan yang Tunggal. Jadi yang akan menjadi wali dalam perjodohan mereka adalah yang Tunggal itu.”

“Oke sepakat.” Ripin menjawab mantap. Bejo tetap dengan anggukannya.

“Karena yang Tunggal sudah menjadi wali, maka yang akan dijodohkan adalah urutan dalam ‘rukun iman’ berikutnya. Haram hukumnya jika Walinya turut dijodohkan.”

“Benar itu. Haram!” Ripin berangguk mengerti.

“Dari ‘sandang, pangan, papan’ terdiri dari tiga bagian. Jadi tidak mungkin juga sisa urut-berurut ‘rukun iman’ semua dijodohkan dengan ‘sandang, pangan, papan’. Maka akan ada dua yang bersisa. Dan dua sisa itu  yang menjadi saksi perjodohan.”

“Betul. Kalau tidak ada saksi ijabqobul tidak akan sah.”

“Maka secara spesifik yang akan dijodohkan dengan ‘sandang, pangan, papan’ adalah ‘walmalaikatihi, wakutubihi, warusullihi’.”

“Cocok. Karena dua selanjutnya sudah menjadi saksi. Jadi tidak boleh ikut dijodohkan. Lagian kalau bisa, mau dijodohkan dengan siapa? Lha udah pas gitu, tiga dengan tiga. Cocok to.”

“Iya Pin, kira-kira begitu.”

“Terus, udah? Gitu saja perjodohannya?”

“Kita baru sampai pada syarat sah perjodohan. Tentu masih panjang.”

“Oke, lanjut-lanjut ‘Mas(ih) Sendiri. Bejo menampakan ketertarikannya.

“Kita urai satu persatu dari tiga dengan tiga. Pertama ‘Sandang’ dengan ‘Malaikatihi’. ‘Sandang’ merupakan hal pokok yang harus terpenuhi sebelum ‘Pangan’. Artinya tidak mungkin kita makan tanpa mengenakan pakaian, alias telanjang. Kalau itu terjadi, maka kriminalitas akan selalu terjadi.”

“Ya mesti lah. Kayak binatang saja makan sambil telanjang.” Ripin menyambung.

“Kalau orang yang mengerti, lebih baik memilih lapar daripada telanjang.” Ungkapku mendukung Ripin.

“Tapi yang terjadi sekarang sebaliknya. Orang telanjang untuk makan.” Cibir Ripin dengan kekritisannya.

“Benar. Ini memang zaman yang serba terbalik Pin, Jo.”

Ripin merekatkan kertas gulungan tembakaunya dengan sedikit air liur. Sambil meraih korek api “Kalau gitu... sekarang kita sedang... membalik zaman yang terbalik!” Kalimat Ripin terputus-putus dengan asap putih kental mengepul dari dalam mulutnya.

“Begitu kira-kira.” Sahutku sambil juga meraih kotak tembakau linting.

“Terus uraian ‘sandang’ udah selesai atau belum.” Bejo mengembalikan fokus.

“Sedikit lagi Jo. ‘sandang’ atau pakaian merupakan sesuatu yang kita gunakan untuk menutupi urat-urat di tubuh kita. Baik urat keperkasaan maupun urat kelembutan. Walaupun semua orang tahu kita memiliki urat-urat itu, tidak selayaknya kita menunjukannya. Justru sebaliknya, kita harus menutupinya. Konsekwensi bagi yang tidak berpegang pada prinsip ‘Sandang’ ini adalah seperti yang diungkapkan Ripin: tidak ada beda dengan binatang. Dan bersiaplah untuk mendapat berbagai kriminalitas dari apapun.”

“Artinya ‘sandang’ ini mengajak kita untuk tidak mudah menunjukan apa-apa yang menjadi miliki kita. Walaupun sebenarnya orang lain juga tahu apa yang kita miliki.” Ripin coba menjeneralkan.

“Sekalipun, belum atau tidak tahu ya harus ditutup dengan ‘sandang’ itu.” Jawabku melengkapi jeneralisasi Ripin.

“Tapi banyak juga yang ‘Nyandang’, berpakaian bukan pada kesadaran itu. Justru ‘Sandang’ yang mereka kenakan itu untuk menarik perhatian yang lain. Walaupun beda-beda juga kadarnya.” Sambung ripin dengan jiwa kritisnya.

“Betul juga Pin.” Aku menyetujui kritiknya.

“Kalau begitu belum ‘nyandang’ namanya.” Bejo nyeplos di tengah kebingunganku atas kritik Ripin.

“Betul itu Jo.” Ripin menyetujuinya.

“Iya... iya... iya... Artinya ‘Nyandang’ itu harus mendalam..., tidak dangkal. ... Bukan begitu Jo?” Sambil ku bakar lintingan tembakau yang sudah terapit bibir.

Bejo mengangguk setuju. Sementara Ripin senyum-senyum sendiri.

“Gimana Pin, ada tambahan uraian tentang ‘sandang’? sebelum kita mengurai ‘Walmalaikatihi’ yang siap untuk kita jodohkan.” Tanyaku pada Ripin yang masih senyum-senyum sendiri, tanpa tahu maksudnya.

“Derajad Martabat! ‘Sandang’ itu soal derajat martabat. Itu saja.” Dihisapnya dalam asap gulungan tembakau di mulutnya.

“Itu kunci dari ‘Sandang’. Nanti akan kita temukan lubang kuncinya setelah menelusuri uraian ‘walmalaikatihi’.”

“Harus. Kunci harus menemukan lubang kuncinya. Kalau tidak, ya tidak berjodoh. Dan ini tantangannya: menemukan lubang kunci.” Tantang Ripin.

“Semoga Walinya setuju Pin.” Jawabku mengalih pandang kosong ke langit.

“Amiin. Lanjut-lanjut.” Bejo menarik pandang kosongku dari langit.

“Semoga berhasil. ‘Walmalaikatihi’, Malaikat.” Ungkapku pelan. “Ia makhluk yang diciptakan dengan kedinamisan hati dan kesetatisan akalnya. Hatinya bisa sangat lembut dan bisa saja sangat kasar. Tapi akalnya sangat permanen, dari awal penciptaannya ya segitu-gitu saja. Tidak pernah berubah. Kebalikannya adalah Iblis, Setan. Statis hatinya, dinamis akalnya. Makanya ia begitu Jenius. Dari itu ia selalu berinovasi dan meng-upgrade akalnya. ...”

“Iblis, setannya nanti. Gak selesai-selesai malahan!” Sela Ripin memprotes.

“Baik Pin. Maaf maaf. Dengan kelembutan dan kehalusan hatinya, malaikat begitu peka dan perasa. Ia bisa sangat mudah berbelas kasih, meratap begitu sedih, mudah bersimpati dan empati. Dari golongan manusia hanya beberapa saja yang dapat mengungguli kelembutan dan kehalusan hatinya. Ia juga bisa sangat kasar dan keras hatinya. Ia bisa mendo’akan celaka atau memohon laknat dan kutukan kepada Walinya untuk sesuatu yang layak diperlakukan demikian.”

“Wah... masa Malaikat berkeras hati kasar. Apalagi itu mendoakan celaka dan memohon laknat kutukan?” Bejo merasa kurang nyaman mendengar kalimat terakhirku.

“Bisa saja to Jo. Malaikat itu kan suci dan selalu menjaga kesucian. Dengan kesuciannya itu, jika ada yang mengusik kesucian semesta tidak akan segan Ia meratap memohonkan celaka atau laknat kutukan kepada Walinya.” Respon Ripin secara radikal kepada Bejo.

“Nah... itu perjodohan yang terjadi antara ‘Sandang’ dengan ‘Malaikat’.” Celetupku menemukan jalan terang sambil mengepulkan hisapan tembakau linting ke udara.

“Di mana letak perjoodohannya? Kan kunci dari ‘Sandang’ tadi: Derajat Martabat!” Ripin menyelidik penasaran.

“Lha itu ‘Suci Kesucian’, Ia klop, pas dan sebanding dengan ‘Derajad Martabat’. Sesuatu yang menjada ‘Derajad Martabat’ sudah bisa dipastikan juga menjaga ‘Suci Kesucian’. Itu kan namanya berjodoh.” Tandasku melayani penasaran Ripin.

“Iya ya... tidak mungkin Malaikat itu berdoa, kalau hatinya tidak suci. Yang ada hanya menghujat protes saja. Tidak mungkin berdoa.” Respon bejo mengakui.

“Jadi sudah sah ni perjodohan ‘Sandang’ dengan ‘Walmalaikatihi’?” Aku menyambung Bejo.

“Tunggu... tunggu... Aku belum puas mengurai Malaikat.” Sanggah Ripin sambil mematikan puntung tembakau lintingnya.

Aku dan Bejo sempat terkejut dengan sanggahan Ripin. Aku terbengong menatap Ripin yang diikuti Bejo. Ada kekhawatiran dalam hati jika terjadi kegagalan perjodohan.

“Terus...” Antara fokus dan bengong ku sampaikan ke hadapan Ripin.

“Ingat...! Bahwa Malaikat tidak telanjang! Ini mendukung lubang kunci dari ‘Sandang’ yang mengutamakan pakaian dari pada makan. Karena tidak mungkin sesuatu yang suci dan menjaga kesucian itu telanjang. Gimana?” Ripin memetik jarinya.

Aku tambah terbengong dengan temuan Ripin. Dan Bejo mengangkat sebuah ibu jari ke hadapan Ripin sambil mengangguk-anggukan kepalanya.

“Duobol sekali memang kamu Pin. Ku kira ...” Teriakku girang sambil menggeleng-gelengkan kepala ke arah Ripin.

“Kira apa?” Ripin menantang.

“Enggak Pin. Aku bocahmu pokoknya Pin.”

“Kalau Malaikat menjaga suci kesuciannya, tentu menjaga juga pakaiannya, derajad martabatnya.” Ripin menyambung penjelasannya.

“Iya iya... betul itu. ‘Menjaga’ juga bagian dari kunci perjodohan ini Pin, Jo. Sesuatu yang selalu ‘Menjaga’ sama maksudnya dengan sesuatu yang selalu ‘Mempertahankan’. Dan sebaik-baik pakaian ya yang dijaga dipertahankan suci kesuciannya, derajad martabatnya.” Tambahku mendukung Ripin.

“Kalau mau kita telusuri lebih lanjut, Malaikat itu sangat malu jika tidak menjaga sekaligus mempertahankan suci kesuciannya. Jadi betul, Malaikat itu makhluk yang paling pandai ‘menahan’ dan memang paling ‘tahan’.”

“Maksudmu Pin?” Bejo penasaran.

“Begini lho Jo ...” Aku mendahului mulut Ripin yang sudah terbuka hendak memperjelas maksudnya. “Malaikat itu diciptakan tidak dengan nafsu melainkan dengan hati. Makanya ia begitu perasa, halus, lembut, suci, murni dan seterusnya yang berkaitan dengan hati. Tapi Ia juga tidak diberikan sediktipun keleluasaan, kekuasaan, kemerdekaan bahkan atas dirinya sendiri. Kalaupun ada, sangat terbatas dan itupun di bawah ketundukannya atas kuasa Walinya. Dengan penciptaan yang seperti ini, maka Malaikat ya bisanya hanya bertahan, menahan, dan tahan dari ketidakuasaannya terhadap apapun, bahkan dirinya sendiri. Untuk itu yang hanya bisa dilakukannya ya merasa tidak kuasa lalu berdoa memohon kepada Walinya. Itu yang dimaksud Ripin bahwa Malaikat itu makhluk yang paling pandai ‘menahan’ dan memang paling ‘tahan’. Bukan begitu Pin?”

“Ya gak sebertele-tele itu juga. Gampangannya Malaikat itu makhluk yang sangat ‘berpuasa’ di bawah kuasa Walinya. Simpel, Wis!” Ripin mengejekku dengan menjulurkan setengah lidahnya.

“Oke-oke, dong.” Bejo mengangguk paham.

“Doubol Pin Pin. Kering ludahku menjelaskan hanya kau lecehkan dengan jawaban ‘Puasa’. Dasar Buoll Pin Pin.” Umpatku kepada Ripin.

Ripin mengakak puas. Sementara Bejo masih dengan anggukannya sambil sedikit tertawa juga karena lucu melihat ekspresi kepuasan Ripin. Setelah puas, sambil mengusap sisa tawa di sudut-sudut matanya Ripin membrondong lagi.

“Karena Malaikat berpuasa, maka Ia memilih lapar dari pada tidak berpakaian. Dari itu, Ijabqobul perjodohan menjadi sah. Karena nenek moyang kita pun sudah merestuinya dengan menempatkan posisi ‘sandang’ lebih pokok daripada ‘pangan’. Gimana? Sah?”

“Sah. Sekarang sudah sah. ‘Sandang’ dan ‘Walmalaikatihi’ berjodoh. Pimpin doa Jo.”

“Sebagai do’a, kita amiinkan saja do’a rumput, baik yang mengering di tepian jalan maupun yang tumbuh subur di lereng Merapi.” Bejo menjawab dengan kepercayaan diri berpuisi yang tinggi.

“Bejo sang penyair memasrahkan do’anya kepada rumput di jalanan dan lereng Merapi.” Ripin menggeleng kagum.

“Kenapa kepada rumput Jo?” Jiwa puitikku terusik menuntut penjelasan.

“Saat kalian berisik dan ribut membahas perjodohan ‘Sandang’ dengan ‘Walmalaikatihi’, jiwaku mengembara meresapi rerumputan, pepohonan, dedaunan yang hidup maupun yang sudah tidak.”

“Sebentar Jo. Kok kamu malah jadi ikut-ikutan nduobol seperti Ripin to?” Tanyaku semakin keheranan melihat ekresi Bejo yang datar.

“Boll tenan.” Sahut Ripin. “Kita ini memang remeh Jo, cuma Doboll. Tapi tak masalah, toh Boll kita selalu berpakaian. Hanya sesekali saja pakaiannya kita lepas, itupun untuk urgensi tertentu bukan untuk pamer memamerkan Boll apalagi untuk disalah-gunakan. Na’udobollah!” Ripin begidik jijik. “Lanjut Jo penjelasanmu!”

Sebelum melanjutkan, Bejo tertawa agak lebar mendengar keluh  syukur Ripin atas penerimaan diri apa adanya. Sedang aku anatara mau tertawa dan tidak.

“Bukankah ‘Sandang’ dan “Walmalaikatihi’ sudah berjodoh dengan adanya tetumbuhan yang dibondong-bondong untuk membuat bahan dasar pakaian? Sedangkan tetumbuhan adalah bentuk kasat mata Malaikat! Jadi ‘Sandang’ atau ‘pakaian’ itu memang berbahan dasar ‘Malaikat’.”

Bejo beralih-alih pandang, sebentar padaku sebentar pada Ripin. Sementara Aku dan Ripin fokus terbengong menangkap kejut dari Bejo yang pendiam.

“Dari itu kita akan bisa melihat kadar ke-Malaikatan seseorang dari pakaiannya.” Lanjut Bejo di tengah fokus kami. “Seseorang yang berpakaian minim, sudah tentu kadar ke-Malaikatannya juga minim. Sejalan dengan orang yang terlalu berlebihan dalam berpakaian, kadar ke-Malaikatannya tinggi atau juga berlebih. Tetapi berpotensi sombong pada kelebihan pakaiannya itu.  Maka yang paling tepat, seseorang berpakaian ya yang sesuai dengan kebutuhan tubuhnya. Seperti tumbuhan, yang begitu tahu persis akan dirinya. Kapan ia perlu menggugurkan dedaunannya dan kapan ia perlu untuk kembali tumbuh dengan lebatnya. Bukankah memang mereka berjodoh?”

Akau tertegun dengan kependiaman Bejo yang diam-diam mengembara begitu liar.

“Ini juga berjodoh sekali dengan pegangan nenek moyang kita: ajining rogo ono ing busono. Jos, sangat menarik Jo.” Ripin berangguk-angguk dengan responnya. “Terutama sekali pada bagian: tumbuhan itu bentuk kasat mata Malaikat.” Ia terus mengangguk-angguk sambil menatap beberapa tanaman dalam pot bunga di sekitar kami duduk.

“Tolong Jo!” Aku masih tertegun menerawang.

“Coba kita pelajari sifat tumbuhan!” Ungkap Bejo coba menolongku. “Ia memiliki sifat yang sama dengan ‘Malaikat’ yang kalian berisikan dan ributkan tadi.”

Hening. Bejo memberi jeda untuk menyambung kami.

“Tumbuhan selalu menahan, bertahan, dan tahan ... terhadap apapun, segala situasi maupun kondisi. Ia selalu menjaga baik diri maupun lingkungannya bahkan mahkluk lain di sekitarnya. Ia pun begitu pemalu, pemurung sekaligus begitu periang. Beberapa tumbuhan sangat jelas memperlihatkan sifat pemalunya, pemurungnya, dan periangnya. Sebagian besar lainnya tidak terlalu diperlihatkan dan lebih banyak lagi yang tidak diperlihatkan. Sejenis putri malu, ia akan merunduk memingkupkan sebagian dedaunan dan rerantingnya saat tersentuh sesuatu. Begitu juga saat malam menjelang, semua bagian dedaunan dan rerantingnya akan menunduk murung sepanjang malam. Tapi coba lihat saat pagi menjelang, ia akan begitu riang gembira menyambutnya. Menegakkan semua ranting dan dedaunannya menengadah penuh pengharapan.”

Bejo menghentikan aliran puisinya.

“Penyair super douboll kamu Jo.” Pekikku keheranan seperti bukan sedang mendengarkan Bejo.

“Betul... betul... ini memang doboll. Lanjutkan Jo!” Ripin menyela tenang, seolah ia tidak heran mendengarkan Bejo yang sedemikin aneh.

“Hidupnya tumbuhan bukan untuk buah berbuah.” Bejo menyanyikan kembali syair-syair kesunyiannya. “Tidak penting baginya buah berbuah. Ia hanya mengejar cahaya, yang merupakan jati dirinya. Demi cahaya itu maka ia tumbuh dan tumbuh. Tak perduli batas dan ruang, ia terus mencari dan mengejar, hingga tiba waktunya ia kembali rubuh ke tanah dan menjadi tanah.”

“Memang Malaikat!” Ungkapku pelan sesaat dari berhentinya aliran puisi sunyi Bejo.

“Iya Mas, tidak lain. Itu Malaikat!” Kali ini Ripin benar-benar menunjukan keheranannya.

“Coba kalian sayat kupas itu kulit pohon, tebas patahkan ujung rantingnya, atau lukai saja bagian manapun pohon itu!” Bejo seakan memerintahkannya pada kami berdua sambil menunjuk pohon nangka yang rindang milik tetangga. “Ia hanya akan bisa mengeluarkan getah. Demikian Malaikat. Saat ada sesuatu melukai, Ia hanya akan bisa menangis. Tanpa memiliki keleluasaan, kemerdekaan, kekuasaan untuk menghindar terlebih membalas. Ia hanya akan bisa merapat tangis memohon doa.”

“Itu sebabnya kau memilih meng-amiin-kan do’a rumput, baik yang sudah kering maupun yang masih subur, atas sahnya perjodohan ‘Sandang’ dengan ‘Malaikat’?” Tanyaku meraba perasaan Bejo sambil menerawang langit.

“Kalau gitu mari kita Amiin-kan doa semua rerumputan, pepohonan dan semua jenis tetumbuhan, baik yang sudah kering bahkan membusuk sekalian, maupun yang baru tumbuh subur bahkan yang susah dan kesulitan tumbuh sekalian. Amiin ya Robbal’alamiin!” Ripin memimpin menengadah tangan.

“Tapi soal buah Jo?” Selaku setelah hening beberapa saat diantara kami.

“Sudah ku bilang: hidupnya bukan soal apalagi untuk buah berbuah. Sebenarnya kasihan aku melihat kalian.” Bejo bersimpul senyum meraut wajah penuh kasihan kepada kami berdua.

“Maksudmu Jo?” Celetup Rupin penuh penasaran dengan teka-teki Bejo.

“Kasihan... sungguh kasihan... Tingkat bertingkat bangku sekolahan telah berhasil mendangkalkan fikiran kalian. Persis sedangkal kaki-kaki bangkunya. Parahnya kalian rayakan kedangkalan itu dengan mengenakan topi tempurung kedangkalan disertai  kuncit serabut yang menjulai-julai bangga!”

“Tolong Jo!!! Tolong!!! tolong hentikan teka-tekimu!” Ucapku penuh tekanan berpandang tajam menikam bola-bola matanya.

Bejo semakin tersenyum simpul antara memberi belas-kasihan dengan mengejek.

“Jubah kesia-siaan; selendang-selendang setan; kalung-kalung medali prestasi iblis; karangan-karangan bunga kemusrikan; dokumentasi-dokumentasi kemunafikan; upacara-upacara perayaan kematian hati; pesta pora neraka; ijazah-ijazah bergelar surga kesesatan; transkirip-transkrip nilai berindeks prestasi birahi; Setifikat-sertifikat akreditasi kepalsuan; legalisir-legalisir kesesatan, kebirahian, dan kepalsuan, ...”

“Hentikan Jo!!!!!” Teriakku menggebrak meja diskusi kami.

“Hoi!!!!!!!” Ripin membentak menggenggam menarik lubang leher kaos oblong yang ku kenakan.

Bejo tetap datar pada duduknya. Ripin menggenggam kendali ku tepat di leher hingga beberapa saat. Begitu reda ketegangan di leherku, Ripin mengendur berangsur melepas perlahan genggamannya. Menjelang benar-benar lepas dari genggamannya, dadaku didorong sedikit menyentak hingga aku jatuh terduduk di kursi semula.

Keheningan terjadi beberapa lama. Aku menata kembali nafas hingga teratur sedemikian halus, lembut dan tenang. Tepi tetap dalam kewaspadaan Ripin. Sementara Bejo jauh lebih tenang dalam kedatarannya. Pada  situasi dan kondisi yang berangsur aman, Ripin memberikan gulungan tembakau linting yang telah menyala ujungnya kepadaku. Kuraih dengan senyum yang masih agak terganjal. Kuhisap dalam-dalam lalu ku hembuskan perlahan. Demikian kuulangi hingga tiga kali beturut-turut. Pada puncak kelegaan, aku tertawa keras dengan bahaknya menutup rasa malu. Ripin maupun Bejo, tak satupun mengikuti tawaku. Seketika beberapa bulir dari mataku jatuh. Lalu tertunduk malu yang teramat sangat.

“Sudah-sudah, mari kita lanjutkan. Tidak akan ada teka-teki lagi.” Bejo memulai, memecah kebekuan.

Mendengar Bejo, aku bangkit menuju kran tak jauh dari tempat duduk kami. Kubasuh wajah mengharap sejuk kesegaran jiwa. Menadah meraup ari yang teralir ke seluruh wajah. Berulang hingga beberapa kali. Lalu ku tuju kain kering yang tersampir pada sebuah tali penjemur. Menyeka sisa air yang meresap menetes berjatuhan.

“Maaf Jo, Pin.” Ungkapku lirih penuh malu sambil melangkah kembali duku. “Lanjut Jo, lanjut.” Lanjutku antusias dengan senyum tersipu sambil ku raih tembakau linting yang ku taruh di sudut meja.

“Bunga berbunga, buah berbuah tetumbuhan itu hanya akibat dari tumbuh pertumbuhanya mencari dan menangkap cahaya. Jadi, bunga berbunga buah berbuah sama sekali bukan tujuan dari hidupnya.” Ungkap Bejo halus meraih gulungan tembakau yang baru saja ku hisap dari pegangan.

“Maksudmu tadi, teori biologi yang diajarkan ke kita selama di sekolah bertahun-tahun: bahwa tumbuhan hidup untuk berbunga berbuah lalu mati, itu kurang tepat?” Ripin masuk menatap Bejo yang sedang menghisap tembakau linting.

“Perkara matinya setelah berbunga berbuah, tepatnya setelah menggugurkan bunga-bunga buah-buah, lalu ia lepas hidupnya. Itu karena sudah mewariskan, mempercayakan kelanjutan hudup kepada benih-benih dari buah yang telah jatuh tadi. Tapi sebagian tumbuhan lain, ada yang mempercayakan kelanjutan hidupnya kepada daun-daun yang juga digugurkannya. Sebagian lagi kepada batang dan tunas-tunasnya. Dan perlu diketahui, bahwa bunga buah yang mereka hasilkan sama sekali bukan untuk kepentingan dan keperluan dirinya.” Bejo mengalir tenang.

“Bunganya untuk kumbang lebah, lalat, aneka serangga, burung juga manusia. Buahnya lebih banyak lagi. Ada yang untuk ular, monyet, burung-burung, dan tentu juga manusia.” Cerocos Ripin meneruskan Bejo.

“Sebagian daun-daunnya juga untuk dimakan ulat, ikan, binatang ternak juga manusia. Dan yang paling urgen, hasil dari pengohalan cahaya yang ia tangkap adalah untuk alam. Tanpa itu alam mati.” Aku menambahi sambil mengambil kembali gulungan tembakau dari tangan Bejo yang tinggal tiga kali hisapan lagi.

“Ya... udara yang kita hurup sekang adalah proses hidupnya. Ia hidup dengan segenap perjuangannya tapi sama sekali bukan untuk dirinya. Maka amiinkan lah doa-doa seluruh tumbuhan itu.” Bejo menarik hikmah memberi amanah.

“Ku kira, upaya paling minimal untuk hidup selamat, ya dengan menjadikan diri seperti tumbuhan, seperti malaikat. Kalau boleh meminjam kepenyairan Bejo, dengan kata lain hidup selamat itu ya ‘me-mohon’. Berlaku diri menyifati pohon. Dan artinya harus selalu ‘Nyandang’.” Ripin turut menyambung Bejo.

“Semoga kita dan apapun di sekitar kita dapat hidup dan selalu tumbuh seperti tumbuhan.”

Ripin dan Bejo mengaminkan harapanku yang juga harapan kami setelah cukup panjang berdiskusi.

Dua gelas kopi telah tandas. Bejo harus pamit pulang, dan langsung ke tempat KKN. Sementara Ripin bergegas mandi bersiap berangkat kerja, karena sebelum subuh ia harus sudah sampai di tempat kerja. Aku sendiri berberes meja, lalu tidur. Hari masih cukup dini, hujan masih menyisakan gerimis.

***

Catatan:

Mohon maaf yang sebesar-besarnya, seluas-luasnya, sedalam-dalamnya apabila ada kesamaan nama tokoh, karakter atau peristiwa yang membuat pembaca atau siapapun tidak berkenan. Sungguh karya ini hanya fiktif belaka, yang penulis sarikan dari pikiran dan imajinasi sendiri. Dan tentu juga tidak lepas dari pengaruh pengetahuan dan pengalaman penulis dan lingkungan. Semoga tulisan ini bermanfaat.