Kamis, 05 November 2015

Surat Tri Fosa (Oca) untuk Ibu Susi Pudjiastuti

Geti Lama, 2 November 2015
Kepada ibu Susi Pudjiastuti
Di Jakarta

Salam hormat,
Perkenalkan nama saya Tri Fosa Kape (Oca). Saya tinggal di Geti Lama. Saya sudah kelas lima SD Negeri Geti Lama. Kalau umur saya sudah 11 tahun.

Setiap hari aku sekolah. Aku senang sekali ibu mau tau tentang laut. Di laut itu bagus sekali. Ada ikan, ada karang, ada bintang laut dan lautnya berwarna biru dan pasirnya berwarna putih. Setiap hari kita pergi ke tanjung. Kalau kita pergi ke tanjung, kuta pulang membawa ikan. Terus kita pulang, kita bakar.

Kalau kita sekolah, kita belajar matematika. Kita sudah tau matematika. Tri Fosa senang sekali belajar matematika. Wah, bikin kita semua pintar matematika.

Boleh kan Tri Fosa ceritakan tentang Soki. Dengar ya cerita Tri Fosa ya. Kalau Tri Fosa pergi ke soki mencari bia aku Tri Fosa melihat Yakis, melihat binatang yang paling besar. Kampung Geti banyak binatang. Ada binatang burung-burung. Itu paling suka berteriak-teriak di soki. Lalu Tri Fosa pulang dari soki Tri Fosa melihat ikan di laut yang paling besar sekali. Ikan yang bernama ikan hiu. Dia paling besar sekali. Tri Fosa lihat ikan itu, Tri Fosa takut sekali. Ikan hiu itu ada anaknya. Bernama hiu lagi paling besar.

Tri Fosa ceritakan tentang mengail. Tri Fosa mengail ikan di laut banyak. Tri Fosa pernah melihat ada orang bom ikan di laut. Ikannya jadi mati. Di laut ikan-ikan mati semua. Tri Fosa mengail tidak hela, karena ikannya sudah mati. Tri Fosa sedih sekali. Tri Fosa ke darat tanamannya sudah mati semua. Karangnya sudah pecah semua. Tri Fosa sedih sekali. Plangton juga sudah mati. Tri Fosa sedih sekali melihat ikan mati di tengah laut. Satu kali saat mereka sudah tidak bom lagi, ikannya lebih banyak. Jadi Tri Fosa senang dan laut sudah ada rumput laut subur dan indah sekali. Tri Fosa Kape suka sekali sama rumput laut. Itu ada ubur-ubur di tengah laut. Kalau kita di sini, kita pegang itu ubur-ubur tangan kita pasti gatal. Kan gatal sampai bentol sekali sekali kan.

Setelah aku sampai di situ, aku langsung lompat di pasir putih itu. Tri Fosa Kape kira tanahnya keras sekali. Setelah diinjak lombo sekali. Bintangnya berwarna biru sama dengan pantai di laut. Kan senang sekali melihatnya. Malah angin ditiup lagi, malah kita lebih segar. Kira-kira kita mau mengantuk di pasir putih, kalau kita mengantuk kita sudah tarada. Kagak mau pulang. Tri Fosa Kape senang sekali pergi ke laut. Bersama teman-teman ke laut indah sekali di tengah laut.

Ibu, boleh Tri Fosa ceritakan tentang memasak di dapur? Kalau kita memasak di dapur, kalau kita bikin sayur kangkung bumbunya bawang putih, bawang merah, minyak, roiko, dan rica. Baru kita isi sayur, langsung sudah masak. Kita makan enak sekali. Aku suka sama sayur kangkung. Itu kepengen makan terus. Terus Tri Fosa Kape bantu mama memasak di dapur. Aku suka banget sayur itu. Tri Fosa Kape senang sekali membantu orang tua saya di dapur. Kalau aku tidak membantu orang tua di dapur, orang tua saya pasti marah.

Itu saja ya. Sampai jumpa, da-da...
Cuma mau cerita ini untuk ibu Susi Pudjiastuti.

Tri Fosa Kape

Rabu, 04 November 2015

Surat Elam untuk Ibu Susi Pudjiastuti




Geti Lama, 2 November 2015

Kepada ibu Susi Pudjiastuti
Di Jakarta

Salamb hormat,
Perkenalkan nama saya Elam Kodobo. Umur saya 10 tahun. Saya tinggal di SD Negeri Geti Lama, Bacan Barat Utara.

Saya akan ceritakan tentang desa saya. Rumah aku pinggir pantai. Kalau aku pergi ke pantai jalan saja sedikit sudah sampai. Ibu Susi aku to tidak suka orang-orang luar. To mereka itu mau bom ikan. Kalau mereka bom ikan, kuta tidak makan tidak makan ikan lagi. Ibu, laut kuta to bagus sekali. Tapi, masyarakat-masyarakat membuang sampah di pinggir lautnya. Jadi ikan pun tidak datang lagi semua ke desa kita. Apakah ibu Susi pernah melihat ikan lumba-lumba? Ada ikan hiu, besar banget ikan itu.

Aku selalu merawat karang-karang yang di laut. Supaya ikan pun tidak meninggalkan tempatnya to. Kalau karang itu sudah tidak ada, ikan pun sudah tidak ada, tidak ada di karang itu. Kalau bukan itu sudah tidak ada di karang iitu akan kita ambil gimana? Karena orang-orang luar itu jahat. Dia bom ikan-ikan yang di karang itu. Jadi ikan itu sudah tidak ada lagi.

Ini tentang soki ya.
Setiap hari aku sepulang sekolah aku mencari bia dengan papaco. Papaco itu enak sekali. Biar pun aku sendiri, aku tidak takut. Soki-soki itu indah sekali. Sudah sore aku sudah pulang dari soki. Badan ku kotor sekali. Jadi mamaku marah sama aku.

Aku pergi ke sekolah. Terus aku sudah pulang sekolah, aku pergi cari lagi. Aku pergi ke soki. Aku naik-naik batang soki. Paling asik sekali. Elam paling senang sekali. Satu kali Elam naik di batang kayu, Elam jatuh. Paling sakit sekali, dan paling berluka. Langsung mama Elam obat, langsung sembuh Elam bisa berjalan yang lurus. Terus aku pergi lagi untuk main-main lagi ke soki. Terus aku naik lagi ke batang soki. Untung saja aku tidak jatuh lagi. Aku naik-naik lagi sampai ke ujung terus, aku turun sudah tidak bisa lagi. Jadi aku menangis. Untung saja ada Tika teman ku. Tika yang membantu aku. Jadi aku masih baik lagi. Terus aku main-main sekali lagi.

Ibu, di kebun saya ada ikan banyak sekali. Aku mau cerita.

Dulu aku dengan pak Mabrur jalan-jalan di pantai. Kalau pergi ke pantai selalu aku melihat karang-karang yang ada di laut. Aku melihat ikan. Wah, bagus banget. Terus aku ingat orang-orang yang membuang sampah di laut. Jadi aku to tidak mau kalau desa kita kkotor. Jadi aku bilang sama orang tua ku, jangan buang sampah di pinggir laut. Ikan-ikan pun juga takut, karena terlalu kotor airnya.
Terus orang pun juga bom ikannya. Jadi ikannya sudah tidak ada lagi. Di karang aku mengajakb pak Mabrur untuk ke laut melihatnya. Untung masih ada sedikit ikannya.

Ibu, setiap hari aku pergi ke kebun untuk mengambil sayur. Terus aku memasak sayurnya. Bumbunya rempah-rempah bawang merah, bawang putih. Terus ada juga roiko juga rica. Terus aku sudah habis memasak sayur, aku masak lagi ikan. Ibuku bilang sama aku bagini: 
"Elam, ikannya goreng saja, ikannya jangan di masak ya". 
Terus aku sudah habis masak, aku pergi mandi. Terus aku sudah habis mandi, berganti pakaian. Terus aku sudah habis berpakai pakaian ibuku bilang sama aku begini:
"mari kita makan bersama Elam, kamu jangan makan ikannya, kamu makan sayurnya saja. Supaya kamu pintar, supaya kamu bisa punya cita-cita. Kata ibu kamu yang menulis surat itu, kalau kalau kamu makan sayur-sayuran pasti badan kamu sehat dan kamu tidak sakit-sakit lagi. Supaya kamu juga bisa menulis surat sama ibu-ibu yang di Jakarta. Supaya kamu juga bisa ikut lomba. Kalau kamu pergi ke sekolah kamu minum susu dulu. Supaya badan kamu sehat dan kamu pandai menulis surat sama ibu-ibu kalian."

Jadi aku bilang sama ibuku: 

"nanti aku minum bu. Ibu taruh saja di atas meja. Tunggu sebentar, aku berpakai dulu bajuku ini dengan rapi, kalau pergi ke sekolah, supaya jangan ibu marah sama kita lagi. Kalau baju kita tidak rapi." Begitu!

Itu saja ceritaku ini kepada ibu menteri Kelautan dan Perikanan. Salam ya ibu Susi Pudjiastuti.

Ananda
Elam Kodobo

Jumat, 16 Oktober 2015

Kita Kebingungan

Baru kali ini pose ku saat berfoto berhasil bener-bener natural. Aku tidak berperan sebagai apa-apa di sini. Hanya memerankan diriku saja.
Nasihat orang-orang tua pada ku: "dalam kebingungan, ubahlah posisi mu lebih dekat dengan tanah —jika saat kebingungan mu dalam berdiri maka jongkok lah, kemudian jika masih saja kebingungan ada maka berpegangan lah, jika masih juga ada maka duduk lah, dan jika tetap kebingungan terus coba rebahkan lah badanmu."
Di tengah kesamaan "bingung" yang kita miliki, marilah kita berpegangan tangan. Agar "kebingungan" itu menjadi lebih besar —karena kebingungan-kebingungan kita ini akan terakumulasi saat tangan-tangan kita berpegang-gandeng satu dengan yang lain— sehingga Tuhan akan menurunkan petunjuknya atas "kebingungan" besar-bersama yang kita miliki.
Tanah atau Lemah —disebut dalam salah satu bahasa suku Nusantara— bermakna ialah asal muasal kita manusia. Dalam kesamaan kata pada bahasa melayu —yang juga salah satu suku Nusantara— "lemah" berarti sesuatu yang tidak punya daya. Maka dalam nasihat orang-orang tua itu, saat terjadi kebingungan perbanyaklah mengingat asal muasal. Di mana saat itu kita hanyalah "lemah" yang tidak punya daya. Maka dalam kondisi lemah tak berdaya yang disadari sama-sama, saat itu hanya petunjuk Tuhan yang diharap.
Maka tidak ada daya dan upaya melainkan hanya dari Tuhan datangnya.
#bacalah
#nusantara
#diperjalankan

Senin, 12 Oktober 2015

Sri: Siswi SABETA Nusantara

Nama ku Sri Nova. Nova adalah salah satu fam —marga— dalam suku Galela. Semua suku asli Maluku Utara menggunakan nama fam di belakang nama-nama asli setiap generasi yang lahir. Budaya ini turun-temurun hingga sekarang. Menjaga budaya, menjaga nama baik leluhur menjadi kewajiban bagi setiap generasi yang hidup di tanah dan air Maluku Utara.

Aku tinggal bersama kedua orang tua ku di desa kecil bernama Geti Lama. Desa yang telah membesarkan aku yang bungsu bersama kedua kakak ku. Sebagai anak perempuan bungsu, saat ini hari-hariku tak luput dari membantu kedua orang tuaku yang kerepotan menafkahi keluarga. Papa ku bekerja serabutan. Kadang bekerja membelah kayu, kadang juga mencungkil kelapa milik saudara-saudara papa dan mama, kadang juga menjadi ojek laut menggunakan ketinting peninggalan tete —kakek.

Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah aku berkeliling desa untuk menjual roti garu —roti tawar yang berbentuk seperti buah ketapang utuh berlumur gula pasir yang dicairkan. Roti garu dibuat mama ku saat malam hari. Ku temani mama sambil belajar mata pelajaran yang akan diajarkan esok hari di sekolah.

Roti garu yang ku jual laku sekali. Karena sudah menjadi kebiasaan warga desa Geti hanya sarapan dengan kue dan minum te —teh. Terkadang belum sampai pukul 07.00 WIT, aku sudah pulang dengan bokor —toples—  yang sudah tak berisi. Bahagia ku dapat saat pulang dengan bokor yang telah ringan. Baru setelah berjualan aku bergegas mandi dan langsung berangkat sekolah.

Aku tidak sarapan di rumah, melainkan membawa bekal ke sekolah yaitu satu botol air te dan dua buah roti garu yang sudah disiapkan mama saat aku sedang berjualan. Sehingga di sekolah aku tidak lagi jajan.

Oh iya, aku sampai lupa. Nama sekolah ku SD Negeri Geti Lama. Saat ini aku duduk di kelas lima. Kami belajar itu selalu digabung dengan kelas enam. Satu ruangan dengan satu guru dan materi pelajaran yang selalu sama. Bahkan dalam belajaran kami tidak bisa membedakan mana pelajaran kelas lima dan mana pelajaran yang kelas enam.

Namun kami bersyukur dapat belajar dengan tenang di sekolah. Terlebih saat bapa guru memperkenalkan kami dengan Sahabat Pena. Mereka sudah melengkapi kekurangan guru di sekolah.

Dengan adanya Sahabat Pena yang kami namai SABETA (Sahabat Beta) Nusantara, kami lebih semangat lagi untuk datang ke sekolah dan lebih giat dalam belajar. Mereka adalah teman-teman sekaligus guru kami yang berada di luar Maluku Utara. Ada yang di Medan, Padang, Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Blitar, juga ada yang di luar negeri: Jepang.
Menyenangkan sekali bisa berkirim surat dengan mereka. Kami jadi tau tentang kota-kota besar. Tentang gedung-gedung yang tinggi dan tentang keramaian di kota. Kami juga berbagi kabar tentang keadaan alam di desa kami. Menurut surat balasan mereka yang kami baca, begitu senang mereka dapat surat dari kami. Sama, Kami pun senang. Dan mereka keheranan dengan cerita tentang desa kami yang tidak ramai seperti tempat tinggal mereka.

Saat pulang dari sekolah kalau tidak ada jadwal les, kami selalu berjalan ke kebun untuk mengambil kelapa, sayur dan kadang juga ambil kayu bakar. Daun paku, daun kasbi (singkong), kangkung, juga daun atau bunga pepaya dan sayur-sayur lain berlimpah di kebun-kebun kami. Sebenarnya kami masyarakat Maluku Utara tidak begitu suka dengan sayur-sayuran. Kami lebih suka makan ikan. Sehari saja kami tidak makan ikan, badan kami serasa soak —lemas. Ini karena desa-desa di Maluku Utara terletak di pantai-pantai. Hidup kami tidak bisa lepas dari laut. Kami begitu mencintai laut dengan gugusan pulau-pulaunya. Hal ini lah yang menyebabkan kami lebih banyak mengkonsumsi ikan daripada sayur-mayur. Tapi kata pa guru, kita mesti menjaga keseimbangan gizi. Untuk itu kami rajin mengambil sayur.

Jumat, 25 September 2015

Nasihat (yang) untuk ku

Nah hal menjadi ibu "madrasah",  barang tentu berjodoh dulu. Jodoh yang baik akan juga membentuk "madrasah" yang baik juga. Jodoh yang baik datang dari tempat yang baik pula. Dan jodoh sendiri tidak jauh-jauh dari diri kita, karena ia satu sama lain merupakan bagian dari satu kesatuan. Untuk menemukan jodoh yang baik maka bentuklah diri kita sebaik mungkin, jika itu dirasa tidak mampu carilah tempat baik, yang akan membentuk kita menjadi baik. Dan dari tempat terdekat yang baik ini semoga Tuhan meletakan jodoh kita di sana.

#Tempat bukan berarti suatu yang kasat oleh mata atau suatu yang dapat kita tangkap oleh indra yang lahir ini saja. #Tempat di sini  adalah segala sesuatu yang dapat membuat kita terhubung dangan pemberi hidup, di mana kita mengembalikan segala urusan padaNYA.

Benar sudah, "hal yang semudah ini kita ucapkan, berbanding terbalik untuk dapat kita lakukan"

Perlu kita ketahui, bahwa "segala daya dan upaya hanyalah Tuhan yang punya". Apakah kita sangka upaya mengeluh kita ini bukan bagian dari daya dan upaya Tuhan? Bahkan hal yang paling mudah untuk dilakukan --yang ayam saja bisa lakukan: mematuk padi di lumbung padi-- pun atas daya dan upaya dariNYA.

Maka, tidak ada yang tidak mungkin, jika Tuhan sudah berkehendak.
not IMPOSSIBLE, but (I'M)POSSIBLE!!

Kita tidak mesti harus tau cara melakukan ini dan itu. Bukankah saat kita baru lahir tiada pernah terlontar pertanyaan kepada ibu kita: "ibu, bagaimana cara menghisap air susu mu?", bukankah kita hanya tinggal buka mulut dan kemudian menghisapnya. Begitu juga saat kita dalam masa balita, untuk dapat berjalan apakah kita pernah bertanya kepada bapak kita: "bapak, bagaimana cara berjalan itu?", kita hanya perlu berdiri kemudian melangkahkan satu kaki kemudian kaki berikutnya dan seterusnya. Perkara kita dalam belajar berjalan itu akan jatuh, apakah kita pernah khawatir akan jatuh dan sakit. Bahkan saat itu kita tau jatuh itu sakit, saat setelah kita benar-benar terjatuh dan baru menangis. Lantas apakah kita juga kapok dengan sakit akibat jatuh tadi? Ya benar! Tidak, tidak kapok sama sekali, bahkan semakin terbiasa dan malah semakin cepat kita berjalan seperti berlari.

Kita semakin berumur, jangan sampai pengetahun yang telah kita dapat yang semakin banyak ini justru menjadi penghalang langkah-langkah kita berikutnya. Kita hanya perlu percaya dan yakin bahwa setiap langkah kita adalah bagian dari daya dan upaya Tuhan yang Maha pengasih lagi Maha penyayang kepada tiap-tiap ciptaanNYA.

Labuha, 11 Dzulhijjah 1436 H
Labuha, 25 September 2015 M
Cah Angon.

Rabu, 23 September 2015

Haji dan Hari Sabtu Wage

Syukur alhamdulillah, atas bertambahnya usiaku yang genap 25 tahun menurut perhitungan bulan qomariyah --perhitungan tahun berdasarkan revolusi bulan terhadap bumi-- atau biasa disebut tahun hijriyah. Dalam usia yang memasuki masa dewasa atau akhir dari masa transisi dari remaja ke dewasa ini, mulai ku temukan mozaik kehidupan ku sekeping demi sekeping. Walau aku juga tidak mengetahui pasti apakah ini mozaik atau hanya bagiannya saja dan atau hanya angin lalu saja. Tapi setidaknya membuatku untuk terus berfikir mencari tahu.

Senin, 21 September 2015

Kangen Yogya

Saat kangen dengan Jogja.
Akibat baca "Jejak Guru Bangsa" di atas kapal motor speed tadi saat menuju kota Labuha.
Ternyata Bapak Tiong Hoa ini pernah nyantri di krapyak. Aku bersyukur pernah masuk ke dalam pondok ini walau hanya beberapa jam saja dan walau tidak sedang nyantri sepertinya di pondok krapyak ini.

Lamunan tentang krapyak mengingatkan ku banyak hal. Terutama sekali tentang Jogja. Dan saat setelah membaca buku "Jejak Guru Bangsa", seolah aku dihubungkan kembali akan pesona krapyak ini. Kemudian, aku juga menjadi ingat akan perjalananku ke Banjarnegara beberapa bulan lalu yang hanya menggunakan sepeda dengan sedikit rawatan ─bahkan oli rantainya kering dan beberapa bearing di poros depan dan belakang roda hanya tinggal beberapa biji. Saat melintasi kota Magelang, tepatnya pas di alun-alun kota Magelang, aku bertemu dengan dua orang santri putra yang ku kira umurnya baru sepuluh atau sebelas tahun. Menurut keterangan dua santri yang sedang kedinginan di bawah pohon beringin alun-alun, mereka baru akan naik di kelas lima dan enam saat tahun ajaran baru mendatang. Keduanya aku lupa namanya, hanya saja yang lebih tua bercerita kepadaku bahwa dia dari Wonosobo, dan sedang nyantri di pinggiran kota Magelang. Sementara yang lebih muda lagi dari Secang (sebuah kecamatan yang bertetanggaan denga kabupaten Magelang.

Selasa, 18 Agustus 2015

Tumbuh Generasi Baru 'Sang' Gadjah Mada


Mencintai Nusantara
Mencintai Anak-anak Nusanta
Mencintai Desa Nusantara
Mencintai Alam Nusantara
Mencintai Budaya Nusantara
Mencintai Keragaman Nusantara

Senyum mengembang
Keceriaan wajah cerah Nusantara
Jayalah, jayalah, jayalah kembali

Hela jangkarmu
Kembangkan layarmu
Mengembung penuh
Membelah ombak samudra
Singgahi Nusa-nusa
Rangkul Bangsa-bangsanya

Jumat, 08 Mei 2015

Cerita Tentang Obat Diskon


Beberapa waktu ini aku berkunjung ke sebuah apotek di depan kos. Apoteker dengan ramah menjamu ku dan menanyakan obat yang mau ku beli.

“Obat untuk demam, pilek, batuk dan tenggorokan sakit mbak” aku menjawab pertanyaan mbak apotekernya.

Diambilkan sebotol sirup ukuran sedang dan satu kaplet pil berbungkus silver. Merknya sama sekali tidak familiar untuk ku. Dan harganya pun lumayan, untuk kantong seorang tuna karya seperti ku ini.

Selasa, 05 Mei 2015

Sumbang Buku Yooo!


Usia sebuah buku bisa sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Usianya dapat melebihi usia rata-rata manusia sekarang. Jika dalam ratusan tahun buku-buku tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik atau bahkan dapat mengambangkan ilmu yang bermanfaat bagi maslahat banyak orang, semoga penulis, penerbit, distributor, pengarsip, pembeli yang kemudian merawat dan memberdayakannya mendapat kebaikannya yang dikehendaki Tuhan. Amiin.

SUCIKAN DESA: Pendampingan Desa oleh Siapa yang Hendak Bersuci



Indonesia adalah bagian dari desa saya. Begitu kata budayawan Emha Ainun Nadjib. Desa merupakan hal paling inti dari Indonesia. Tanpa desa-desa di Negeri ini, Indonesia tidak akan pernah ada. Ibarat sebuah keluarga, desa adalah ibu kandung Indonesia. Maka sudah selayaknya Indonesia dengan usia yang cukup dikatakan dewasa ini untuk mengabdi bagi ibu kandungnya.

Pendiri bangsa ini merupakan anak-anak desa. Mereka lahir dan dibesarkan dari rizki yang ditaburkan Tuhan melalui kesuburan tanah di desa-desa. Sudah sejak dahulu desa merupakan tempat yang suci —tidak mudah dicemari, dikotori dengan budaya-budaya asing yang negatif. Maka sering kali desa menjadi tempat rujukan tolok ukur kehidupan sosial. Jika sebuah desa saja kehidupan sosialnya sudah tidak harmonis dan rawan konflik, apa lagi yang di kota, apa lagi kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Maka tempat suci ini hendaknya menjadi ladang penyemaian benih-benih pemimpin masa depan. Namun demikian, lahan yang suci ini jika tidak dijaga dan dirawat kesuciannya juga kesuburannya, nilai-nilai desa yang terkandung dalam kesucian itu akan segera tergerus oleh derasnya arus informasi bahkan diramalkan akan banjir informasi yang akan menghanyutkan nilai-nilai luhur Desa kita. Nilai-nilai yang akan hanyut terbawa oleh derasnya arus informasi ini, merubah tatanan sekaligus kesucian dan kesuburan desa sebagai ladang persemaian para pemimpin masa depan.

Keberadaan desa-desa di Indonesia saat ini dipandang enteng oleh sebahagian besar putra-putri bangsa ini. Desa bagi meraka hanya dijadikan tempat untuk pulang, untuk melepas penat, untuk bermanja dengan ibu-bapak dan kakek-nenek, dan bentuk-bentuk kegiatan yang hanya bersifat menghibur dari kelelahan. Padahal Desa telah melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan dini bagi kita semua. Desa juga yang memberikan dukungan penuh terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Mana ada Desa yang menolak kenaikan BBM, mana ada Desa yang memprotes kenaikan harga sembako, mana ada Desa yang menentang kenaikan tarif dasar listrik. 

Kita sebagai putra-putri bangsa, terlena dengan ambisi pembangunan Nasional yang menjadi rebutan —pada ujungnya menjadi bahan konflik antar putra-putri bangsa. Maka tak jarang, jika generasi ini mudah untuk diprovokasi, mudah untuk dipecah-belah, mudah untuk dikotak-kotakkan dengan afiliasinya masing-masing. Pecah-belah cerai-berainya putra-putri bangsa ini kemudian menarik mereka yang ingin menguasai Nusantara untuk keperluan dan kepentingan pribadi, kelompok tertentu dan yang lebih jelas Desa-desa yang dikeruk rizkinya ini dirugikan secara materi, mental, juga budaya.

Maka dengan kerendahan hati, mari berkomitmen untuk mendampingi Desa-desa kita untuk mengukuhkan kesejatiannya sebagai tempat penyemai benih-benih pemimpin masa depan, pemimpin Bangsa, pemimpin dunia yang mendamaikan, menentramkan, mensejahterakan dan merangkul segenap isi dunia untuk bersama menikmati dan memelihara rahmat Tuhan ini. 

Beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncang Dunia, begitu kata sang proklamator. Maka pemuda adalah objek dari pemimpin masa depan itu sekarang ini. Pemuda penentu nasib kesucian Desa untuk masa yang akan datang. Apakah kesucian itu akan berevulusi menjadi rahmat untuk bangsa dan dunia atau justru akan lenyap menjadi bumerang penghancur bangsa dan dunia. Potensi yang terkandung dalam diri pemuda-pemudi desa menjadi harapan besar bagi kelangsungan rahmat yang dicita-citakan bangsa dan dunia. Namun jika hanya di pandang tanpa disentuh tanpa diolah, maka hanya tinggal harapan dalam bentuk cerita saja.

Bakat apapun dapat ditumbuhkan pada diri pemuda-pemudi desa, jika ada yang mendampingi. Mendengar pertanyaan mereka tentang apa saja yang bertubi-tubi dan tidak dapat dihitung lagi menunjukan mereka haus akan pengetahuan, haus akan ilmu, haus akan pengalaman dan kehausan-kehausan lain yang membuat meraka tidak dapat melihat dan berbuat apa-apa karena tiada pendampingan, bimbingan dan yang memberi petunjuk arah baginya. Sehingga mereka hanya bisa meraba-raba di tengah kegelapan yang oleh dunia luar disebut sebagai kebutaan. Kemudian dalam kebutaan itu mereka dimanfaatkan untuk berbagai hal tanpa mereka tahu dan sadari bahwa diri mereka tidak ikut merasakan hasil dari jerih payah meraba-raba di tengah kegelapan itu.

Kita perlu kembalikan bahwa desa adalah ladang ilmu, tempat menempa diri juga sumber ilmu itu sendiri. Desa itu suci, maka jika ilmu disemai kembali di tempat yang suci, maka akan tumbuh pohon dengan buah ilmu yang suci pula. Pembangunan gubuk-gubuk ilmu di desa perlu derealisasikan sejak dalam pikiran, sejak sekarang dan dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Gubuk sebagai tempat berkumpul membincangkan segala hal untuk memperoleh pengetahuan dan melahirkan ilmu perlu dirawat dan dipupuk dengan pendampingan dan bimbingan sepanjang masa. Agar senantiasa tumbuh sempurna hingga menuai buah dan menikmatinya pun wajib dalam pendampingan kita sebagai putra-putri bangsa yang telah terlebih dahulu terbebas dari penjara ketidak tahuan.

Seperti perumpamaan-perumpamaan di atas, pemuda desa sejatinya sama dengan para ilmuan dan ulama (ahli ilmu) hanya saja mereka tidak memiliki kesempatan seperti halnya para ilmuan dan ulama. Kondisi lingkungan mereka tidak menjadikan mereka membudayakan ilmu itu bagian dari kehidupannya. Ditambah lagi dengan tidak adanya fasilitas seperti sumber rujukan yang memudahkan ilmu itu dapat dipahami mereka. Mereka juga tidak memiliki tempat untuk bertanya tentang segala macam kegundahan, keraguan, kesamaran dan ketidak tahuan mereka dalam pertanyaan-pertanyaan yang mereka simpan dalam-dalam.

Perpustakaan, tempat berdiskusi dan pendampingan diperlukan di setiap desa bahkan di setiap RT (Rukun Tetangga). Hal ini tidak dapat dilakukan secara instan hanya melalui kebijakan pemerintah melalui kementrian-kementriannya. Hal ini dapat dilakukan jika desa (masyarakat) itu sendiri yang merasa membutuhkan semua fasilitas tersebut. Untuk itu diperlukan hidup bersama —mendampingi— masyarakat guna menumbuhkan rasa membutuhkan perpustakaan, tempat berdiskusi, dan fasilitas penunjang ilmu lainnya.

Secara teknis, proses pendampingan ini telah saya awali dengan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pemuda desa melalui diskusi dan kegiatan-kegiatan kesenian dan olah raga. Target saya selama masa studi jenjang magister nanti akan terbentuk sepuluh perpustakaan desa melalui pendampingan dari komunitas yang terbentuk dan terkumpul sepuluh seribu kitab dari hasil identifikasi yang dibutuhkan masyarakat di desa masing-masing.

Jika hanya sebatas konsep gagasan, maka semua ini ringan adanya. Namun fakta yang terjadi di masyarakat membuat konsep gagasan ini berat untuk terwujud di tengah kehidupam masyarakat desa. Dan ini adalah tantangannya. Kumpulan buku-buku berjumlah lebih dari seratus eksemplar dari berbagai jenis hasil koleksi pribadi saya telah dimanfaatkan oleh tetangga-tatangga di rumah orang tua saya yaitu Desa saya. Walau baru sedikit dan jangkauan yang terbatas pada tetangga-tetangga, namun seratus buku-buku koleksi pribadi yang saya kumpulkan dari keprihatinan selama masa studi pada jenjang sarjana ini adalah bentuk sederhana komitmen saya dengan cita-cita mengembalikan kesejatian Desa yaitu sebagai ladang ilmu.

Selasa, 28 April 2015

Cermin Diri Tentang Kemanusiaan



Dalam pengantar surat Cak Nun kepada Cak Dil yang telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib", Cak Nun menyiratkan tentang kemurnian manusia (kemanusiaan) yang saling-silang dengan perannya manusia di dunia ini melalui kisah seorang wali tiban yang hadir dalam sebuah pesta. Kurang lebih berikut ini ceritanya:
Cak Nurdin, seorang wali tiban di Jombang. Ia pernah hadir dalam suatu pesta desa. Saat tiba di depan pintu masuk, ia dihadang oleh dua petugas penjaga. Dengan tidak sopan Cak Nur diusir, karena pakaian yang ia kenakan tidak resmi. Cak Nur memang lebih sering berpenampilan dengan pakaian yang kurang senonoh (compang-camping), sehingga orang-orang menganggapnya gila.

Minggu, 26 April 2015

Curiga Pada Potongan Rambut

Sudah sejak kapan kaum laki-laki di Nusantara bergaya potongan rambut menjadi seperti sekarang ini. Rambut dipotong sebatas daun telinga, menampakkan leher belakang dan disisir membentuk suatu garis baik membelah rambut atau di bagian tepi kepala.

Sebenarnya tidak menjadi suatu masalah tentang bagaimana gaya rambut seseorang khususnya para kaum laki-laki itu dipotong atau disisir, asal terawat dan rapi. Melihat gambar-gambar para pahlawan yang masih menjaga peradaban Nusantara yang terpampang —kebanyakan di museum juga di dinding-dinding bangunan sekolah— kebanyakan memiliki rambut yang panjang dengan ikat kepala khas masing-masing daerah. Ambil

Kehidupan Srintil


Sungguh unik menghisap mbaqo-mbaqo kehidupan ini.
Saat tanggal tua, terhisap juga mbaqo srintil yang nyesak di dada dan nyegrak di tenggorokan.

Tapi, mbaqo srintil yang sengaja di tumbuhkan Tuhan di bumi Temanggung ini sungguh menjadi suatu nikmat tersendiri.
Di saat dunia memperebutkannya, justru diam-diam generasi tidak tau-menau ini malah mulai memusnahkannya. Saat tanggal muda, sengaja ia dilupakan. Mencari yang saat dihisap lebih halus, lebih ringan dan harganya tinggi.
Giliran tanggal tua tiba lagi, barulah merengek-rengek kepada mbah kakung untuk nempil mbaqo srintil alakadarnya. Tak jarang saat hisapan pertama, mendadak latah misuh'i mbaqo srintil seolah-olah hendak membuangnya dan menginjak-injaknya. Tapi perlahan terhisap juga, walau awalnya terbatuk-batuk, kemudian baru menyadari: "sing penting ngebul". Ada yang dengan sombongnya, terbaui asapnya seperti mencium sesuatu yang menjijikan —sungguh tak punya rasa terimakasih. Menjengkelkan lagi, ada yang diam-diam menjualnya dengan harga sangat murah, hanya ditukar dengan kembang gula warna-warni berpenyakit itu.

Sekarang aku tau, mengapa mbah-mbah dulu lebih suka 'nglinting' mbaqo srintil ketimbang menghisap yang ringan dan halus kesukaan muda-mudi itu. Dengan nyesak di dada, dengan nyegrak di tenggorokan, tapi mbah-mbah tidak pernah terbatuk-batuk apa lagi sampai latah misuh. Dengan ketenangannya, perlahan mbah-mbah menghisap srintil. Benar-benar dirasainya setiap milimeter hisapan srintil, mulai dari kegetirannya di ujung lidah menjalar berubah menjadi asam di tengah hingga berubah menjadi pahit di pangkal lidah. Kemudian menelusuri Tenggorokan sambil mengiris-perih dinding-dindingnya, lalu melayang menghantam pangkal kerongkongan hingga sesak dadanya. Mengendapkan sejenak, menikmati pudarnya sesak yang menghantam pangkal kerongkongan —sambil memikirkan apa saja yang terlintas olehnya— dan menghembuskannya kembali dengan lega.

Begitulah gambaran keuletan hidup mbah-mbah dulu. Tiada diderita rasa gertir, asam, pahit, teriris-perih, dan sesak yang menghantam dada itu. Justru yang dirasa adalah nikmat nikmat dan nikmat dari kegetiran, keasaman, kepahitan, keperihan, dan kesesakan dalam hidupnya hidupnya. Lebih uniknya dalam ke-sesak-annya itu mbah-mbah mengimajinasikan (mencita-citakan) banyak hal, juga memikirkan (merancang dan merencanakan) banyak hal. Baru kemudian menjalankannya dengan penuh kelegaan, keikhlasan, kepasrahan, dan menggantungkan segala yang terjadi atas kehendak Tuhan yang menumbuhkan mbaqo.


#‎Srintil‬ Temanggung.

Minggu, 29 Maret 2015

PENGGALAN "SURAT UNTUK LAKSMI"

Hati-hati mencari mawar
Karena mawar berduri
Hati-hati mencari pacar
Karena pacar bisa menyakiti hati


Pecundang. Apa arti atau makna dari kata itu. Tapi sungguh menusuk dalam hati. Terkadang menyayat tapi tak begitu perih. Hanya sebuah pertanyaan, apa maksudmu berkata seperti itu.

Aku hanya ingin melenyapkan rasa sakit yang semacam menusuk dalam. Maka hanya dua atau tiga kali ku baca surat balasanmu. Kemudian  ku lenyapkan dalam bara yang hampir padam di tungku dapur mbahku. Tungku yang mungkin baru saja untuk memasak air dalam dua jam sebelum aku pulang dari sekolah.

Tak sempat ku kenang selembar surat balasanmu. Seiring lenyapnya selembar kertas itu dalam rambatan bara yang mulai menjadi abu, hanya sebait pantun yang ku kenang entah sampai kapan.

Kaya Kemiskinan



Yogyakarta, 27 Maret 2015


Dalam miskin ada kekayaan
Jangan rendahkan miskin kami sebagai kemiskinan
Miskin kami adalah kaya atas kemiskinan
Bukan untuk mengemis kekayaan

Dalam lapar ada kekenyangan
Jangan rendahkan lapar kami sebagai kelaparan
Lapar kami adalah kenyang atas kelaparan
Bukan untuk merampas kekenyangan

Selasa, 17 Maret 2015

Pesona Krapyak (dalam catatanku yang tak indah)

Di Jogja ini ada sebuah tempat yang membuat ku berkali-kali ingin ke sana. Tiada bosan, walau hanya sekedar melintas, tak kenal panas, tak kenal hujan. Kalau sudah kepengen langsung berangkat. Taidak perduli bensin sudah di bawah garis merah.

Tempat itu bukanlah tempat wisata, bukan pula sebuah museum yang yang terkenal, Tapi tempat itu masih satu garis lurus dengan alun-alun selatan, kemudian Kraton dan alun-alun utara, kemudian titik nol Jogja, Jalan Malioboro, Tugu Jogja dan seterusnya Merapi. Tempat itu di sekitaran Kandang Rusa —termasuk bangunan tua, bangunan cagar budaya Jogja.

Biasanya aku berjalan dari arah RSUD Jogja melalui jalan Sisingamangaraja ke arah utara sampai jumpa masjid Al Irsyad menuju jalan Parangtritis melalaui jalan kecil, jalan Prawirotaman. Prawirotaman ini banyak berjajar kafe dan hotel yang ramai dikunjungi turis-turis mancanegara. Kapanpun melintainya selalu ada turis yang berjalan santai. Kadang seorang diri atau berpasangan. Jarang sekali yang berombongan.

Walau jalan ini tak begitu lebar dan tak begitu padat, tapi suasananya tak pernah sepi. Terlebih saat malam-malam akhir pekan atau hari-hari liburan, kafe penuh dengan pengunjung yang hampir semuanya turis mancanegara. Kebanyakan dari mereka adalah berambut pirang dan berkulit putih.

Aku berjalan tidak dengan buru-buru. Bukan karena menaati rambu lalulintas yang menganjurkan pelan untuk jalan kecil itu. Berjalan santai menikmati setiap yang terlintas. Mengagumi kafe-kafe sederhana yang ramai dan unik penuh dengan sentuhan seni budaya, juga turis-turis yang berjalan santai dengan bakaian sederhana.

Menembus jalan Prawirotaman dengan kecepatan rata-rata 20 Km/h. Secara stabil handle gas motor yang ku kendarai bejalan mengikuti kehendakku. Kemudian di ujungnya jalan Parangtritis menyambut dengan kepadatan kendaraan yang kontras dengan jalan Prawirotaman. Wajar saja, karena jalan Parangtritis lebih lebar dan memang akses jalan utama dari kota Jogja menuju pantai Parangtritis.

Menyebrangi jalan Parangtritis, kemudian melintasi jalan Tirtodipuran yang juga tidak padat. Suasananya hampir sama dengan jalan Prawirotaman,hanya saja para turisnya tidak terlalu ramai dan tidak juga banyak kafe dan hotel.

Nah, tetap dengan kecepatan yang konstan, 20 Km/h. Jalan Mayjen DI Panjaitan ramai kendaraan, tetapi tidak sepadat jalan Parangtritis. Soal lebar, hampir sama dengan Jalan Parangtritis. Klaupun lebih lebar, ya lebar jalan Parangtritis sedikit lah.

Dari gawangan jalan Tirtodipuran, kalau berbelok ke kanan atau ke utara itu menuju jalan MT Haryono. Dan jika terus lagi ke utara, itu alun-alun kidul. Seterusnya cari sendiri di Google Maps. hehehe

Aku ambil jalan ke kiri, ke arah selatan. Kalau sudah sampai di jalan DI Panjaitan, kecepatan berkendara ku deselarasi dari kecepatan 20 Km/h. Kira-kira, jika ketelitian Speedometer di sepeda motor yang ku kendarai itu tinggi, kecepatannya akan terukur 10 s.d 13 Km/h.

Ada suatu hipnotis dalam berkendara yang ku alami saat melintas jalan ini. Reflek saja langsung kuturunkan kecepatan.

Hampir sama saja dengan jalanan lain di kota Jogja ini. Ada barisan toko juga warung makan, warung klontong dan bertengger juga minimarket yang biasa ku sebut menjamur di mana-mana —dan banyak merebut pangsa pasar rakyat kecil.

Melaju perlahan, masih satu garis lurus, hanya di batasi dengan pertigaan, jalan DI Panjaitan berganti menjadi jalan Ali Maksum. Saat memasuki jalan ini, debaran jantungku berlawanan dengan rpm (rotation per minute) mesin motor yang ku kendarai. Jika rpm sepedamotor yang ku kendarai berkisar di putaran mesin stasioner (1.500 rpm), maka jika diumpamakan dengan mesin detak jangtungku sepuluh kali lipat dari putaran mesin stasioner.

Biasanya aku sengaja melintasi jalan ini pada waktu-waktu strategis. Antara jam 2 siang sampai jam 3 atau antara jam 4.30 sampai jam 6 sore.

Mulai memasuki jalan Ali Maksum, suasana damai dan teduh mulai terasa. Pada waktu-waktu yang ku sebut strategis tadi, jalan Ali Maksum ramai. Ramainya bukan ramai biasa. Dan Pastinya bukan ramai karena Turis.

Berjalan lurus, tanpa memperhatikan terlalu fokus ke arah depan. Lebih banyak ku perhatikan kanan dan kiri. Berjalan terus, sampai menjumpai bangunan tua di tengah jalan —lebih tepatnya jalanan itu yang melingkari bangunan tua. Namanya Kandagn Rusa, kata salah seorang teman ku.

Di kandang rusa ini aku tak melanjutkan jalan ke arah selatan. Mengelilingi kandang rusa, dan berbalik ke utara lagi. Masih tetap dengan kecepatan berkendara seperti sebelumnya.

Jalan Ali Maksum ramai dengan pedagang. Mulai dari pedagang dawet, angkringan, burjo, warung padang, warung soto, warung mie ayam dan bakso, warung pulsa, beberapa toko buku dan percetakan. Banyak juga pedagang kaki lima yang di pinggir jalan. Ada yang jualan syomai, sate, es kelapa muda, cireng, jus buah dan semua yang meberkahkan jalan ini.

Warung Burjo —bubur kacang ijo— menjadi pilihanku untuk duduk ngopi. Kadang juga Angkringan di samping sebuah ATM Bank ternama —yang jangkauannya sampai ke plosok-plosok.

Di warung Burjo atau di angkringan ini biasanya aku menemukan rasa yang aneh. Boleh jadi, aku hanya sekedar nongkrong —begitu anak muda menyebutnya. Tapi memang benar, di sana aku hanya duduk sambil ngopi, kadang sambil baca koran tapi lebih banyak memandang ke arah jalan dan para pedagang kaki lima yang ramai dikrumuni pembelinya.

''Mas, kopi kap*l a** special mix''. tanpa basa-basi langsung ku pesan kopi dan duduk tenang.

Warung burjo memang agak lengang untuk waktu-waktu antara jam dua sampai jam tiga sore. Lebih ramai di angkringan. Tapi aku memilih di warung burjo, yang tidak terlalu ramai.

Teman yang hanya berteman dengan telinga lebar ku, dengan penghlihatanku yang kadang buram karena terlalu lama tidak berkedip. Mereka itu yang tak pernah lebas dari sarung yang membelit dari pinggang sampai mata kakinya. Mereka yang berpakaian longgar dan berjilbab pantas. Tidak tua tidak muda, demikian yang ku lihat. Dan yang ku dengar pembicaraan-pembicaraan ringan penuh keceriaan tanpa beban.

Bagi mereka yang bersarung, lebih lama duduk untuk makan nasi orak-arik atau sekedar nasi kucing. Sedangkan yang berjilbab, mereka hanya berlalu-lalang. Sesekali berhenti agak lama, untuk menunggu racikan batagor atau syomai dari penjualnya.

Aku tidak begitu tau apa yang mereka fikirkan saat nongkrong di warung burjo atau angkringan. Hanya saja mereka tampak beristirahat dari lelah menyerap ilmu dari sang guru. Mereka berjalan begitu santai, dan kebanyakan mereka bergerolbol tiga sampai empat berjalan beriringan.

Jarang sekali melihat mereka berjalan pada watu-waktu strategis itu seorang diri. Dan kalaupun ada seorang mereka berjalan sendiri, sudah pasti mereka sedang terburu-buru.

Kontras sekali dengan para turis mancanegara itu, juga dengan ku. Aku juga selalu santai walau berjalan seorang diri. Terlebih saat melalui jalan Ali Maksum ini.

Hanyut terbawa arus mondar-mandir para kaum sarungan ini, pikiranku seolah tak mampu mengingat beban yang ada. Tiada terlintas tentang janji, tentang hutang, tentang kesejahteraan, tentang kehidupan yang akan datang. Semuanya terbawa oleh terompah para kaum sarungan yang hilir-mudik dan bersantai di warung-warung makan murah dan berkah.

Lamunanku tidak jelas, hanya candu kopi saja yang kemudian memberi sedikit warna di alam pikiranku saat duduk di burjo atau di angkringan. Semua lamunanku tersita hanya untuk lebih mengagumi dan mendambakan wajah-wajah teduh para kaum sarungan itu.

Kebanyakan dari mereka memang berumur lebih muda di bawahku, walau sebagian ada juga yang ku tebak seumuran dengan ku. Menyenangkan sekali bisa seperti mereka, wajah-wajah yang menggambarkan ilmu dan amal sholeh.

Saat mereka berjalan pun luwes, tidak terlalu menunduk, tapi penuh senda-gurau di wajah mereka. Saling menyapa sesama mereka. Dan senyum yang memancar tiada akan pernah habis. Bahkan aku tidak bisa membayangkan wajah-wajah mereka saat tanpa senyum.

#Krapyak_yang_teduh

Senin, 16 Maret 2015

Rembulan dan Negeri Malam


Rembulan
Cahayamu anggun teduh penuh kasih
Menyayangi gelapnya Negeri Malam

Rembulan
Kau malaikat itu
Memberi petunjuk dalam kegelapan

Rembulan
Tahukan kau
Bintang-bintang itu
Kerlap-kerlip menggodamu
Anggun menawan
Kau lah itu

Plengkung Gading, 16 Maret 2015
Adzan Subuh
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Kok kok kok
Ayam berkokok
Ku kira ia menggodamu juga
Oh tidak,
Ia tidak sedang menggodamu
Rupanya ia bersuluh berita tentangmu

Aku kebingunan
Apa gerangan bakal terjadi

Bintang-bintang itu tahu lebih dahulu
Mereka berangsur menghilang
Soalah tiada minat lagi padamu

Hai rembulan
Ada apa denganmu
Mengapa cahayamu meredup

Aku harus bagaimana
Aku harus ke mana
Mengapa akau semakin resah begini

Hai rembulan
Jawablah
Mengapa kau semakin pucat
Ayoh jawab bidadariku
Mengapa kau diam saja

Rembulan
Cahaya apakah itu
Itu, di sebelah timurmu
Mengapa ia lebih terang
Cahayamu mana bidadariku

Sekaratkah kau Rembulan
Begitukah tafsir kokokan ayam tadi
Dan siapa pula cahaya menyilaukan itu
Diakah yang membunuhmu?

Baiklah Rembulan
Kalau kau belum mati
Kau apakan negeri malam
Hingga begini jadinya

Kau jualkah cahaya teduhmu itu
Taklukkah kau pada cahaya menyilaukan itu
Apa yang telah ia janjikan padamu?
Apakah ia akan mengagungkanmu
Membawamu ke negeri lain.

Ah, itu bukan cahaya lagi
Itu sinar, itu sina, wahai Rembulan
Sungguh menyilaukan
Tak mampu aku menatapnya

Bisa hangus negeri malam ini olehnya
Itu yang kau mau rembulan.
Jika benar kau telah takluk
Kau serahkan Negeri Malam padanya
Baik, aku rela

Biar awan dan pepohonan ini yang akan melindungiku
Melindungiku dari terik sinarnya
Melindungiku dari silau cahayanya
Mungkin akan jadi arang aku dibuatnya
Mungkin juga ia akan membutakan penghlihatanku

Jikalau awan dan pepohonan tak berdaya
Biarkan aku jadi arang
Biarkan aku buta

Dengan arang
Aku akan mengukir namamu
Di manapun akau berada
Sampai  habis tubuhku

Dengan buta
Aku akan mengenangmu
Mengenang negeri malam
Mengenang keteduhan cahayamu
Menikmatimu dalam gelap
Dalam butaku ini.

Parangtritis, 16 Maret 2015
30o sudut Matahari timur dari hamparan pasir pantai selatan
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

(Yusup)