Jumat, 08 April 2016

Serpihan Randu Beterbangan untuk Laksmi

Laksmi, adakah kau tahu, telah berulang kali aku membunuh mu dari fikiranku. Bahkan aku sudah biasa memenggal lalau menyingkirkan identitas mu, namun karakter dan kisah mu begitu setia membayang-bayangi perjalananku. Setiap kali menghirup pundi-pundi kisah dan karakter mu untuk ku cerna menjadi setetes pelajaran, keping demi keping sambung-menyambung kembali utuh dan hidup seperti tertiup angin rawa rontek. Kau bangkit lalu dengan penuh gemulai mulai menari seperti biasa. Hingga aku tertegun sendiri di bawah pohon randu menahan rindu mengenang mu.

Kalau kau mengingatnya, saat-saat kemarau seperti ini lah yang sama-sama kita rindukan. Saat angin meniup buah randu lalu menerbangkan kapas-kapas putih di angkasa, begitupun dengan kita yang mulai gelisah menahan rindu lalu menerbangkan kertas-kertas putih pengobat rasah. Kau selalu merengek ingin sekali mengulang masa kecil. Dan cerita-cerita masa kecil kita selalu kau ulang dalam surat-surat mu. Walau begitu aku tak pernah bosan membacanya. Bahkan terkadang aku sudah bisa menebak isi surat mu, tapi selalu saja resah aku menunggu dan berdebar saat membukanya.

Kau begitu menyukai buah randu,  sampai-sampai kau ingin juga menjadi buah randu itu. Awalnya terdengar konyol memang. Dan sempat aku juga menertawakan mu. Malah aku mengejek mu dengan sebutan 'klenteng'(baca: biji kapuk). Saat itu kau menangis menagkup kedua tangan di wajah. Ku kira kau berpura-pura, yang membuat ku semakin jadi mengejek mu. Kau tiba-tiba lari saat aku tengah tertawa lepas. Memang Sekilas aku melihat air matamu menetes, namun aku tak mempedulikan. Begitu kau menghilang dari penglihatanku, baru aku mulai teemenung. Baru esok harinya aku meminta ma'af pada mu saat kau datang kembali di bawah pohon randu alas itu dengan wajah sembab.

Saat-saat haru itu yang membuat ku tak bosan membaca surat-surat mu. Dengan perlahan kau jelaskan padaku mengapa mau jadi randu.

"Randu itu dipanen saat kemarau, serpihan-serpihannya terbang tertiup angin menghiasi angkasa, tapi itu tidak terlalu penting. Aku ingin menjadi randu yang diolah tangan ibu ku sendiri menjadi kasur dan bantal bagi suami dan anak-anak ku untuk istirahat"

Laksmi, kalaupun kisah mu tak dapat ku tuliskan menjadi sebuah cerita yang nyata, setidaknya karaktermu telah memperkaya khasanah pergaulan ku. Karena setiap karsa dan cipta adalah spesial, tiada tersia-siakan hadir mu. Seperti yang sama-sama kita pahami Tuhan tidak bekerja secara kapitalis. Karen tiada Ia menciptakan sesuatu melainkan setiap ciptaan-NYA memiliki spesifikasi yang berdeda-beda dan tersendiri. Demikian kisah sekaligus karakter mu menjadi pelajaran bagi ku.

***

0 Komentar:

Posting Komentar