Jumat, 29 Desember 2017

Awan Madu, Membiusku



Awan Madu, Membiusku

Awan-awan berarak itu
pada suatu musim yang dulu
datang memberi kabar pilu
merasuk menjadi duri dalam kalbu

dari air, memutih disuntik beku
membius seonggok daging ini
mati rasa, warna dan aroma madu
menjadi batu dibalut lumut sepi

gantungkan senyum pagi, menatap mentari
menyerap, menyengat, menguap bersama kabut
terbang melayang, menggumpalkan awan-awan
diarak sendiri, menanti kabar dengan bersambut

tusukan, dalam dada 
yang semerbak bertabur bunga
renum menebar awan madu
membiusku

Mayoe
Lawu, 29 Desember 2017

Bunga Karang Lawu



Bunga Karang Lawu

Dengan pandang Lawu, dulu aku
pernah patah, bunga di karang
putih awan-awan kapas seperti batu
berarak, aliran sungai hingga pantai panjang

Dan malam-malam beku yang gundah
dipeluk dingin, berselimut kabut
di kaki lembah-lembah yang tabah
menekuri puncak, menciumi lutut

sekuntum bunga, semi kembali di atas batu
karang yang keras dilanda bagai musim
rekah, merah alam di bibir yang bisu
menggodaku, dengan desis dan lengking

menabuh gendang, suara dari balik dada
menggema dipantulkan tebing-tebing curam
dengan sudut gelap menyusun ruang hampa
udara sepi dan tajam datang menikam

Mayoe
Lawu, 29 Desember 2017

Sabtu, 23 Desember 2017

Batu Gunung, Sepiku



Batu Gunung, Sepiku

Duhai kekasih dan hidupku
di sini teronggok berpeluk gelap yang beku
membelit, udara selimut kawat menancap penuh paku
menusuk-nusuk semakin dalam, semakin gerakku
meringkuk menyusut menjadi batu
di puncak gunung sepiku. 

Kabut basah, badai berbagai arah
memukul, menampar dengan tangan dingin
menyemai bibit-bibit air dengan bertengadah wajah
berbintik-bintik mengundang nafas kasih, tiupkan angin

sepoi, menyapu lirih tetesan bulir-bulir perih
dari ujung bulu-bulu lumut yang tumbuh
di tepi kelopak mataku, memutih
udara beku, menggigit rapuh

Mayoe
Sumbing, 19 Desember 2017

Senin, 18 Desember 2017

Tengah Perjalanan 171217



Tengah Perjalanan 171217

Ini puncak telah taklukan 
merbabu, aku padamu 
ini pundak berserah, pelukan 
udara menjadi pakaianmu

Kala hawamu menggerah atau membeku 
ada 'ku tersisa, terperangkap menemani 
menyerap hawa panas dari didihan keringatmu 
atau meniup bekumu dari gigitan mulut pori

Ini diri taklukan sepi 
dalam riuh rendahku bersajak-sajak 
perdu, di jalan setapak puisi 
digilas tapak-tapak kakimu, berjejak-jejak

Ini langkah, jauh menuju rumah 
dari arah punggung sendiri 
seolah berbalik untuk pulang beristirah 
tapi langkah, tetap pada wajah yang berseri-seri

Mayoe 
Yogyakarta, 17 Desember 2017

Sabtu, 16 Desember 2017

Lindu Rinduku



Lindu Rinduku

Dulu waktuku kecil saat ada lindu, setelahnya kucari-cari di pohon dadapwaru. Kukira jejaknya ada di sana. Karena saat lindu terjadi, ia menggoncang-goncang pohon dadapwaru itu. Hingga akarnya turut berguncang dan merambat menggetarkan tanah. Sampailah pada rumahku dan pohon-pohon lain juga berguncangan. 

Dulu sekali waktu aku dilanda rindu, setelahnya kucari-cari dekapan mesramu. Kukira obatnya ada di sana. Karena saat rindu terjadi, ia menggoncang-goncang seluruh tubuhku. Hingga akar rambutku seperti mau lepas, bergetar dan jatuh ke tanah. Sampailah pada kepalaku dan anggota tubuh lain juga meriang. 

Sekarang gempa datang dengan sekala richter tinggi dan berpotensi tsunami. Maunya mungkin lekas bergerak menyelamatkan diri. Tapi karena panik, tak tahu mau berbuat apa. Hanya lari ke sana ke mari, lantas cidera yang terjadi. 

Sekarang hampa datang dengan magnetudo tinggi dan berpotensi hati sunyi. Maunya mungkin lekas beranjak memelukmu sendiri. Tapi karena panik, tak tahu harus berbuat apa. Hanya lari ke sana ke mari, lantas derita yang kujumpai. 

Mayoe
Yogyakarta, Desember 2017

Jumat, 15 Desember 2017

Haji Merbabu



Mungkin pernah terdengar, dari kicau burung atau desir angin, tentang haji Merbabu. Barangkali aneh dan akan mendapat fatwa sesat dari para penyandang daun telinga berpagar tinggi. Dan sesuatu lelucon saja bagi yang mengukur puncak dengan ketinggian daratannya.

Puncak, haji sendiri secara tersurat justru ditunaikan di daratan rendah yang dikepung bukit-bukit pasir. Dan mengapa Merbabu juga berkaitan dengan haji. Adakah mitos yang tak tentu juntrungnya saja? Mungkin perlu pengkaji budaya aliran kepercayaan lokal. Tapi setidaknya aku sendiri sempat bertanya, mengapa bernama Merbabu.

Sepanjang mendaki dan menuruni kucari-cari. Memang saat di Puncak sempat terfikir, bahwa jika aku Merbabu, maka kuserahkan diri menjadi budak. Terserah tuan akan diapakan. Dibelenggunya, dimerdekakannya, atau selamanya menjadi budak, kuserahkan kepada yang kumerbabui.

Babu atau Budak, dan halusnya sebut saja Abdi adalah puncak penaklukan diri terhadap segala cakrawala kebebasan, kemerdekaan, kemandirian dan segala hal pelampauan. Merbabu, Membudak, Mengabdi adalah laku pemuncakan diri atas segala hal yang mampu dikuasainya.

Barangkali banyak sepelenya dari pengertian ini, lupakanlah. Karena Merbabu adalah laku sunyi berintim dengan alam. Tak akan tahu satu sama lain walau pendaki berjuta-juta seperti para penaik haji ke tanah suci. Bergerombol dengan seragam, pakaian kebesaran masing-masing. Mengibarkan bendera berwajah kebanggaan masing-masing.

Untukmu yang terpanggil, Merbabullah bersama badai, hujan, angin, siul-siulan burung, nyanyian serangga, dingginnya malam, tegakknya punggung bukit-bukit, dirikanlah dengan tunduknya embun di ujung daun-daun rerumputan di padang sabananya. Hiruplah dalam-dalam udara pengunci nyawa hidup, sedekah dari hijaunya para maalaikat penjaga.

Sesekali awan fatamorgana akan muncul diantara puncak triangulasi dan Kenteng songo. Berlarilah kecil-kecil, jangan bertanya untuk apa, karena diantaranya ada satu mata air yang tak terjumpai sepanjang pendakian. Ia mengalirkan air kesegaran satu koma lima liter per tiga menitnya.

Jagalah puncak haji, sebagaimana keintimanmu yang polos, jujur dan penuh kerahasiaan.

Mayoe
Merbabu, Desember 2017

Kamis, 14 Desember 2017

Menatap Awanmu



Menatap Awanmu

Dari wajah barat merapi, kumenatap
sepagi itu. Berjajar bukit, membujur
dari kaki sumbing, ke pantai selatan
langkah mataku, melintang ketatkan 
sabuk di pinggang yang menopang 
lengkung, mendukung bongkah cerita
di punggung menciumi bukit, menoreh 
kecupan-kecupan kabut kepada wajah
tanah hingga basah. Menuntut pagut
di puncak badai dingin semalaman. 

Di puncak baru saja reda dari badai
semalaman mengamuk kuasa temu
yang tak sanggup kulayani sendiri
kurobohkan diri di bawah kenangmu. 

Aku tertidur lelap memeluk hangat
kenangmu membawa mimpi baru
tentang bunga-bunga indah terawat
jemari kasih sayang yang mengakar biru. 

Kicau burung memanggil sepoi angin
pagi, menyingkap kabut dari kaki lembah
'ku berdiri mewajah, pada putih selimut dingin 
yang masih membalut kotamu dengan basah

bulir-bulir embun yang menggantung di ujung 
bulu matamu. Menunggu jatuh silaunya mentari
dari balik merapi, merekahkan kelopak terkuntum
beku. Biarkan uap membawanya pada awan tinggi

Mayoe
Yogyakarta, Desember 2017

Rabu, 13 Desember 2017

Wajah Kenangan



Wajah Kenangan

Kenangan di wajah tenang
dan di baliknya bergejolak tak tentu
seperti badai arus air laut yang menggiling
berpusar menyerap berbagai yang terapung
atau tertulis dengan dingin puncak gunung
yang membekukan setiap kulit dan sendi
tapi membakar mengupas lapisan wajah
pedih dan panas merontokan ketombe
bagai abu terbangkan salju
dari puncak rindu

Mayoe
Yogyakarta, Desember 2017

Rabu, 06 Desember 2017

Di Kaki Bukit Kerinduan



Di Kaki Bukit Kerinduan 

Bagaimana akan kupertahankan kerinduan ini. Terlebih lagi mendaki ke puncak. Sementara baru sampai kaki-kaki bukit saja sudah dibuat menggigil dan hampir beku. Itu pun telah kutawar dengan menghisap kehangatan candu yang mengepulkan bayangmu. Barangkali kerinduanku tergantung di awan-awan itu, untuk sementara bertahan dari putih hingga menghitam pada ketinggian puncak takdirnya. Turun bersama kabut atau menjadi hujan dari genggaman malaikatnya. 

Betapapun, aku tetap melangkah. Walau malam, kabut yang rendah, udara yang basah, terperangkap beku menusuk gendang telinga, dengan suara-suara halus di kanan-kiri mengusik. Langkah demi langkah, perlahan nafas demi nafas, berjalan mendaki, punggung yang tegak berdukung, segungung-gunung beku kerinduanku. Melebat, jatuhkan gerai rambutku dengan basah di bahu. 

Dan aku berharap: sepoi angin hangat datang dari lautan Kasihsayangmu, mengirai rinduku yang basah, sehelai demi sehelai, dan menyelusup lalui bahu mencari beku atau sekedar dingin yang menggigil ini.

Mayoe 
Magelang, 6 Desember 2017