Kamis, 17 November 2016

Rindu Puisi Puasaku

https://youtu.be/AHk7CX0kQXA

"Wahai dunia
Aku mencintai gemerlap kemewahanmu
Aku mencintai laut darat kehangatan dan kesejukanmu
Tapi aku bukan pengantinmu
Dan kau bukan pengantinku"

Ini tanggal 17. Mestinya aku berjalan beberapa jauh untuk datang ke-kasih-an. Karena rindu puisi dan puasa, hanya mampu ku toreh dari ujungpandang.

Film Rayya ini
Rindu Puisi sekaligus Puasa
Seperti semilirnya angin yang dingin
Seperti embun yang menggantung
Di ujung pagi

Rindu selalu memberi jarak
Puisi pun berjarak
Puasa bertahan pada jarak
Jauh dalam ke dasar jiwa
Mencari cahaya

Kamis, 10 November 2016

Yang Menjadikannya, Menyebutnya Kiai Siapa?

"Sing ngarani aku Kiai sopo, sing nyebut-nyebut aku Kiai sopo, sing ngangkat-ngangkat aku dadi Kiai sopo? Sak karep mu! Aku nuntut ngelmu amergo nggugu dawuhe Kanjeng Nabi. Aku nularke, nurunke ilmu sing ana ning aku amergo ilmu iki dudu duwen ku. Ilmu duwene Pengerane (Gusti Alloh). Saru lek aku dagangan ngelmu. Isin kalihan Gusti sing Kaguman ngelmu. Ugo aku nduweni kewajiban nularake ilmu sing wus ana ning aku. Mung ya kudu ngati-ati, tansah nyuwun pitulung Gusti. Pitulungan mboten kesasar ugo mboten nyasaraken lian perkarane nyiaraken ngelmune Gusti kang Moho Kaweruh. Nyuwun Welas'e Gusti kang Moho Welas."

Petikan bicang bersama Pak Lik pada Senin, 7 November 2016 lalu.

Aku ngobrol santai di rumah Pak Lik. Temu kangen dari kedatanganku sore hari sebelumnya. Sedikit cerita, Pak Lik ku ini pernah nyantri di Jember pada masa mudanya. Dan memang mbah Kakung membekali anak-anaknya dengan pendidikan Pesantren. Terlebih anak laki-laki.

Suatu hari mbah Kakung mengirim surat untuk Pak Lik yang sedang di Pondok Pesantren. Dalam suratnya Mbah Kakung mengajukan sebuah permintaan yang mengandung harapannya untuk Pak Lik. Mbah meminta Pak Lik untuk belajar baik-baik di Pesantren. Sehingga setelah tiba waktunya nanti menjadi Kiai. Harapan yang semua orang tua inginkan.

Pak lik dengan sederhana dan kehalusannya membalas surat Mbah Kakung yang ia sangat sayangi dan cintai. Pak Lik berterimakasih atas nasihat dan harapan yang mbah Kakung sampaikan. Ia akan belajar dan hormat kepada gurunya. Namun dengan berat, Pak Lik menangguhkan untuk jadi apa nanati. Artinya harapan mbah Kakung tak bisa menjadi pegangan bagi Pak Lik. Ia hanya pasrah atas usaha yang sudah dilakukannya. Soal jadi apa tak menjadi kepentingan baginya. Menyerahkan kepada Gusti akan menjadikan apa ia atas usaha-usaha dan doa-doanya.

Selama di Pesantren Pak Lik lebih banyak belajar langsung dengan gurunya di sawah, ladang, pasar, jalan-jalan, dan apapun di sekitarnya. Lingkaran majelis ilmu ia ikuti untuk menyerap ilmu-ilmu hukum. Hingga sekarang walau sudah tidak di Pondok Pesantren, Pak Lik masih merasa menjadi santri. Banyak guru-gurunya bersembunyi diantara botol-botol plastik pulungan. Berkeliaran seperti pengemis. Ada lagi gurunya diantara para buruh tani. Sampai petapa penjaga gunung, danau, sungai sampai pantai. Dan tetap konsisten, akan jadi apa, ia pasrah kepada Gusti atas usaha dan doanya. Dalam sekala rasional atau irasional. Pasrah.

Pak Lik sama sekali tidak memiliki profesi tetap. Namun kecukupanny selalu ia syukuri. Sehingga tak ada kekurangan atau kefakiran yang ia rasakan. Mungkin ini merupakan aplikasi ilmu pasrah itu. Tidak menggantungkan pada ketetapan sebuah profesi. Hanya satu tempat Pak Lik menggantungkan segalanya: Gusti Alloh kang Moho Agung.

Berbagai pekerjaan ia geluti mulai dari masa mudanya hingga sudah memiliki dua buah hati yang kini sudah beranjak remaja. Di mana himpitan kebutuhan keluarga dituntut oleh zaman. Pak Lik tidak bisa mengelak dari tuntutan itu. Bagaimanapun kehidupan Pak Lik dan keluarga adalah bagian dari kehidupan sosial masyarakat. Maka kebutuhannya pun tak terlepass dari umumnya masyarakat. Namun sekali lagi Pak Lik tetap konsisten, tidak menjaminkan kebutuhannya pada sebuah profesi tetap. Kasarnya, Pak Lik bekerja serabutan. Ia tak memiliki jaminan pensiun, tidak juga memiliki jaminan asuransi apapun. Bahkan ia sama sekali tidak berharap jaminan dari Negara tempatnya bernaung. Satu saja ia percaya, yakin dan bersaksi bahwa ada yang menjamin atas penciptaan dirinya beserta tanggungjawab dalam kehidupannya: Gusti kang Kholik.


Buruh tani, pekerja proyek jalan raya, petani kecil, kuli bangunan, penjaga kebun binatang, penjual pentol dan pekerjaan buruh lainnya pernah digelutinya. Pekerjaan apapun ia lakukan untuk mencukupi kebutuhan keluarga kecilnya. Terkadang rumahnya ramai didatangi orang untuk berobat, padahal Pak Lik bukan dokter apalagi dukun. Kadang juga didatangi seorang yang dirudung masalah rumahtangga, menghadapi perceraian, ingin rujuk, keluarga harmonis, anak rewel, anak bebal, dan berbagai masalah keluarga lain. Padahal Pak Lik bukan seorang psikolog apalagi bersertifikat. Ada juga caleg atau para pengusung kepentingan politik datang sekedar meminta air dengan sedikit bacaan-bacaan yang menguatkan mental menambah percaya diri untuk maju mengusung visi misinya. Para petani yang meminta arahan musim tanam, mengelola produksi, sampai manajeman lahan mengadu dan berdiskusi padanya. Padahal ia bukan seorang insinyur pertanian apalagi penyuluh dari dinas pertanian. Para pedagang berdiskusi strategi pemasaran, manajeman produk, pemanfaatan modal kecil sampai bagaimana menahan arus modal besar riuh kecil dibisikan di bawah atap rumahnya. Lagi-lagi padahal ia bukan ahli ekonomi makro ataupun mikro. Kadang juga ada pengunjungnya datang membawa penyakit kanker atau penyakit berat lainnya yang dianggap hasil kiriman orang berupa tenung, klenik, santet, dan berbagai istilah perdukunan mistis mengadu mengeluh minta penyembuhan. Pak Lik bukan juga dukun santet atau pemuja aliran-aliran mistis yang memberi sesaji pada para perewangnya. Kalaupun ada perewangnya, itu bukan kemauannya. Mereka datang untuk berbhakti dan hormat pada manusia yang Gusti Alloh menitipkan ilmu dan sedikit derajat padanya. Dan kalaupun ia membakar kemenyan, menabur bunga di atas air, atau apapun yang biasa dipersepsikan sebagai sesaji pemujaan, Pak Lik lakukan semata-mata untuk bersedekah kepada sesama makhluk ciptaaNYA. Lebih tinggi daripada itu, semata bentuk tanggungjawab karena sudah diikuti dan dihormati.

Di rumahnya tidak ada barang-barang pusaka yang mencolok. Semuanya biasa saja layaknya masyarakat buruh tani di sekitarnya. Bahkan televisi yang menjadi sebagian besar hiburan masyarakat di kampungnya, hanya teronggok tak berfungsi di ruang keluarga."Sudah satu bulan televisi tidak hidup, anak-anak dan isteriku santai gak ribut, juga tidak mbela-mbelain nonton tempat tetangga". Seloroh Pak Lik sambil menggulung lintingan tembakau pres hitam dari Temanggung dengan taburan cuilan kemenyan. Entah bagaimana sambung menyambung perbincangan itu sampai juga ia menyinggung acara demonstrasi yang dilakukan sebagian umat Islam di Jakarta pada 4 November lalu. Ia prihatin dengan umat yang mudah mengangkat dan menjatuhkan lebel-lebel yang mereka buat sendiri. Kapan mereka suka dan sesuai dengan naluri nafsunya, lekas diberinya lebel tertentu. Kapan mereka tidak suka dan tidak sesuai naluri nafsunya, ya sudah lekas mereka copot lebel sebelumnya. Masih mendingan jika hanya dicopot lebel sebelumnya. Lebel lain yang sesuai dengan nurani nafsunya segera dihujamkan, teriakan, koar-koarkan, siarkan, debatkan, tertawakan, laknatkan, dan tak cukup hanya itu. Kutukan yang kesejatiannya hak milik Gusti Alloh pun dipakainya memberi lebel dari penghakimannya sendiri.

Kutipan pernyataan dalam pembukaan di atas ku dapat dari persinggungan Pak Lik terhadap fenomena mudahnya pelebelan dilakukan sekarang ini. "Tak perlu jauh", kata Pak Lik "di sekitar kampung sini saja. Aku nggak pernah ingin menjadi ini menjadi itu. Atau hanya sekedar sebutan ini sebutan itu. Babarblas ora pengen, nggak pengen".

Tapi mereka tanpa minta ijin, menyebut Kiai, memanggil Kiai, orang pintar, dituakan, Ulama, dan banyak lagi. Pak Lik hanya bisa melakukan yang bisa dilakukan. Dan itu pun selalu ia meminta maaf dan minta ridlonya Gusti Alloh. Tapi begitu permintaan mereka gak terturuti gak kabul atau kabul dalam bentuk lain yang gak sesuai harapan mereka lantas mereka mencari jalur alternatif lain. Dimas Mansur, eh Kanjeng, tempat hijrah paling mulus bahkan disarankan hijrah melalui youtube tanpa bufering. Baik digandakan melalui MLM sodaqoh atau jualan sodaqoh yang begitu cepat melipatgandakan rejeki. Dalam hanya beberapa bulan sudah bisa beli rumah, mobil, bahkan pesawat. Atau biar ndak terkesan terlalu matrialis, ya ikut paket umroh atau haji plus bareng ustadz atau kiai dengan penawaran diskon atau promo tertentu. Kalau sudah pulang dari tanah suci, telunjuknya ngacung-ngacung: sesat, kafir, laknatullah, terkutuk, penista; kepada siapa saja yang tak sependapat dengannya, tak sealiran bisnis dengannya, mengancam merusak jaringan MLM bisnis sodaqohnya, dan pokoknya yang tak berpihak mendukung atau setidaknya tidak dapat dimanfaatkannya.

Asap tebal terhembus ke udara dari hisapan lintingan tembakau Pak Lik.

Seperti yang Pak Lik katakan, ia tak ingin jadi apa dan disebut apa. Namun banyak yang menjadikannya dan menyebutnya apapun tanpa ijin darinya, tanpa memberitahunya terlebih dahulu, boro-boro berdiskusi dahulu. Gusti Alloh nyuwun agunge pangapunten. Ngapunten lan nyuwun ridlo Panjenengan kagem Pak Lik duh Gusti.

Kamis, 20 Oktober 2016

Soal Tempe

Ba'da Isya aku berjalan keluar kos untuk mencari makan. Rencananya ke warung Burjo atau Angkringan. Dalam kondisi apapun tempat makan favorit ku adalah dua tempat itu.

"Kalau di warung Burjo terlalu rame (umpel-umpelan), ke Angkringan saja", batin ku.

Aku berjalan santai sambil senyam-senyum menyapa beberapa bapak ibu juru parkir di trotoar. Kendaraan cukup ramai berseliweran dari selatan ke utara dan sebaliknya. Di seberang jalan ada deretan PKL (Pedagang Kaki Lima) ramai. Deretan itu cukup menarik perhatian ku. Terutama gerobak yang bertuliskan "Mendoan Demit: Tempe mu tak seenak tempe ku".

"Lah, Demit?" Batin ku. Apa aku masuk ke dalam cerita Wasripin. Tapi seting tempat Wasripin kan di Pantai Utara Jawa. Ini Yogya. Tapi mungkin saja. Barangkali di gerobak Mendoan Demit itu ada foto Wasripin atau Satinah. Seperti yang dilakukan nelayan-nelayan pantai utara sana mereka memasang foto Wasripin untuk Azimat. Atau foto Satinah yang yang begitu mempesona dengan rupa dan suaranya.

Urung niat ku untuk ke salah satu dari dua tempat yang kurencanakan. Aku menyeberang dan menghampirinya.

"Pintenan bu?" Tanyaku pada penjual mendoan.
"Selembar tiga ribu mas"

Ku lihat lembaran tempe yang belum digoreng cukup lebar.

"Kaleh nggih bu." Pesan ku pada ibu penjual.
"Mau dipotong nopo mboten mas?"
"Nggih dipotong bu."

Satu lembar tempe dipotong sama besar menjadi empat bagian. Dengan tepung dan bumbu khasnya tempe digoreng. Sementara aku jelalatan ke sana ke mari mencari foto Wasripin dan Satinah. Tidak ku temukan. Bahkan foto artis atau artis politik, artis ustadz, artis ulama pun tak ada.

"Didamel kering mas?" Suara ibu penjual mengembalikan fokusku pada tempe mendoan.
"Lha mendoan mosok kering bu, dados keripik mangkeh bu." Jawab ku sambil bergurau.

Tak lama tempe mendoan sudah diangkat dari belangannya. Delapan potong mendoan dimasukan ke kantong plastik yang sudah dialasi daun pisang. Tak ketinggalan rontokan tepung dalam belangan juga ikut dimasukan. Bersama sambal kecapnya Mendoan Demit ku bawa pulang. Rasanya aneh kalau makan mendoan kok tidak ada kopi. Rencana ke warung Burjo ku lanjutkan. Bukan untuk beli makan, tapi beli kopi.

Hari ini aku hanya kenyang dengan tempe. Pagi sampai siang aku beli tempe juga cukup banyak. Walau bukan mendoan, tapi hampir mirip. Ku beli dari Warung Burjo. Memang lebih tipis dari mendoan dan lebih kecil ukuran tempenya. Tapi tepungnya cukup tebal dan agak alot saat dimakan. Dan menjadi salah satu sajian tempe yang ku suka. Apalagi dimakan sambil ngopi. Aduh lupa daratan sudah.

Soal tempe, mau dibuat apa saja selalu enak untuk dimakan. Dan aku adalah penggemar tempe sejati. Hahahaha. Tempe adalah makanan hari-hari ku dari masih bersekolah di TK. Jaman TK aku sudah doyan makan cabe ijo. Tentu sama tempe. Sepulang sekolah tempat makan ku di bawah pohon cabe. Kadang Mbah ku lupa menyediakan cabe karena kehabisan atau karena memang disengaja supaya aku tidak terlalu banyak makan cabe. Makanya sampai sekarang sama pedes itu paling doyan. Sama dengan tempe.

Di Yogya ini aku begitu dimanjakan dengan tempe. Berbagai rasa dan harga pernah ku coba. Dan seberapapun besar kecilnya, tempe yang digoreng terlalu kering dan tipis pula itu aku gak begitu nafsu. Kecuali kalau sudah tidak ada yang lain. Dan tidak tau kenapa, tempe selalu enak dan cocok di lidah ku saat bertemu kopi. Sama dengan asap tembakau yang ketemu kopi. Gambarannya seperti sepasang kekasih yang sekian puluh tahun menahan rindu dan dalam waktu keputus asahan akan rindu mereka dipertemukan. Begitulah saat tempe dan kopi bertemu di lidah, begitu juga asap tembakau dengan kopi.

Jadi kopi itu semacam laki-laki yang berpoligami. Dalam dunia ku Kopi kadang berpasangan dengan tempe dan kadang pula dengan asap tembakau. Kalau pas rezekinya, mereka bertiga kumpul bareng dan akur. Dalam dunia orang peminum kopi yang lain mungkin beda. Seperti pada beberapa toko buku online dalam lingkaran Indibook Yogya selalu menampilkan selogan: Aku, Kopi dan Buku. Sudah beda lagi. Maka kalau aku buka toko buku online selogannya: Tempe, Kopi dan Asap tembakau. Nanti dari calon pembeli akan bertanya, "jadi yang dijual buku, asap atau tembakau?" Kemudian akan ku jawab "Sak karep ku, aku sing nduwe tokone kok".

Salam Anak Tempe.
"Tempe mu tak seenak Tempe ku" Mendoan Demit, Jl. Monjali, Blunyah Gede, Mlati, Sleman, DIY.

Selasa, 04 Oktober 2016

Kasih-sayang Yogya

Yogyakarta setiap sudut kotanya adalah rindu.

Rindu pada siapa?

Pada suasana.

Suasana seperti apa? Setiap waktunya yogya berubah.

Ada kenangan di yogya.

Kenangan atau sejarah?

Keduanya tak terpisahkan.

Jadi kenangan dan sejarah itu sepasang kekasih? Dan mereka berdua menciptakan ruang kerinduan?

Mendekati seperti itu.

Tapi keduanya tak terpisahkan! Kenapa ada ruang rindu? Apakah mereka sempat berpisah, sehingga ada jarak untuk rindu bersemayam?

Buktinya orang-orang yang pernah tinggal dan datang ke Yogya selalu ingin kembali.

Hanya orang?

Kalau ada yang selain orang, mungkin saja.

Binatang juga rindu Yogya?

Kulit kacang, ampas kopi, irisan tembakau saja rindu.

Mereka punya kenangan dan sejarah juga?

Setetes air sebutir debu pun punya.

Memangnya apa itu kenangan, apa itu sejarah. Apa hubungannya dengan rindu dan Yogya?

Kenangan itu sesuatu yang tak mungkin dijangkau kembali. Sehingga ia membentuk ruang rindu. Dan sejarah adalah kenangan yang melibatkan banyak pihak. Ada yang merindu, membenci, memuja, melawan, memberontak, mengelu-elukan, mensia-siakan, menginjak-injak dan banyak me- lain.

Lantas perbedaan kenangan dan sejarah, bagaimana?

Kenangan itu perempuan, sejarah itu laki-laki.

Jadi benar mereka sepasang kekasih?

Mereka saling melengkapi.

Dulu mereka di yogya?

Sampai sekarang.

Dan tak pernah pergi ke mana-mana, hanya di Yogya saja?

Seyogyanya di setiap tempat ada.

Hanya setiap tempat, tidak setiap waktu?

Setiap tempat dan setiap waktu.

Tempat dan waktu itu sepasang kekasih yang lain lagi?

Semacam itu.

Mereka sering kencan bareng kenangan dan sejarah?

Ya, mereka selalu bersama.

Di Yogya juga?

Seyogyanya di setiap yogya dibuat.

Memang yang membuat Yogya siapa?

Yogya dan seyogyanya dibuat sepasang kekasih.

Kok banyak pasangan kasih-kekasih. Yogya dan seyogyanya pasangan kekasih juga?

Arah-arahnya ke sana.

Ke mana?

Kekasih.

Kekasih itu apa?

'Ke' itu bergerak/berjalan menuju sesuatu, 'kasih' itu memberi.

Maksudnya berjalan untuk memberi atau berjalan sambil memberi, yang mana?

Keduanya termasuk.

Apa kasih memiliki kekasih?

Tentu.

Siapa?

Sayang.

Sayang itu kekasihnya kasih?

Kasih-sayang begitu kiranya.

Yang laki-laki mana, yang perempuan mana?

Kasih itu laki-laki dan sayang perempuan.

Sebagai laki-laki kasih tentu memberi, lantas sayang menerima begitu?

Boleh juga seperti itu. Sayang lebih banyak memelihara, merawat, mengasuh.

Jadi seyogyanya laki-laki memberi, dan seyogyanya perempuan memelihara merawat mengasuh?

Arah-arahnya mendekati.

Mendekati apa lagi?

Pengasih dan penyayang.

Siapanya kasih-sayang?

Semacam jarak yang membentuk ruang rindu.

Mereka terpisah?

Hanya mandiri. Namun selalu menyertai dan mengiringi.

Maksudnya kalau pengasih datang terlebih dahulu, penyayang buru-buru datang menyusul?

Dan sebaliknya. Semacam gejolak rindu yang bernafsu bertemu di ruang rindu.

Jumat, 08 April 2016

Serpihan Randu Beterbangan untuk Laksmi

Laksmi, adakah kau tahu, telah berulang kali aku membunuh mu dari fikiranku. Bahkan aku sudah biasa memenggal lalau menyingkirkan identitas mu, namun karakter dan kisah mu begitu setia membayang-bayangi perjalananku. Setiap kali menghirup pundi-pundi kisah dan karakter mu untuk ku cerna menjadi setetes pelajaran, keping demi keping sambung-menyambung kembali utuh dan hidup seperti tertiup angin rawa rontek. Kau bangkit lalu dengan penuh gemulai mulai menari seperti biasa. Hingga aku tertegun sendiri di bawah pohon randu menahan rindu mengenang mu.

Kalau kau mengingatnya, saat-saat kemarau seperti ini lah yang sama-sama kita rindukan. Saat angin meniup buah randu lalu menerbangkan kapas-kapas putih di angkasa, begitupun dengan kita yang mulai gelisah menahan rindu lalu menerbangkan kertas-kertas putih pengobat rasah. Kau selalu merengek ingin sekali mengulang masa kecil. Dan cerita-cerita masa kecil kita selalu kau ulang dalam surat-surat mu. Walau begitu aku tak pernah bosan membacanya. Bahkan terkadang aku sudah bisa menebak isi surat mu, tapi selalu saja resah aku menunggu dan berdebar saat membukanya.

Kau begitu menyukai buah randu,  sampai-sampai kau ingin juga menjadi buah randu itu. Awalnya terdengar konyol memang. Dan sempat aku juga menertawakan mu. Malah aku mengejek mu dengan sebutan 'klenteng'(baca: biji kapuk). Saat itu kau menangis menagkup kedua tangan di wajah. Ku kira kau berpura-pura, yang membuat ku semakin jadi mengejek mu. Kau tiba-tiba lari saat aku tengah tertawa lepas. Memang Sekilas aku melihat air matamu menetes, namun aku tak mempedulikan. Begitu kau menghilang dari penglihatanku, baru aku mulai teemenung. Baru esok harinya aku meminta ma'af pada mu saat kau datang kembali di bawah pohon randu alas itu dengan wajah sembab.

Saat-saat haru itu yang membuat ku tak bosan membaca surat-surat mu. Dengan perlahan kau jelaskan padaku mengapa mau jadi randu.

"Randu itu dipanen saat kemarau, serpihan-serpihannya terbang tertiup angin menghiasi angkasa, tapi itu tidak terlalu penting. Aku ingin menjadi randu yang diolah tangan ibu ku sendiri menjadi kasur dan bantal bagi suami dan anak-anak ku untuk istirahat"

Laksmi, kalaupun kisah mu tak dapat ku tuliskan menjadi sebuah cerita yang nyata, setidaknya karaktermu telah memperkaya khasanah pergaulan ku. Karena setiap karsa dan cipta adalah spesial, tiada tersia-siakan hadir mu. Seperti yang sama-sama kita pahami Tuhan tidak bekerja secara kapitalis. Karen tiada Ia menciptakan sesuatu melainkan setiap ciptaan-NYA memiliki spesifikasi yang berdeda-beda dan tersendiri. Demikian kisah sekaligus karakter mu menjadi pelajaran bagi ku.

***