Selasa, 28 April 2015

Cermin Diri Tentang Kemanusiaan



Dalam pengantar surat Cak Nun kepada Cak Dil yang telah diterbitkan dalam bentuk buku berjudul "Dari Pojok Sejarah: Renungan Perjalanan Emha Ainun Nadjib", Cak Nun menyiratkan tentang kemurnian manusia (kemanusiaan) yang saling-silang dengan perannya manusia di dunia ini melalui kisah seorang wali tiban yang hadir dalam sebuah pesta. Kurang lebih berikut ini ceritanya:
Cak Nurdin, seorang wali tiban di Jombang. Ia pernah hadir dalam suatu pesta desa. Saat tiba di depan pintu masuk, ia dihadang oleh dua petugas penjaga. Dengan tidak sopan Cak Nur diusir, karena pakaian yang ia kenakan tidak resmi. Cak Nur memang lebih sering berpenampilan dengan pakaian yang kurang senonoh (compang-camping), sehingga orang-orang menganggapnya gila.

Minggu, 26 April 2015

Curiga Pada Potongan Rambut

Sudah sejak kapan kaum laki-laki di Nusantara bergaya potongan rambut menjadi seperti sekarang ini. Rambut dipotong sebatas daun telinga, menampakkan leher belakang dan disisir membentuk suatu garis baik membelah rambut atau di bagian tepi kepala.

Sebenarnya tidak menjadi suatu masalah tentang bagaimana gaya rambut seseorang khususnya para kaum laki-laki itu dipotong atau disisir, asal terawat dan rapi. Melihat gambar-gambar para pahlawan yang masih menjaga peradaban Nusantara yang terpampang —kebanyakan di museum juga di dinding-dinding bangunan sekolah— kebanyakan memiliki rambut yang panjang dengan ikat kepala khas masing-masing daerah. Ambil

Kehidupan Srintil


Sungguh unik menghisap mbaqo-mbaqo kehidupan ini.
Saat tanggal tua, terhisap juga mbaqo srintil yang nyesak di dada dan nyegrak di tenggorokan.

Tapi, mbaqo srintil yang sengaja di tumbuhkan Tuhan di bumi Temanggung ini sungguh menjadi suatu nikmat tersendiri.
Di saat dunia memperebutkannya, justru diam-diam generasi tidak tau-menau ini malah mulai memusnahkannya. Saat tanggal muda, sengaja ia dilupakan. Mencari yang saat dihisap lebih halus, lebih ringan dan harganya tinggi.
Giliran tanggal tua tiba lagi, barulah merengek-rengek kepada mbah kakung untuk nempil mbaqo srintil alakadarnya. Tak jarang saat hisapan pertama, mendadak latah misuh'i mbaqo srintil seolah-olah hendak membuangnya dan menginjak-injaknya. Tapi perlahan terhisap juga, walau awalnya terbatuk-batuk, kemudian baru menyadari: "sing penting ngebul". Ada yang dengan sombongnya, terbaui asapnya seperti mencium sesuatu yang menjijikan —sungguh tak punya rasa terimakasih. Menjengkelkan lagi, ada yang diam-diam menjualnya dengan harga sangat murah, hanya ditukar dengan kembang gula warna-warni berpenyakit itu.

Sekarang aku tau, mengapa mbah-mbah dulu lebih suka 'nglinting' mbaqo srintil ketimbang menghisap yang ringan dan halus kesukaan muda-mudi itu. Dengan nyesak di dada, dengan nyegrak di tenggorokan, tapi mbah-mbah tidak pernah terbatuk-batuk apa lagi sampai latah misuh. Dengan ketenangannya, perlahan mbah-mbah menghisap srintil. Benar-benar dirasainya setiap milimeter hisapan srintil, mulai dari kegetirannya di ujung lidah menjalar berubah menjadi asam di tengah hingga berubah menjadi pahit di pangkal lidah. Kemudian menelusuri Tenggorokan sambil mengiris-perih dinding-dindingnya, lalu melayang menghantam pangkal kerongkongan hingga sesak dadanya. Mengendapkan sejenak, menikmati pudarnya sesak yang menghantam pangkal kerongkongan —sambil memikirkan apa saja yang terlintas olehnya— dan menghembuskannya kembali dengan lega.

Begitulah gambaran keuletan hidup mbah-mbah dulu. Tiada diderita rasa gertir, asam, pahit, teriris-perih, dan sesak yang menghantam dada itu. Justru yang dirasa adalah nikmat nikmat dan nikmat dari kegetiran, keasaman, kepahitan, keperihan, dan kesesakan dalam hidupnya hidupnya. Lebih uniknya dalam ke-sesak-annya itu mbah-mbah mengimajinasikan (mencita-citakan) banyak hal, juga memikirkan (merancang dan merencanakan) banyak hal. Baru kemudian menjalankannya dengan penuh kelegaan, keikhlasan, kepasrahan, dan menggantungkan segala yang terjadi atas kehendak Tuhan yang menumbuhkan mbaqo.


#‎Srintil‬ Temanggung.