Jumat, 29 Desember 2017

Awan Madu, Membiusku



Awan Madu, Membiusku

Awan-awan berarak itu
pada suatu musim yang dulu
datang memberi kabar pilu
merasuk menjadi duri dalam kalbu

dari air, memutih disuntik beku
membius seonggok daging ini
mati rasa, warna dan aroma madu
menjadi batu dibalut lumut sepi

gantungkan senyum pagi, menatap mentari
menyerap, menyengat, menguap bersama kabut
terbang melayang, menggumpalkan awan-awan
diarak sendiri, menanti kabar dengan bersambut

tusukan, dalam dada 
yang semerbak bertabur bunga
renum menebar awan madu
membiusku

Mayoe
Lawu, 29 Desember 2017

Bunga Karang Lawu



Bunga Karang Lawu

Dengan pandang Lawu, dulu aku
pernah patah, bunga di karang
putih awan-awan kapas seperti batu
berarak, aliran sungai hingga pantai panjang

Dan malam-malam beku yang gundah
dipeluk dingin, berselimut kabut
di kaki lembah-lembah yang tabah
menekuri puncak, menciumi lutut

sekuntum bunga, semi kembali di atas batu
karang yang keras dilanda bagai musim
rekah, merah alam di bibir yang bisu
menggodaku, dengan desis dan lengking

menabuh gendang, suara dari balik dada
menggema dipantulkan tebing-tebing curam
dengan sudut gelap menyusun ruang hampa
udara sepi dan tajam datang menikam

Mayoe
Lawu, 29 Desember 2017

Sabtu, 23 Desember 2017

Batu Gunung, Sepiku



Batu Gunung, Sepiku

Duhai kekasih dan hidupku
di sini teronggok berpeluk gelap yang beku
membelit, udara selimut kawat menancap penuh paku
menusuk-nusuk semakin dalam, semakin gerakku
meringkuk menyusut menjadi batu
di puncak gunung sepiku. 

Kabut basah, badai berbagai arah
memukul, menampar dengan tangan dingin
menyemai bibit-bibit air dengan bertengadah wajah
berbintik-bintik mengundang nafas kasih, tiupkan angin

sepoi, menyapu lirih tetesan bulir-bulir perih
dari ujung bulu-bulu lumut yang tumbuh
di tepi kelopak mataku, memutih
udara beku, menggigit rapuh

Mayoe
Sumbing, 19 Desember 2017

Senin, 18 Desember 2017

Tengah Perjalanan 171217



Tengah Perjalanan 171217

Ini puncak telah taklukan 
merbabu, aku padamu 
ini pundak berserah, pelukan 
udara menjadi pakaianmu

Kala hawamu menggerah atau membeku 
ada 'ku tersisa, terperangkap menemani 
menyerap hawa panas dari didihan keringatmu 
atau meniup bekumu dari gigitan mulut pori

Ini diri taklukan sepi 
dalam riuh rendahku bersajak-sajak 
perdu, di jalan setapak puisi 
digilas tapak-tapak kakimu, berjejak-jejak

Ini langkah, jauh menuju rumah 
dari arah punggung sendiri 
seolah berbalik untuk pulang beristirah 
tapi langkah, tetap pada wajah yang berseri-seri

Mayoe 
Yogyakarta, 17 Desember 2017

Sabtu, 16 Desember 2017

Lindu Rinduku



Lindu Rinduku

Dulu waktuku kecil saat ada lindu, setelahnya kucari-cari di pohon dadapwaru. Kukira jejaknya ada di sana. Karena saat lindu terjadi, ia menggoncang-goncang pohon dadapwaru itu. Hingga akarnya turut berguncang dan merambat menggetarkan tanah. Sampailah pada rumahku dan pohon-pohon lain juga berguncangan. 

Dulu sekali waktu aku dilanda rindu, setelahnya kucari-cari dekapan mesramu. Kukira obatnya ada di sana. Karena saat rindu terjadi, ia menggoncang-goncang seluruh tubuhku. Hingga akar rambutku seperti mau lepas, bergetar dan jatuh ke tanah. Sampailah pada kepalaku dan anggota tubuh lain juga meriang. 

Sekarang gempa datang dengan sekala richter tinggi dan berpotensi tsunami. Maunya mungkin lekas bergerak menyelamatkan diri. Tapi karena panik, tak tahu mau berbuat apa. Hanya lari ke sana ke mari, lantas cidera yang terjadi. 

Sekarang hampa datang dengan magnetudo tinggi dan berpotensi hati sunyi. Maunya mungkin lekas beranjak memelukmu sendiri. Tapi karena panik, tak tahu harus berbuat apa. Hanya lari ke sana ke mari, lantas derita yang kujumpai. 

Mayoe
Yogyakarta, Desember 2017

Jumat, 15 Desember 2017

Haji Merbabu



Mungkin pernah terdengar, dari kicau burung atau desir angin, tentang haji Merbabu. Barangkali aneh dan akan mendapat fatwa sesat dari para penyandang daun telinga berpagar tinggi. Dan sesuatu lelucon saja bagi yang mengukur puncak dengan ketinggian daratannya.

Puncak, haji sendiri secara tersurat justru ditunaikan di daratan rendah yang dikepung bukit-bukit pasir. Dan mengapa Merbabu juga berkaitan dengan haji. Adakah mitos yang tak tentu juntrungnya saja? Mungkin perlu pengkaji budaya aliran kepercayaan lokal. Tapi setidaknya aku sendiri sempat bertanya, mengapa bernama Merbabu.

Sepanjang mendaki dan menuruni kucari-cari. Memang saat di Puncak sempat terfikir, bahwa jika aku Merbabu, maka kuserahkan diri menjadi budak. Terserah tuan akan diapakan. Dibelenggunya, dimerdekakannya, atau selamanya menjadi budak, kuserahkan kepada yang kumerbabui.

Babu atau Budak, dan halusnya sebut saja Abdi adalah puncak penaklukan diri terhadap segala cakrawala kebebasan, kemerdekaan, kemandirian dan segala hal pelampauan. Merbabu, Membudak, Mengabdi adalah laku pemuncakan diri atas segala hal yang mampu dikuasainya.

Barangkali banyak sepelenya dari pengertian ini, lupakanlah. Karena Merbabu adalah laku sunyi berintim dengan alam. Tak akan tahu satu sama lain walau pendaki berjuta-juta seperti para penaik haji ke tanah suci. Bergerombol dengan seragam, pakaian kebesaran masing-masing. Mengibarkan bendera berwajah kebanggaan masing-masing.

Untukmu yang terpanggil, Merbabullah bersama badai, hujan, angin, siul-siulan burung, nyanyian serangga, dingginnya malam, tegakknya punggung bukit-bukit, dirikanlah dengan tunduknya embun di ujung daun-daun rerumputan di padang sabananya. Hiruplah dalam-dalam udara pengunci nyawa hidup, sedekah dari hijaunya para maalaikat penjaga.

Sesekali awan fatamorgana akan muncul diantara puncak triangulasi dan Kenteng songo. Berlarilah kecil-kecil, jangan bertanya untuk apa, karena diantaranya ada satu mata air yang tak terjumpai sepanjang pendakian. Ia mengalirkan air kesegaran satu koma lima liter per tiga menitnya.

Jagalah puncak haji, sebagaimana keintimanmu yang polos, jujur dan penuh kerahasiaan.

Mayoe
Merbabu, Desember 2017

Kamis, 14 Desember 2017

Menatap Awanmu



Menatap Awanmu

Dari wajah barat merapi, kumenatap
sepagi itu. Berjajar bukit, membujur
dari kaki sumbing, ke pantai selatan
langkah mataku, melintang ketatkan 
sabuk di pinggang yang menopang 
lengkung, mendukung bongkah cerita
di punggung menciumi bukit, menoreh 
kecupan-kecupan kabut kepada wajah
tanah hingga basah. Menuntut pagut
di puncak badai dingin semalaman. 

Di puncak baru saja reda dari badai
semalaman mengamuk kuasa temu
yang tak sanggup kulayani sendiri
kurobohkan diri di bawah kenangmu. 

Aku tertidur lelap memeluk hangat
kenangmu membawa mimpi baru
tentang bunga-bunga indah terawat
jemari kasih sayang yang mengakar biru. 

Kicau burung memanggil sepoi angin
pagi, menyingkap kabut dari kaki lembah
'ku berdiri mewajah, pada putih selimut dingin 
yang masih membalut kotamu dengan basah

bulir-bulir embun yang menggantung di ujung 
bulu matamu. Menunggu jatuh silaunya mentari
dari balik merapi, merekahkan kelopak terkuntum
beku. Biarkan uap membawanya pada awan tinggi

Mayoe
Yogyakarta, Desember 2017

Rabu, 13 Desember 2017

Wajah Kenangan



Wajah Kenangan

Kenangan di wajah tenang
dan di baliknya bergejolak tak tentu
seperti badai arus air laut yang menggiling
berpusar menyerap berbagai yang terapung
atau tertulis dengan dingin puncak gunung
yang membekukan setiap kulit dan sendi
tapi membakar mengupas lapisan wajah
pedih dan panas merontokan ketombe
bagai abu terbangkan salju
dari puncak rindu

Mayoe
Yogyakarta, Desember 2017

Rabu, 06 Desember 2017

Di Kaki Bukit Kerinduan



Di Kaki Bukit Kerinduan 

Bagaimana akan kupertahankan kerinduan ini. Terlebih lagi mendaki ke puncak. Sementara baru sampai kaki-kaki bukit saja sudah dibuat menggigil dan hampir beku. Itu pun telah kutawar dengan menghisap kehangatan candu yang mengepulkan bayangmu. Barangkali kerinduanku tergantung di awan-awan itu, untuk sementara bertahan dari putih hingga menghitam pada ketinggian puncak takdirnya. Turun bersama kabut atau menjadi hujan dari genggaman malaikatnya. 

Betapapun, aku tetap melangkah. Walau malam, kabut yang rendah, udara yang basah, terperangkap beku menusuk gendang telinga, dengan suara-suara halus di kanan-kiri mengusik. Langkah demi langkah, perlahan nafas demi nafas, berjalan mendaki, punggung yang tegak berdukung, segungung-gunung beku kerinduanku. Melebat, jatuhkan gerai rambutku dengan basah di bahu. 

Dan aku berharap: sepoi angin hangat datang dari lautan Kasihsayangmu, mengirai rinduku yang basah, sehelai demi sehelai, dan menyelusup lalui bahu mencari beku atau sekedar dingin yang menggigil ini.

Mayoe 
Magelang, 6 Desember 2017

Selasa, 28 November 2017

Kuis Hadiah Maulid


Kuis Hadiah Maulid
Siang tadi Yu Kalis Mardiasih kirim pesan lewat WA. Memintaku untuk mengikuti kuisnya di FB. Langsung meluncur ke beranda Fbnya. Setelah terbaca habis, ku iyakan tawarannya. Mulai dari situ aku bingung, “Opo sing meh tak tulis.” Apa lagi tentang guru, ngaji pula. Kalau yang soal guru agama di sekolah, sama sekali tak menjadi hirauan. Sambil membaca berulang status kuis FB Yu Kalis Mardiasih, kok yang tertangkap masih saja ditekankan tetang ‘Guru’. “Gak ono sing lain tah!” Kesel juga dibuatnya berfikir. Belum lagi melihat buntut pertanyaan berikutnya: kesan, nasihat (konyol lagi!), sosok, sowan, pengaruh, hidup, dan sementara. Sedangkan definisi guru yang benar saja, belum dapat ku mengerti apalagi terpahami.
Karena pesan WA yang langsung merujuk ke status FB mu Yu, aku jadi inget simbah―ku kandung―pernah menyampaikan sesuatu. Kata simbahku, “Ko, bocah Setu Wage, wulan Besar, dina kepitu. Bocah lola, yatim ora duwe guru. Ko Santrine, Ko gurune. Ngelmumu seka jero atimu dewek. Arep teka ngendi baen Ko garep meguru, nyantri ora bakal ketemu ngelmu apa-apa. Kejaba Ko dewek sing mbukak ngelmune seka atimu. Banjur nganti teka ning laku uripmu.” Simbah menutup nasihat itu dengan komat-kamit membaca Shalawat Nabi SAW. Aku hanya melongo. Sambil dalam hati “Mugi syafaat saking shalawat sing diwaos simbah, netes teng lambe kulo sing nduwer lan mlongo niki, duh Gusti.
Sekarang aku bertanya, Yu Kalis―tuan atas kuis ini. Masihkah aku masuk kategori untuk mengikuti kuis mu ini? Jika guruku tak terhitung. Terlebih yang hidup dan menghidupkan Maulid, Nuzulul Quran, Isra dan Mi'raj, Hijrah, Satu Muharram, Karbala, Idul Adha de el el itu. Tak terhingga lagi yang menghela dan hembuskan nafas hidupnya dengan Shalawat-shalawat Nabi. Panjang ataupun pendek, mereka gantunggkan di tali syafaat Nabi kekasih Alloh itu. Putus tali itu, putuslah nafasnya. Maka hidup―yang katamu sementara ini―bagi mereka adalah gantung-gemantung penuh kewaspadaan belaka. Bukan waspada pada hal lain, tapi pada nafas mereka sendiri. Kalau-kalau putus dari tali syafaat.
Tali yang kata simbahku, “Sayfaat kue, taline lembut ora karuan. Kaya dene rambut sak ler disigar pitu. Sak sigare kue sing dadi galengan sawah kanggo awake dewek nyabrang marang kersane Gusti.
Jadi Yu; guruku belum sempat kuketahui, selain daripada sampainya takdir yang diutus Gusti Alloh menemani hidup―yang katamu sementara ini. Ia (takdir) menemani hidup dengan penuh rahmatNYA. Dan Ia duduk persis di samping Rosululloh SAW. Hingga dengannya sampailah rahmat bagi alam semesta. Dan terang, cakrawala bagi mata kita yang lebih sering gelap memandang sesuatunya.
Guru yang belum sempat kuketahui itu, tidak sekedar mengerti, paham, mencontohkan, membimbing, menemani, memberi dukungan dan dorongan. Tapi juga menguasai penuh atas diri. Bahkan perlu sekali mengharuskan diri untuk mengabdi. Tak peduli diakui atau tidak, diterima atau tidak. Diri harus gila dan semabuk-mabuknya berupaya mengabdi. Dan tak ada jalan yang lebih baik, selain daripada yang pernah dilakukan seumur hidup oleh seorang yatim sejak dalam kandungan, lalu menjadi piatu saat usianya baru lepas balita. Keyatim-piatuannya itulah salah satu mata pelajaran dari ilmu yang diberi gurunya langsung saat hatinya mulai dibuka dengan kesucian.
Shollu 'alan nabi, Yu.

Mayoe

Yogyakarta, November 2017

Gorengan Bunga-bunga Manis Itu

Gorengan Bunga-bunga Manis Itu

Sepiring, kau suguhi aku; beberapa mendoan, bakwan dan pisang goreng itu. Lantas kau: kok cuma mendoan sama bakwan aja mas. Aku sudah memastikan, pisang itu rasanya tidak berbeda dengan mendoan dan bakwan. Dan kau: beda mas, itu aku sendiri yang goreng. Justru karena itu, kataku. Manisnya seketika layu sejak kau berfikir jamuan untukku. Sambil kulirik sudut matamu: kau rampas semua manis dari sari bunga-bunga hingga cita buah-buahan, juga dengan pisang goreng itu. Mas! Katamu menyipu kemerahan pipi. Dan: sepanjang jalan bunga di taman dan tepi-tepi jalannya, sekarang tumpah di rekah senyummu yang bersipu itu.


Mayoe, November 2017

Biji-biji Sepi

Biji-biji Sepi


Kau tahu, bagaimana kopi merajut sepi? Dirosting dengan bara api kerinduan, menguapkan kandungan cinta yang berlebihan. Kering, dan menghitam serupa arang tanpa pernah membara. Hingga benar-benar renyah ditumbuk, kehalusan bisu menyimpan serbuk kenangan dalam toples-toples memori yang berbaris. Sesendok takar diolah dengan berbagai cara, seduh, didih, uap, suling menjadi cairan hitam kemerahan kaya rasa. Dituang dari hati, menggenang di cangkir. Menguapkan aroma dan rasa yang membangkitkan syaraf-syaraf kenangan dalam ketenangan berfikir. 

Lantas bangkit gairah, membuka mata menembus kehitaman permukaan cangkir yang sedang hangat mengepul. Sesesap hukum bernouli membawa fluida hitam panas melalui padang rasa yang mengecap-kecapkan setiap partikel kenangan. Dan membubung ke angkasa bersama awan-awan koloidal yang memancarkan seberkas mentari diantara sisa hujan yang tak tuntas. Menari, melompat ke sana ke mari, mencari susunan pelangi. Dengan tinta di genggaman penanya, merangkai susunan warna dengan kata yang tak pernah sampai di udara. 

Sore ini, bersama sisa hujan, kurangkai biji-biji sepi yang hitam tanpa pernah membara ke dalam cangkir kenangan. Tak ada suatu harapan, selain dari legam ketenangan dalam dada. Hangatnya mencairkan dingin buah fikir, lalu menguap bersama aroma dan rasa. Menjadikannya warna-warni di langit malam, menguwung rembulan dengan cerah wajahmu. 

Selasa, 21 November 2017

Kramas Rindu

Kramas Rindu

Kau perempuan, tahu bagaimana masalah yang dihadapi memanjangkan rambut. Gatal-gatal, mudah patah, rontok, kusut dan bau. Itu karena, lama tak dikramas dengan sampo dan dirapikan dengan conditioner. Kau biarkan begitu, serupalah kau dengan orang gila.

Juga aku, lelaki seorang ini, tau bagaimana masalah yang dihadapi memanjangkan rindu. Gatal-gatal, mudah patah, rontok, kusut dan bau. Itu karena, lama tak dikramas dengan kabar dan dirapikan dengan pertemuan. Ku biarkan begitu, serupalah aku dengan orang gila.


Mayoe, 2017

Sudah Minum Kopi Kan? Sini Kubisiki Kau

Sudah minum kopi kan? Sini ku bisiki kau:

Tahu kau, mengapa lelaki hobi sekali potong rambut. Ada yang tiga Bulan sekali, dua bulan sekali, sebulan, dua minggu, bahkan ada yang hanya hitungan hari saja sudah gatal mau potong lagi. Rambut itu daya tahan. Boleh dikata; kesetiaan. Atau lebih syar'i lagi; ialah puasa. Dalam semua itu butuh dan memang merupakan komitmen, kekuatan, pengorbanan juga kesabaran. Bukan main-main pula, semua itu bertujuan. Pasti atau tidak pasti, jelas atau tidak, mengerti atau sama sekali, juga paham atau kekeliruan saja. Dan satu lagi, walau tak sepenuhnya mesti: tentang rindu, atau memang ialah kerinduan. Jadi, lelaki memang hobi bahkan sekali, ingin segera memotong rindunya, kerinduannya. Walau setelahnya banyak juga yang menggerutu, sampai menyesali; kependekan lah, potongannya kurang pas lah, modelnya gak sesuai lah. Lalu ingin lekas panjang lagi dengan kemudian ingin segera momotongnya lagi. Terus begitu, berkali-kali dan telah mentradisi jaman ini.

Lain hal dengan perempuan. Daya tahan, kesetiaan, dan betah berpuasa adalah rambut kepalanya sendiri. Mahkotanya, yang dirawat dengan teliti. Disisir setiap hari, dikramasi, sampai diberi nutrisi. Memang, ini hanya untuk perempuan yang masih menggunakan naluri. Bukan hanyut dibawa tradisi apalagi modernisasi yang belum tentu diketahuinya pasti. Apa lagi yang sejati. Tapi di kedalaman hati, walau kecil sekali, masih lah ada itu naluri. Juga tentang kerinduannya, yang entah teruntuk siapa. Tentu dipeliharanya sedemikian teliti.

Dan aku sendiri, tak terlalu mengerti dengan panjang rambut ini. Jelasnya, belum ada keinginan untuk memotong, terlebih menggunduli. Masih senang tergerai panjang seperti ini. Mungkin juga dengan rindu ini. Masih senang tergerai dikirai sepoi angin. Angin yang entah bertiup dari mana. Barat atau Timur, Utara atau Selatan atau justru dari mata arah pengira hati. Dengan diam-diam menelusup dan berbisik: rindukan aku pagi petang, siang malam yang panjang. Hingga kau memohon-mohon kasih sayang. Dan aku datang dengan berlarian berlipat-lipat panjang, hingga kau mabuk biji kepayang.


Mayoe,  2017

Kopiku

Kopiku

Sore ini ku seduh dua cangkir kopi. Satu cangkir untukku, dan satu cangkir lagi untukku. Satu cangkir dengan kopi kapal api dan sedikit gula. Satunya lagi dengan kopi kapal api dan sedikit gula. Satu cangkir dengan air mendidih. Satu cangkir lagi dengan air mendidih. Satu belangan dan sekali dalam rebusan.

Ku saji dengan dua potong sagu. Supaya kau tau, berlipat kumerindu. Dan beberapa biji buah kenari. Supaya kau mengerti berhari-hari kuberlari mencari.

Sepotong kertas buram dan sebuah pena hitam. Itu untuk menuliskan kisahku yang temaram dan hampir dibenam kelam.


Mayoe, 2017

Dengarkan Ceritaku

Dengarkan Ceritaku

Di pelosok desa Halmahera sana, signal hp itu susahnya minta ampun. Untuk sekedar memberi dan mencari kabar sanak keluarga di Jawa saja, butuh banget perjuangan ekstra. Perlu naik perahu. Mendayung dengan penerangan senter di kepala. Jangan dipikir air lautnya tenang, seperti danau-danau buatan di Jawa. Walaupun tak terlalu besar, tapi tidak bisa dibilang kecil. Dan aku Jawa, gunung pula. Tak biasa dengan laut, apalagi akrab dengan perahu. Pokoknya butuh cinta dan tenaga. Karena signal hanya ada di titik-titik dan waktu-waktu tertentu saja. Gak setiap tempat dan saat ada. Gak sama lah dengan di Jawa. Signal selalu ada dan penuh sampai ke pelosok desa.

Sekarang aku sudah di Jawa. Tapi kenapa untuk memberi dan mencari kabarmu masih susah juga. Padahal hanya ingin memberi kabar. Kopiku belum lagi habis. Tapi sudah dingin, bersama dengan senyummu. Hilang hangatnya. Mungkin dihisap waktu, atau juga lainnya.

Dan ingin juga kucari kabar. Masih tentang senyum. Apa masih bisa kau hangatkan kembali. Gak usah ditambah, juga hangatnya. Cukup sampai hangat sediakala. Di bibir yang mudah rekah, menjatuhkan senyum ke dalam cangkir kopiku. Rasa dan hangatnya pas. Tidak kurang atau lebih.

Karena saraf-saraf rasa ku sudah mendesak dan menuntut candumu. Jika ku sesap juga yang telah dingin ini dan menelannya begitu, sesampainya di dada,dinginnya menusuk-nusuk. Membuat rasa nyeri yang menjalar sampai kepala. Dan jalarannya itu, meninggalkan perih yang membilur.

Mayoe, 2017

Mungkin, Secangkir Cinta

Mungkin, Secangkir Cinta

Kau ini jahat. Membuatku mabuk hebat dan selama ini. Secangkir kopi tubruk yang kau suguhkan, itu lah biangnya. Menyeduh kopi dengan air mendidih, tak mengapa. Aku pun sudah biasa. Tapi senyum di bibirmu, mengapa kau biarkan jatuh menggulai secangkir kopi itu. Baru sesapan pertama, sudah langsung membuatku berkeringat. Hingga sesapan terakhir, benar-benar membuat susah tidur. Kepala berat, mabuk oleh senyum yang turut larut kau seduh.

Ku akui, senyummu memang mujarab munggulai secangkir pertemuan. Dan terpaksa, aku harus mengalah dan menyerahkan diri untuk menggilaimu.

Dan kalau boleh bertanya. Akan sampai berapa lama ya, senyummu manjur memabukan dan menggilakanku?

Mayoe, 2017

Selasa, 14 November 2017

Mengarungi Lautan Ayahanda



Merenungi Lautan Cinta Sunyi Ayahanda

Lautan. 
Adakah ayahanda, yang tak engkau?

Tenang, dalam gejolak sepi. Berbagai rona 
wajah datarmu. Sembunyikan asam, garam, rasa
dalam dada. Mengharu. Biru digulung. Ombak dan badai, 
merasai jantung, dengum degam. Dicengkeram akar, halilintar
kegetiran. Dari pangkal, gelap, awan mendung melontar 
guruh. Menggelegar, keberanian pecahkan galai, 
pengkhianat. Kebenaran, pada wajah langit, taungmu. 

'Ku arungi luas, wawasmu yang tak bertepi. 
Di jinak diri, bergunung-gemunung, berpulau-pulau
perlahan tenggelam. Ditelan cakrawala, pandangmu bertemu mata. 
Kaki langit mengitari 'ku. Sendiri, merengkuh dayung, mengayuh sunyi. 

'Ku selami kedalaman. Menungmu jauh melorong, Kelam 
tak berdasar. Di dangkal diri, beriak-riak, mengeruh-riuh. 
Seketika lenyap, dilumat ombak. Kearifanmu 
mendebur. Bertemu, bibir tanjungku yang angkuh, membisu. 

Di puncak, ketinggian hati. Memecah, tebing terjal. Berbatuku. 
Luruh berkeping-keping, hanyut diseret arus. Ketegasan
menggulatku, gigih. Merimba, lebur ke dalam palung. Hati
terdalam mencari senyawa. Keramat tersembunyi lelaki. 

Ayahanda, 
adakah lautan, yang tak engkau? 

Mendidik naluri. Bernurani
merenungi gejolak. Sunyi
dari kaki. Hingga hamparan langit, yang menaungi
pusaran. Rimba terkeramat, dalam palung hati. 

 Mayoe
Yogyakarta, 14 November 2017

Minggu, 12 November 2017

Kehidupan II



Kehidupan II

Aku terlahir dari rahim belantara raya hutan
hasil percintaan gejolak, asam, garam rimba lautan
melepas biru air kedalamannya menjadi uap panas
diterbangkan mengudara dengan awan bergumpal-gumpal
diarak ketinggian angin menggiring tersengal-sengal 
menuju puncak  kawah candra dimuka bergelora
gunung-gunung api berbaris mendidih rintihan lava
pijarnya cinta meletus berawan putih
menjubel, mengalir turunkan hujan kasih 
sayang pada tanah basah, telah mengandung benih
kehidupan di perut anggun menggunung
kuncupnya bunga-bunga hati merekah merah
tumpah darah pertiwi disorot belas kasih mentari
hangat pagi tumbuhkan suci bersemi
lautan hijau muda menghampar persada 
tanah air tercinta membentang cakrawala
pengembara menyisir belantara hutan: kasih sayang Ibunda, 
sunyi mengarungi rimba raya lautan: cinta Ayahanda, 
mencari jati diri dalam bulatan semesta
disemayam inti sukma jiwa raga. 

Mayoe
Yogyakarta, 12/11/17

Sabtu, 11 November 2017

Kehidupan I



Kehidupan I

Dari yang tak terhingga di ketel kehidupanku 
direbus dengan air asam garam lautan
cinta yang mendidih sepanjang siang
menguapkan ke udara panas hingga hangat senja
menjelang malam berkeciak menyuling
dengan tiupan kelam yang panjang dan dingin
kembali cair menggantung di ujung fajar 
hijau kuncup daun-daun membulir bening mata ikan
ditiup semilir nafas, menyapu jatuh ke tanah subur gembur. 
Hujan turun membasuh basahi suciku tumbuh 
ditabur sinar mentari pada bebijian yang dibawa
burung terbang dan hinggap di dahan-dahan pepohonan. 
Dari pagi mencari makan dan senja bersangkar
memberi cinta pada mulut yang menganga lapar
mendulangnya dengan paruh kokoh sendiri dan perkasa
dengan lembut mendidik kumencicit manja 
memberi tanda belajar terbang bebas 
mendewasa dilepas pergi mencari 
makan dan membuat sangkar sendiri. 

Mayoe
Yogyakarta, 11/11/17

Kamis, 09 November 2017

Diam Merapi, Leleh Menoreh


Diam Merapi, Leleh Menoreh

Diamku merapi,  lalu meleleh hingga menoreh hati
dengan tinta mendidih lahar pedih, kabutkan mata
jalanan. Kereta waktu datang dan pergi
membawa senyum. Rekah kelopak sekuntum bunga

mawar yang mengurung sepi
dengan duri. Di jari pemetik luka
berdarah-darah menyeka lengkung 
______________________bibirmu merenum sunyi
bekukan kata dari suara jauh dari telinga

pengusik tenang lautan kenangan
hanyut dibawa arus kerinduan
bergejolak dipintal gulungan ombak
__________menepi
sejenak beradu bibir gapit menghisap pantai
________________________lalu pergi lagi

Mayoe
Yogyakarta, November 2017

Selasa, 17 Oktober 2017

Antara Ada dan Tiada Pribumi

Oleh: Mayoe





Hari ini saya senang sekali, membaca timeline begitu ramai dengan kata “Pribumi”. Betul-betul menyenangi kata ini, dengan kesejatian maknanya.

Karena memang bumi yang sudah tua ini telah kehilangan peri-perinya. Susah dan memang amat susah untuk menjumpai pribumi di jaman begini. Tapi memang begitulah pribumi, ia penakut dan pemalu. Dengan itu ia selalu bersembunyi dari apa saja, bahkan dari diri mereka sendiri.

Kenyataannya pribumi selalu gagal bersembunyi. Selalu saja ketahuan, setidaknya ketahuan oleh diri sendiri. Dengan kegagalannya ini, para pribumi merasa diri tiadalah sempurna hidup di dunia ini. Dan parahnya ia pun tahu, bahwa tidak akan sampai ia pada kesempurnaan.

Alih-alih menghibur diri atas kegagalan dan kesedihan yang terus membuntut, para pribumi banyak melakukan penyamaran dengan berbagai cara. Bahkan terkadang penyamarannya sampai menjadi pendatang (tamu) atau bahkan asing di bumi yang ia pelihara sendiri. Lebih baik dianggap lain atau asing, namun tatanan tetap terjaga dan terkontrol olehnya. Dari pada kesejatiannya sebagai pribumi diketahui, dan apalagi sampai diakui. Hal ini akan lebih meresahkan baginya. Karena bisa saja, perburuan terhadapnya menjadi lebih nyata. Hingga kerusakan akan tumbuh lebih cepat di mana-mana.

Beginilah sedikit keruwetan hidup pribumi. Tapi sebaliknya terjadi di jaman ini, begitu banyak yang ingin didaku sebagai pribumi, utamanya terjadi di Indonesia. Padahal dahulu, di jaman Belanda masih hidup bersama-sama satu darat satu lautan, julukan pribumi di Hindia kala itu seolah begitu kotor, hina dan rendah sekali.

Dan kemarin (16/10) pak Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta baru) perlu mendapat banyak terimakasih dari para Pribumi. Karena mereka telah beliau sebut-sebut, hingga membuat geger se-Kahyangan Maya ini. Padahal mereka—Pribumi sendiri—sungguh tak banyak bicara, dan sungkan bahkan takut untuk mendaku sebagai Pribumi.

Berkat Pak Anies yang cukup pandai mengolah kata dengan literasinya yang luas, nama pribumi menjadi diperbincangkan kembali. Bahkan dengan tanpa malu-malu dan juga telah dengan didaku-daku.

Ada yang mendaku, bahwa pribumi sebagai sebutan untuk siapapun yang mbrojol di suatu tanah tertentu dan mendiaminya hingga usianya cukup dewasa. Ada juga yang mendaku bahwa tidak ada manusia pribumi di bumi ini, semua adalah perantau dari kampung surga, yang diminta merantau ke bumi karena telah membuat kesalahan: makan buah kuldi.

Dan kedua pendaku ini selalu melakukan pertengkaran, dan merasa diri lebih benar dan baik. Tidak ada beda dengan para saudaranya yang Belanda pada masa sebelum tahun 1945 itu. Artinya memang kedua pendaku ini telah mengalami kehilangan pribumi dari dalam diri masing-masing. Karena pribumi tak pernah mengaku, lebih banyak pemalu bahkan penakut. Namun ialah kesatria yang menyamar dan bergrilya menjaga tatanan bumi agar terpelihara asri dan lestari.

Pak Anies, yang bapak sebut-sebut beberapa kali dalam pidato kemarin semoga benar-benar dan bukan sekedar dari literasi sejarah belaka. Tapi semoga hasil dari kontamplasi bapak atas kesejatian Pribumi tersebut. Dan lebih berharap lagi, semoga kata 'Pribumi' yang coba bapak bumikan kembali ini, bukan karena kepentingan praktis semata ya pak.

Saya yakin, literasi bapak yang cukup luas dan kontamplasi yang cukup dalam, akan cukup juga membuat bapak bertambah kharismanya. Dan nyata, itu saya lihat langsung di senyum perempuan muda berpakaian Betawi kuning yang mendampingi bapak pidato politik pasca pelantikan menjadi Gubrnur DKI Jakarta kemarin. Setiap olah kata bapak yang menyentuh hati, perempuan muda itu lantas sumringah dan tersenyum. Sungguh pak, saya kesem-sem dengan senyum itu. Eh, kebablasan pak, soooorrriiiii yo pak... :D

Kamis, 12 Oktober 2017

Tidur dan Bangun Sadarku



Tidur dan Bangun Sadarku

Datanglah kepada malam yang kelam,
dan beristirah dalam jenak wajah pepohonan
di kaki gunung-gunung yang temaram
dibalik terang pelita dan teduhnya rembulan, 

hingga terlelap dari mata gelap
dan terbaring ditepi suatu jalan
panjang, nafas usia menjelang genap
suatu hidup ditata hari-hari depan. 

Dan bayang-bayang ketiadaan diri
atas lebur yang terhambur dalam tidur
digenggaman tangan alam penguasa hati
dan fikiran pengembara tetesan peluh-peluh yang membelur

sekujur tubuh, di bawah selimut kasihsayang, 
bercengkrama manja di atas tilam cinta
dan tersedu-sedu haru direguk bantal rindu.

Dan sadarku
tidur dan bangun
ditimang dan belaian
lembut tangan
Tuhan

Mayoe
Yogyakarta, 12 Oktober 2017

Minggu, 01 Oktober 2017

Kerendahan Dipuncak Saba



Kerendahan Dipuncak Saba

Didini fajar hari yang menjelang ini
duduku dilereng Sindoro selatan bertengadah
bersama rimba yang menderas dari puncak sunyi
saba menelusuri akar, batang, daun,  bunga dan buah tabah

yang tak henti mengalir hingga kering
di riuh kerendahan jantung kota
yang berdegup semakin cepat mengalahkan waktu berdenting
di ujung runcing seruling kereta sangkala. 

Lubuk ini, tetaplah mengabut dingin dan menyelimut
tanah air ketenangan diri yang hingga cakrawala
menghamparkan permadani kasih bertaut-taut
memagut sejuk siang malam udara berbelas sesakkan dada

dan mengundang basah dintara halimun dan bintik embun
di wajah rendah perdu yang menggigil menanggung gelisah
hidup di luar diri berayun dan berduyun-duyun
menyongsong kilau fatamorgana yang resah dan tak lelah-lelah

di segala mata, di tiap tatap dan sorot cahaya 
jatuh membias di selaput bening
hati para kekasih yeng terlena
dan alpa dari hening

Mayoe
Wonosobo, 1 Oktober 2017 M
11 Muharram 1439 H

Selasa, 26 September 2017

Sesesap Sajak Bapak


Sesesap Sajak Bapak

Di celah jemari 'ku diapit
selimut kasih menggulung tubuhnya
yang dingin teriris-iris pahit
berbagi sempit, getir resah membubuh bara

nyalaku dibakar dari akar
menjalar 'ku dihisap dari ujung ubun
sesap desah, getir pahit, sesak hujamkan mendasar
hingga terendap waktu halimun berhawa embun

yang membawa sejuk dari pangkal
akal berlubuk ketenangan hati
yang dihembus nafas cinta kekal
abadi jiwa tanah berladang pertiwi

yang subur mengalir dari sunyi segunung-gunung kukuh
ditinggi kerendahannya bersemayam gejolak kerinduan
yang mendalam samudra terendah ketinggiannya membuluh
di ruas-ruas jemari kasih sayang yang disembunyikan

dari lelah, kesah, susah, payah penafkahan

daun berjuntai menggapai-gapai celah sempit udara
demi secerceah cahaya
akar bergeliat menembus rongga padat liat tanah
demi seunsur hara

dan memohonlah cinta
sesesap sajak
bapak

Mayoe
Yogyakarta, 26 September 2017 M
6 Muharram 1439 H

Jumat, 22 September 2017

Percakapan Senja di Stasiun Tugu


Percakapan Senja di Stasiun Tugu

"Mengapa harus diungkapkan
walau tahu akan tetap terbata
dengan kata yang mudah menguap bersama udara?"

"Bahwa tanpa kata,
cinta tetap terbaca
dengan gerak yang serba menjadi tak biasa?"

"Telah cukup pengalaman,
sebagai bahan menyulam rajutan
sepotong kain yang disandang penghayatan"

"Dan sempurnalah pertemuan,
pengalam dan penghayat berhadapan
saling membuka dan menautkan alam dengan hanyat berpagutan"

"Timang-timanglah kembali berhati,
hingga suling kereta waktu tiba untuk menemui
lelah penunggu di stasiun tugu seyogyanya kembali"

"Lengking suling kereta tertimang,
diantara senja dan keremangan bulan besar yang telah menghilang
bersama gerbong yang ditarik laju waktu meninggalkan kenang dan petang."

Betapa lama hari menjelang
merubah mata gelap menjadi terang
bersama sejuk dan embun membasuh bilur
yang ternganga sejak malam menabur

gelap. hingga tenggelamkan jiwa kembara
yang hanya termangu tak tahu bagaimana menunggu
dan tak lagi memburu fajar lagi cakrawala
yang mengusir ungu dari biru tugu


Mayoe
Yogyakarta, 22 September 2017 M
2 Muharram 1439 H

Kamis, 21 September 2017

Buah Abadi & Leng Kali Leng

Gambar diambil dari laman berita detakriaunews.com

Buah Abadi & Leng Kali Leng

Buah-buah abadi berkeliling mengepung
berbaris-baris bertumpuk-tumpuk
berkata-kata bicara berupa-rupa
sesak berjejal suara-suara
dikotak-kotak bersekat tingkat-tingkat
menjulang tinggi-tinggi
menggapai langit-langit

Berbuku-buku ditumbuhi waktu
menjalar dirambati beku berdebu
berbagai bedak dan gincu
memoles wajah supaya tak tampak dungu
bersoleklah cupu dengan kaca mata lucu

Dimana manis buah-buah abadi itu?

Sedang lidah terlanjur kelu
tebal dan kaku oleh candu seujung kuku

dimabuknya kepala menggeleng dan oleng
memusing berkeliling mendongeng
cerita foya negeri leng kali leng


Mayoe
Yogyakarta, 21 September 2017 M
1 Muharram 1439 H

Akulah Kalah



Akulah Kalah

renta diri merapuh dan luluh,
hujan pelangi dan tatap tajam mentari
memancar sinar dan semburat wajah
pemilik binar sepasang mata teduh
menabur rasa dan warna rahasia sunyi
alam yang tenang bersemai dihati gelisah

berawan-awan murung menghitam
mendung menggantung bergulung-gulung mengandung guntur
dan berkilat-kilat menggoda cinta mata terpejam
menanti lebat rindu jatuh mengguyur

sekujur wajah kemarau yang merayu hamparan waktu
mendayu-dayu dari bukit-bukit detik nan tandus
kesana kemari dan berlari menderu debu
disapu angin kering mendera halus

dicelah julai kata, memupuslah tiang pancang tabah
yang lama terbenam menanam angkuh dan terus tumbuh
bercokol mengakar lebat hingga jauh ke lubuk tuah
diserapnya semua daya air dan hidup hingga jatuh

tersungkur lumpuh bersimpuh
dan menyerah
kalah
lah
ah
h

Mayoe
Yogyakarta, 21 September 2017 M
1 Muharram 1439 H