Kuis Hadiah Maulid
Siang tadi Yu Kalis
Mardiasih kirim pesan lewat WA. Memintaku untuk mengikuti kuisnya di FB.
Langsung meluncur ke beranda Fbnya. Setelah terbaca habis, ku iyakan
tawarannya. Mulai dari situ aku bingung, “Opo sing meh tak tulis.” Apa lagi
tentang guru, ngaji pula. Kalau yang soal guru agama di sekolah, sama sekali
tak menjadi hirauan. Sambil membaca berulang status kuis FB Yu Kalis
Mardiasih, kok yang tertangkap masih saja ditekankan tetang ‘Guru’. “Gak ono
sing lain tah!” Kesel juga dibuatnya berfikir. Belum lagi melihat buntut
pertanyaan berikutnya: kesan, nasihat (konyol lagi!), sosok, sowan, pengaruh,
hidup, dan sementara. Sedangkan definisi guru yang benar saja, belum dapat ku
mengerti apalagi terpahami.
Karena pesan WA
yang langsung merujuk ke status FB mu Yu, aku jadi inget simbah―ku
kandung―pernah menyampaikan sesuatu. Kata simbahku, “Ko, bocah Setu Wage, wulan
Besar, dina kepitu. Bocah lola, yatim ora duwe guru. Ko Santrine, Ko gurune.
Ngelmumu seka jero atimu dewek. Arep teka ngendi baen Ko garep meguru, nyantri
ora bakal ketemu ngelmu apa-apa. Kejaba Ko dewek sing mbukak ngelmune seka
atimu. Banjur nganti teka ning laku uripmu.” Simbah menutup nasihat itu dengan
komat-kamit membaca Shalawat Nabi SAW. Aku hanya melongo. Sambil dalam hati “Mugi
syafaat saking shalawat sing diwaos simbah, netes teng lambe kulo sing nduwer
lan mlongo niki, duh Gusti.”
Sekarang aku
bertanya, Yu Kalis―tuan atas kuis ini. Masihkah aku masuk kategori untuk
mengikuti kuis mu ini? Jika guruku tak terhitung. Terlebih yang hidup dan
menghidupkan Maulid, Nuzulul Quran, Isra dan Mi'raj, Hijrah, Satu Muharram,
Karbala, Idul Adha de el el itu. Tak terhingga lagi yang menghela dan hembuskan
nafas hidupnya dengan Shalawat-shalawat Nabi. Panjang ataupun pendek, mereka
gantunggkan di tali syafaat Nabi kekasih Alloh itu. Putus tali itu, putuslah
nafasnya. Maka hidup―yang katamu sementara ini―bagi mereka adalah
gantung-gemantung penuh kewaspadaan belaka. Bukan waspada pada hal lain, tapi
pada nafas mereka sendiri. Kalau-kalau putus dari tali syafaat.
Tali yang kata
simbahku, “Sayfaat kue, taline lembut ora karuan. Kaya dene rambut sak ler
disigar pitu. Sak sigare kue sing dadi galengan sawah kanggo awake dewek
nyabrang marang kersane Gusti.”
Jadi Yu; guruku
belum sempat kuketahui, selain daripada sampainya takdir yang diutus Gusti
Alloh menemani hidup―yang katamu sementara ini. Ia (takdir) menemani hidup
dengan penuh rahmatNYA. Dan Ia duduk persis di samping Rosululloh SAW. Hingga
dengannya sampailah rahmat bagi alam semesta. Dan terang, cakrawala bagi mata
kita yang lebih sering gelap memandang sesuatunya.
Guru yang belum
sempat kuketahui itu, tidak sekedar mengerti, paham, mencontohkan, membimbing,
menemani, memberi dukungan dan dorongan. Tapi juga menguasai penuh atas diri.
Bahkan perlu sekali mengharuskan diri untuk mengabdi. Tak peduli diakui atau
tidak, diterima atau tidak. Diri harus gila dan semabuk-mabuknya berupaya
mengabdi. Dan tak ada jalan yang lebih baik, selain daripada yang pernah
dilakukan seumur hidup oleh seorang yatim sejak dalam kandungan, lalu menjadi
piatu saat usianya baru lepas balita. Keyatim-piatuannya itulah salah satu mata
pelajaran dari ilmu yang diberi gurunya langsung saat hatinya mulai dibuka
dengan kesucian.
Shollu 'alan nabi,
Yu.
Mayoe
Yogyakarta,
November 2017
0 Komentar:
Posting Komentar