Biji-biji Sepi
Kau
tahu, bagaimana kopi merajut sepi? Dirosting dengan bara api kerinduan,
menguapkan kandungan cinta yang berlebihan. Kering, dan menghitam serupa arang
tanpa pernah membara. Hingga benar-benar renyah ditumbuk, kehalusan bisu
menyimpan serbuk kenangan dalam toples-toples memori yang berbaris. Sesendok
takar diolah dengan berbagai cara, seduh, didih, uap, suling menjadi cairan
hitam kemerahan kaya rasa. Dituang dari hati, menggenang di cangkir. Menguapkan
aroma dan rasa yang membangkitkan syaraf-syaraf kenangan dalam ketenangan
berfikir.
Lantas bangkit gairah, membuka mata menembus kehitaman permukaan
cangkir yang sedang hangat mengepul. Sesesap hukum bernouli membawa fluida hitam
panas melalui padang rasa yang mengecap-kecapkan setiap partikel kenangan. Dan
membubung ke angkasa bersama awan-awan koloidal yang memancarkan seberkas mentari
diantara sisa hujan yang tak tuntas. Menari, melompat ke sana ke mari, mencari
susunan pelangi. Dengan tinta di genggaman penanya, merangkai susunan warna
dengan kata yang tak pernah sampai di udara.
Sore ini, bersama sisa hujan, kurangkai
biji-biji sepi yang hitam tanpa pernah membara ke dalam cangkir kenangan. Tak
ada suatu harapan, selain dari legam ketenangan dalam dada. Hangatnya
mencairkan dingin buah fikir, lalu menguap bersama aroma dan rasa. Menjadikannya
warna-warni di langit malam, menguwung rembulan dengan cerah wajahmu.
0 Komentar:
Posting Komentar