Selasa, 28 November 2017

Kuis Hadiah Maulid


Kuis Hadiah Maulid
Siang tadi Yu Kalis Mardiasih kirim pesan lewat WA. Memintaku untuk mengikuti kuisnya di FB. Langsung meluncur ke beranda Fbnya. Setelah terbaca habis, ku iyakan tawarannya. Mulai dari situ aku bingung, “Opo sing meh tak tulis.” Apa lagi tentang guru, ngaji pula. Kalau yang soal guru agama di sekolah, sama sekali tak menjadi hirauan. Sambil membaca berulang status kuis FB Yu Kalis Mardiasih, kok yang tertangkap masih saja ditekankan tetang ‘Guru’. “Gak ono sing lain tah!” Kesel juga dibuatnya berfikir. Belum lagi melihat buntut pertanyaan berikutnya: kesan, nasihat (konyol lagi!), sosok, sowan, pengaruh, hidup, dan sementara. Sedangkan definisi guru yang benar saja, belum dapat ku mengerti apalagi terpahami.
Karena pesan WA yang langsung merujuk ke status FB mu Yu, aku jadi inget simbah―ku kandung―pernah menyampaikan sesuatu. Kata simbahku, “Ko, bocah Setu Wage, wulan Besar, dina kepitu. Bocah lola, yatim ora duwe guru. Ko Santrine, Ko gurune. Ngelmumu seka jero atimu dewek. Arep teka ngendi baen Ko garep meguru, nyantri ora bakal ketemu ngelmu apa-apa. Kejaba Ko dewek sing mbukak ngelmune seka atimu. Banjur nganti teka ning laku uripmu.” Simbah menutup nasihat itu dengan komat-kamit membaca Shalawat Nabi SAW. Aku hanya melongo. Sambil dalam hati “Mugi syafaat saking shalawat sing diwaos simbah, netes teng lambe kulo sing nduwer lan mlongo niki, duh Gusti.
Sekarang aku bertanya, Yu Kalis―tuan atas kuis ini. Masihkah aku masuk kategori untuk mengikuti kuis mu ini? Jika guruku tak terhitung. Terlebih yang hidup dan menghidupkan Maulid, Nuzulul Quran, Isra dan Mi'raj, Hijrah, Satu Muharram, Karbala, Idul Adha de el el itu. Tak terhingga lagi yang menghela dan hembuskan nafas hidupnya dengan Shalawat-shalawat Nabi. Panjang ataupun pendek, mereka gantunggkan di tali syafaat Nabi kekasih Alloh itu. Putus tali itu, putuslah nafasnya. Maka hidup―yang katamu sementara ini―bagi mereka adalah gantung-gemantung penuh kewaspadaan belaka. Bukan waspada pada hal lain, tapi pada nafas mereka sendiri. Kalau-kalau putus dari tali syafaat.
Tali yang kata simbahku, “Sayfaat kue, taline lembut ora karuan. Kaya dene rambut sak ler disigar pitu. Sak sigare kue sing dadi galengan sawah kanggo awake dewek nyabrang marang kersane Gusti.
Jadi Yu; guruku belum sempat kuketahui, selain daripada sampainya takdir yang diutus Gusti Alloh menemani hidup―yang katamu sementara ini. Ia (takdir) menemani hidup dengan penuh rahmatNYA. Dan Ia duduk persis di samping Rosululloh SAW. Hingga dengannya sampailah rahmat bagi alam semesta. Dan terang, cakrawala bagi mata kita yang lebih sering gelap memandang sesuatunya.
Guru yang belum sempat kuketahui itu, tidak sekedar mengerti, paham, mencontohkan, membimbing, menemani, memberi dukungan dan dorongan. Tapi juga menguasai penuh atas diri. Bahkan perlu sekali mengharuskan diri untuk mengabdi. Tak peduli diakui atau tidak, diterima atau tidak. Diri harus gila dan semabuk-mabuknya berupaya mengabdi. Dan tak ada jalan yang lebih baik, selain daripada yang pernah dilakukan seumur hidup oleh seorang yatim sejak dalam kandungan, lalu menjadi piatu saat usianya baru lepas balita. Keyatim-piatuannya itulah salah satu mata pelajaran dari ilmu yang diberi gurunya langsung saat hatinya mulai dibuka dengan kesucian.
Shollu 'alan nabi, Yu.

Mayoe

Yogyakarta, November 2017

Gorengan Bunga-bunga Manis Itu

Gorengan Bunga-bunga Manis Itu

Sepiring, kau suguhi aku; beberapa mendoan, bakwan dan pisang goreng itu. Lantas kau: kok cuma mendoan sama bakwan aja mas. Aku sudah memastikan, pisang itu rasanya tidak berbeda dengan mendoan dan bakwan. Dan kau: beda mas, itu aku sendiri yang goreng. Justru karena itu, kataku. Manisnya seketika layu sejak kau berfikir jamuan untukku. Sambil kulirik sudut matamu: kau rampas semua manis dari sari bunga-bunga hingga cita buah-buahan, juga dengan pisang goreng itu. Mas! Katamu menyipu kemerahan pipi. Dan: sepanjang jalan bunga di taman dan tepi-tepi jalannya, sekarang tumpah di rekah senyummu yang bersipu itu.


Mayoe, November 2017

Biji-biji Sepi

Biji-biji Sepi


Kau tahu, bagaimana kopi merajut sepi? Dirosting dengan bara api kerinduan, menguapkan kandungan cinta yang berlebihan. Kering, dan menghitam serupa arang tanpa pernah membara. Hingga benar-benar renyah ditumbuk, kehalusan bisu menyimpan serbuk kenangan dalam toples-toples memori yang berbaris. Sesendok takar diolah dengan berbagai cara, seduh, didih, uap, suling menjadi cairan hitam kemerahan kaya rasa. Dituang dari hati, menggenang di cangkir. Menguapkan aroma dan rasa yang membangkitkan syaraf-syaraf kenangan dalam ketenangan berfikir. 

Lantas bangkit gairah, membuka mata menembus kehitaman permukaan cangkir yang sedang hangat mengepul. Sesesap hukum bernouli membawa fluida hitam panas melalui padang rasa yang mengecap-kecapkan setiap partikel kenangan. Dan membubung ke angkasa bersama awan-awan koloidal yang memancarkan seberkas mentari diantara sisa hujan yang tak tuntas. Menari, melompat ke sana ke mari, mencari susunan pelangi. Dengan tinta di genggaman penanya, merangkai susunan warna dengan kata yang tak pernah sampai di udara. 

Sore ini, bersama sisa hujan, kurangkai biji-biji sepi yang hitam tanpa pernah membara ke dalam cangkir kenangan. Tak ada suatu harapan, selain dari legam ketenangan dalam dada. Hangatnya mencairkan dingin buah fikir, lalu menguap bersama aroma dan rasa. Menjadikannya warna-warni di langit malam, menguwung rembulan dengan cerah wajahmu. 

Selasa, 21 November 2017

Kramas Rindu

Kramas Rindu

Kau perempuan, tahu bagaimana masalah yang dihadapi memanjangkan rambut. Gatal-gatal, mudah patah, rontok, kusut dan bau. Itu karena, lama tak dikramas dengan sampo dan dirapikan dengan conditioner. Kau biarkan begitu, serupalah kau dengan orang gila.

Juga aku, lelaki seorang ini, tau bagaimana masalah yang dihadapi memanjangkan rindu. Gatal-gatal, mudah patah, rontok, kusut dan bau. Itu karena, lama tak dikramas dengan kabar dan dirapikan dengan pertemuan. Ku biarkan begitu, serupalah aku dengan orang gila.


Mayoe, 2017

Sudah Minum Kopi Kan? Sini Kubisiki Kau

Sudah minum kopi kan? Sini ku bisiki kau:

Tahu kau, mengapa lelaki hobi sekali potong rambut. Ada yang tiga Bulan sekali, dua bulan sekali, sebulan, dua minggu, bahkan ada yang hanya hitungan hari saja sudah gatal mau potong lagi. Rambut itu daya tahan. Boleh dikata; kesetiaan. Atau lebih syar'i lagi; ialah puasa. Dalam semua itu butuh dan memang merupakan komitmen, kekuatan, pengorbanan juga kesabaran. Bukan main-main pula, semua itu bertujuan. Pasti atau tidak pasti, jelas atau tidak, mengerti atau sama sekali, juga paham atau kekeliruan saja. Dan satu lagi, walau tak sepenuhnya mesti: tentang rindu, atau memang ialah kerinduan. Jadi, lelaki memang hobi bahkan sekali, ingin segera memotong rindunya, kerinduannya. Walau setelahnya banyak juga yang menggerutu, sampai menyesali; kependekan lah, potongannya kurang pas lah, modelnya gak sesuai lah. Lalu ingin lekas panjang lagi dengan kemudian ingin segera momotongnya lagi. Terus begitu, berkali-kali dan telah mentradisi jaman ini.

Lain hal dengan perempuan. Daya tahan, kesetiaan, dan betah berpuasa adalah rambut kepalanya sendiri. Mahkotanya, yang dirawat dengan teliti. Disisir setiap hari, dikramasi, sampai diberi nutrisi. Memang, ini hanya untuk perempuan yang masih menggunakan naluri. Bukan hanyut dibawa tradisi apalagi modernisasi yang belum tentu diketahuinya pasti. Apa lagi yang sejati. Tapi di kedalaman hati, walau kecil sekali, masih lah ada itu naluri. Juga tentang kerinduannya, yang entah teruntuk siapa. Tentu dipeliharanya sedemikian teliti.

Dan aku sendiri, tak terlalu mengerti dengan panjang rambut ini. Jelasnya, belum ada keinginan untuk memotong, terlebih menggunduli. Masih senang tergerai panjang seperti ini. Mungkin juga dengan rindu ini. Masih senang tergerai dikirai sepoi angin. Angin yang entah bertiup dari mana. Barat atau Timur, Utara atau Selatan atau justru dari mata arah pengira hati. Dengan diam-diam menelusup dan berbisik: rindukan aku pagi petang, siang malam yang panjang. Hingga kau memohon-mohon kasih sayang. Dan aku datang dengan berlarian berlipat-lipat panjang, hingga kau mabuk biji kepayang.


Mayoe,  2017

Kopiku

Kopiku

Sore ini ku seduh dua cangkir kopi. Satu cangkir untukku, dan satu cangkir lagi untukku. Satu cangkir dengan kopi kapal api dan sedikit gula. Satunya lagi dengan kopi kapal api dan sedikit gula. Satu cangkir dengan air mendidih. Satu cangkir lagi dengan air mendidih. Satu belangan dan sekali dalam rebusan.

Ku saji dengan dua potong sagu. Supaya kau tau, berlipat kumerindu. Dan beberapa biji buah kenari. Supaya kau mengerti berhari-hari kuberlari mencari.

Sepotong kertas buram dan sebuah pena hitam. Itu untuk menuliskan kisahku yang temaram dan hampir dibenam kelam.


Mayoe, 2017

Dengarkan Ceritaku

Dengarkan Ceritaku

Di pelosok desa Halmahera sana, signal hp itu susahnya minta ampun. Untuk sekedar memberi dan mencari kabar sanak keluarga di Jawa saja, butuh banget perjuangan ekstra. Perlu naik perahu. Mendayung dengan penerangan senter di kepala. Jangan dipikir air lautnya tenang, seperti danau-danau buatan di Jawa. Walaupun tak terlalu besar, tapi tidak bisa dibilang kecil. Dan aku Jawa, gunung pula. Tak biasa dengan laut, apalagi akrab dengan perahu. Pokoknya butuh cinta dan tenaga. Karena signal hanya ada di titik-titik dan waktu-waktu tertentu saja. Gak setiap tempat dan saat ada. Gak sama lah dengan di Jawa. Signal selalu ada dan penuh sampai ke pelosok desa.

Sekarang aku sudah di Jawa. Tapi kenapa untuk memberi dan mencari kabarmu masih susah juga. Padahal hanya ingin memberi kabar. Kopiku belum lagi habis. Tapi sudah dingin, bersama dengan senyummu. Hilang hangatnya. Mungkin dihisap waktu, atau juga lainnya.

Dan ingin juga kucari kabar. Masih tentang senyum. Apa masih bisa kau hangatkan kembali. Gak usah ditambah, juga hangatnya. Cukup sampai hangat sediakala. Di bibir yang mudah rekah, menjatuhkan senyum ke dalam cangkir kopiku. Rasa dan hangatnya pas. Tidak kurang atau lebih.

Karena saraf-saraf rasa ku sudah mendesak dan menuntut candumu. Jika ku sesap juga yang telah dingin ini dan menelannya begitu, sesampainya di dada,dinginnya menusuk-nusuk. Membuat rasa nyeri yang menjalar sampai kepala. Dan jalarannya itu, meninggalkan perih yang membilur.

Mayoe, 2017

Mungkin, Secangkir Cinta

Mungkin, Secangkir Cinta

Kau ini jahat. Membuatku mabuk hebat dan selama ini. Secangkir kopi tubruk yang kau suguhkan, itu lah biangnya. Menyeduh kopi dengan air mendidih, tak mengapa. Aku pun sudah biasa. Tapi senyum di bibirmu, mengapa kau biarkan jatuh menggulai secangkir kopi itu. Baru sesapan pertama, sudah langsung membuatku berkeringat. Hingga sesapan terakhir, benar-benar membuat susah tidur. Kepala berat, mabuk oleh senyum yang turut larut kau seduh.

Ku akui, senyummu memang mujarab munggulai secangkir pertemuan. Dan terpaksa, aku harus mengalah dan menyerahkan diri untuk menggilaimu.

Dan kalau boleh bertanya. Akan sampai berapa lama ya, senyummu manjur memabukan dan menggilakanku?

Mayoe, 2017

Selasa, 14 November 2017

Mengarungi Lautan Ayahanda



Merenungi Lautan Cinta Sunyi Ayahanda

Lautan. 
Adakah ayahanda, yang tak engkau?

Tenang, dalam gejolak sepi. Berbagai rona 
wajah datarmu. Sembunyikan asam, garam, rasa
dalam dada. Mengharu. Biru digulung. Ombak dan badai, 
merasai jantung, dengum degam. Dicengkeram akar, halilintar
kegetiran. Dari pangkal, gelap, awan mendung melontar 
guruh. Menggelegar, keberanian pecahkan galai, 
pengkhianat. Kebenaran, pada wajah langit, taungmu. 

'Ku arungi luas, wawasmu yang tak bertepi. 
Di jinak diri, bergunung-gemunung, berpulau-pulau
perlahan tenggelam. Ditelan cakrawala, pandangmu bertemu mata. 
Kaki langit mengitari 'ku. Sendiri, merengkuh dayung, mengayuh sunyi. 

'Ku selami kedalaman. Menungmu jauh melorong, Kelam 
tak berdasar. Di dangkal diri, beriak-riak, mengeruh-riuh. 
Seketika lenyap, dilumat ombak. Kearifanmu 
mendebur. Bertemu, bibir tanjungku yang angkuh, membisu. 

Di puncak, ketinggian hati. Memecah, tebing terjal. Berbatuku. 
Luruh berkeping-keping, hanyut diseret arus. Ketegasan
menggulatku, gigih. Merimba, lebur ke dalam palung. Hati
terdalam mencari senyawa. Keramat tersembunyi lelaki. 

Ayahanda, 
adakah lautan, yang tak engkau? 

Mendidik naluri. Bernurani
merenungi gejolak. Sunyi
dari kaki. Hingga hamparan langit, yang menaungi
pusaran. Rimba terkeramat, dalam palung hati. 

 Mayoe
Yogyakarta, 14 November 2017

Minggu, 12 November 2017

Kehidupan II



Kehidupan II

Aku terlahir dari rahim belantara raya hutan
hasil percintaan gejolak, asam, garam rimba lautan
melepas biru air kedalamannya menjadi uap panas
diterbangkan mengudara dengan awan bergumpal-gumpal
diarak ketinggian angin menggiring tersengal-sengal 
menuju puncak  kawah candra dimuka bergelora
gunung-gunung api berbaris mendidih rintihan lava
pijarnya cinta meletus berawan putih
menjubel, mengalir turunkan hujan kasih 
sayang pada tanah basah, telah mengandung benih
kehidupan di perut anggun menggunung
kuncupnya bunga-bunga hati merekah merah
tumpah darah pertiwi disorot belas kasih mentari
hangat pagi tumbuhkan suci bersemi
lautan hijau muda menghampar persada 
tanah air tercinta membentang cakrawala
pengembara menyisir belantara hutan: kasih sayang Ibunda, 
sunyi mengarungi rimba raya lautan: cinta Ayahanda, 
mencari jati diri dalam bulatan semesta
disemayam inti sukma jiwa raga. 

Mayoe
Yogyakarta, 12/11/17

Sabtu, 11 November 2017

Kehidupan I



Kehidupan I

Dari yang tak terhingga di ketel kehidupanku 
direbus dengan air asam garam lautan
cinta yang mendidih sepanjang siang
menguapkan ke udara panas hingga hangat senja
menjelang malam berkeciak menyuling
dengan tiupan kelam yang panjang dan dingin
kembali cair menggantung di ujung fajar 
hijau kuncup daun-daun membulir bening mata ikan
ditiup semilir nafas, menyapu jatuh ke tanah subur gembur. 
Hujan turun membasuh basahi suciku tumbuh 
ditabur sinar mentari pada bebijian yang dibawa
burung terbang dan hinggap di dahan-dahan pepohonan. 
Dari pagi mencari makan dan senja bersangkar
memberi cinta pada mulut yang menganga lapar
mendulangnya dengan paruh kokoh sendiri dan perkasa
dengan lembut mendidik kumencicit manja 
memberi tanda belajar terbang bebas 
mendewasa dilepas pergi mencari 
makan dan membuat sangkar sendiri. 

Mayoe
Yogyakarta, 11/11/17

Kamis, 09 November 2017

Diam Merapi, Leleh Menoreh


Diam Merapi, Leleh Menoreh

Diamku merapi,  lalu meleleh hingga menoreh hati
dengan tinta mendidih lahar pedih, kabutkan mata
jalanan. Kereta waktu datang dan pergi
membawa senyum. Rekah kelopak sekuntum bunga

mawar yang mengurung sepi
dengan duri. Di jari pemetik luka
berdarah-darah menyeka lengkung 
______________________bibirmu merenum sunyi
bekukan kata dari suara jauh dari telinga

pengusik tenang lautan kenangan
hanyut dibawa arus kerinduan
bergejolak dipintal gulungan ombak
__________menepi
sejenak beradu bibir gapit menghisap pantai
________________________lalu pergi lagi

Mayoe
Yogyakarta, November 2017