Sabtu, 28 Juni 2014

DESA KU TUMPAH DARAH KU

Pembangunan rumah-rumah rakyat terutama yang di desa pada 10 tahun yang lalu masih sering kita jumpai dengan sistem gotong royong. Tidak melibatkan pemborong profesional. Dari mulai meratakan tahan (istilah tradisonalnya "mbatur") kemudian menaikan kerangka atap (munggah wuwung) sampai pasang atap (masang gendheng) semua dilakukan secara gotong royong, dikerjakan oleh seluruh bapak-bapak dan pemuda satu kampung, kaum ibu-ibu dan pemudi memasak.

Keadaan telah berubah, modernisasi yang tengah berlangsung mengkotak-kotakkan antara si miskin dengan si kaya.Tercerin dari bentuk dan model rumah yang menonjolkan ke-Aku-an seseorang di tengah masyarakat. Rumah tak hanya menjadi tempat berteduh dan maderasah bagi generasi-generasi yang baru lahir. Rumah kini juga menjadi gengsi seseorang di tengah masyarakat, sehingga pengerjaannya tak lagi percaya dengan sistem gotong royong yang sudah dipastikan akan menghasilkan rumah yang sederhana saja dengan kesamaan desainnya.

Liberalisme masuk desa mengkikis sistem gotong royong yang dari dulu dipercaya sebagai pemersatu dan sibol kerukunan rakyat desa. Liberalisme juga telah mengkotak-kotakkan si kaya dan si miskin di desa. Si miskin hanya punya subuah gubuk kecil yang semakin rapuh dan si kaya senantiasa berlomba-lomba dengan istananya yang semakin megah nan berpagar tinggi. Semakin jelas pembeda antara mereka dan semakin kuat meruntuhkan rasa persatuan dan kesatuan, kerukunan warga dan tentu saja perbedaan derajad mereka di tengah kehidupan bermasyarakat. Si kaya mesti membangun ruhamnya melalui pemborong dengan kualitas matrial tinggi dan pekerja profesional. Ini awal terkikisnya sistem gotong royong. Kemudian, jika si miskin memiliki sedikit rizki dan berniat memerdekakan diri dengan membangun gubugnya, mereka kebingungan mau "nyambat" gotong royong dengan siapa?! sedangkan warga desa satu-persatu meninggalkan sistem gotong royong.

Banyak sekali kebijakansanaan masa tradisional (gotong royong) tak didapat pemuda masa kini akibat liberalisme masuk desa.

Gotong royong, mengandung kebijaksanaan yang mestinya didapat oleh generasi masa kini. Salah satunya adalah kaderisasi generasi muda melalui semangat gotong royong. Persatuan, kerukunan, dan aspirasi dapat tersalur dengan damai dalam forum ini. Forum yang berfikir sambil bertindak langsung, tidak sebatas bualan belaka. Selain itu, dari sisi keterampilan, para muda mudi dibekali untuk membuat dan merawat tempat teduh serta bagaimana mengolah pangan untuk keluarga yang hendak dibangun. Ini lah kesejahteraan.

Masih banyak lagi kebijakasanaan yang dapat diambil dari tradisi gotong royong/sambatan di desa. Misal tentang perizinan mendirikan bangunan/rumah. Untuk nyambat mendirikan rumah, warga mesti nembung dan nyambat kepada kaum atau tokoh masyarakat yang berwenang. Dari lokasi yang akan didirikan, jadwal "mbatur" sampai "munggah wuwung" dan pemasangan "gendheng" semuanya direncanakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang matang. Sehingga tak ada sengketa antar warga tentang lahan. Data perizinan mendirikan bangunan pun jelas dengan saksi dan izin dari masyarakat melaui Kaum.

Kurang apa lagi dengan sistem "Gotong Royong"!

Mereka yang meluaskan lahan pribabadi dengan kekayaan yang mereka miliki dan hanya untuk mengenyangkan perut mereka sendiri telah menghancurkan tatanan masyarakat dengan nilai-nilai yang terkandung pada sistem Gotong Royong.

Pada beberapa tahun yang silam, di desa saya ada seorang juragan tanah yang merelakan tanahnya dilelang untuk pemukiman para keluarga-keluarga baru. Sebidang tanahnya yang luas berada di tengah-tengah masyarakat. Dulunya lahan tersebut ditanami pohon kopi dan kelapa. Jika dipertahankan untuk kepentingan pribadi tentu panen tiap tahunnya sangat menguntungkan bagi sang juragan. Namun dengan pandangannya yang jauh ke depan tentang peradaban yang dicita-citakannya untuk desa kami, membuatnya mempetak-petakan tanahnya untuk keberlangsungan kehidupan bermasyarakat bagi generasi yang akan datang. Semoga ganjaran pahala selalu mengalir kepada mu Juragan.

Menarik sekali mengorek dampak liberalisme masuk desa.

Pada saat pendirian rumah yang dikerjakan dengan gotong royong (sambatan) ada sebuah ritual yang menarik. Pada tahap "munggah wuwung" (memasang kerangka atap rumah), seorang yang "nyambat" (punya hajat) bersama Kaum (Tokoh masyarakat) melakukan sebuah ritual pemasangan belebet bendera Merah Putih dengan seperangkat sesaji (Seikat tangkai padi dengan bulir-bulir padi kuningnya, Sebatang pohon Tebu Ireng, Setandan Pisang Kepok, dan Segandeng Buah Kelapa) semua digantung terikat di atas wuwung. Bijak sekali ritual ini.

Sesaji ini bukan bentuk pemujaan, ia adalah simbol cita-cita Bangsa. Kemerdekaan, yang di dalamnya mengusung misi Kesejahteraan bagi seluruh isi Rumah.

Referensi:

Al Habib Muhammad Lutfi Bin Yahya, Ceramah diberikan pada 28 April 2014. Memperkokoh Nasionalisme dan Karakter Pewaris Bangsa dengan Amar Ma'ruf Nahi Mingkar. Solawat Akbar Maulid Nabi SAW di Universitas Diponegoro. Semarang

Dokumentasi seputar Desa Talangberingin. Semenjak Penulis Lahir sampai pertengahan 2014. Tradisi Desa. Talangberingin, Tanggamus. Lampung.

0 Komentar:

Posting Komentar