Sabtu, 20 Desember 2014

Sepenggal 'Surat untuk Laksmi'

Karya Narsis
Cah Angon



Laksmi Randa Harjo,
Ingatkah kau Laksmi, saat pertama kita berkenalan di dalam kelas. Setelah Bu Sri mempersilakanku duduk di sampingmu, sambil tersenyum kecil kau ulurkan tanganmu menyambutku. Ku jabat tanganmu, kemudian kau sebutkan namamu “Laksmi Randa Harjo”.... Lengkap tak bersisa kau perkenalkan namamu kepadaku. Dengan anggukan ku balas serupa denganmu.
Ada sebuah pertanyaan mengundang saat pertama melihatmu duduk seorang diri di sudut depan kelas. Mula-mula kupandangi seluruh bagian kelas, ku cermati satu demi satu teman-teman kita. Bu Sri berdiri tegak di sampingku membuka kelas, kemudian menerangkan ada siswa baru yang akan bergabung dengan kelas empat kita. Semua mata berfokus menatapku sejak aku dan bu Sri masuk beriringan ke dalam kelas –lebih tepatnya tangan bu sri menggiring masuk di pundakku.

Kenapa sebuah bangku kosong justru ada di depan? Sebuah keheranan menguasai saat pandanganku sampai di sudut kanan paling depan. Di sekolah ku sebelumnya, jika ada bangku kosong itu letaknya di belakang. Biarpun hanya diisi seorang murid saja. Selama tiga tahun yang telah ku jalani, dari mulai kelas satu sampai kelas tiga, siswa yang masuk di awal tahun ajaran baru pasti berebut bangku paling depan dan menyisakan bangku kosong di belakang. Tapi di sekolahku yang baru ini, lebih tepatnya di kelasku yang baru ini berbeda. Iya, ku katakan di kelas yang baru saja, karena kelas-kalas lain tidak demikian. Setelah ku jumpai sendiri atau melalui cerita-cerita mbakku, sebenarnya sama saja. Bangku yang biasanya kosong itu ya di belakang.

Mungkin bu Sri punya maksud tersendiri dalam mengelola kelas. Dan aku –juga kau dan temen-temen sekelas kita– menurut saja dengan perintahnya. Karena memang bangku kosong yang tersisa hanya yang semeja dengan mu.

Laksmi. Walau telah lebih dari setengah dekade tak pernah menyapa atau sekedar mendengar kabar tentang mu. Tapi nama itu tak pernah satu huruf pun pergi dari ruang sunyi ini. Namamu, begitu krasan tinggal di hatiku.

Laksmi. Nama indah penuh makna itu.
Aku lebih senang memanggilmu demikian. Daripada seperti teman-teman lain yang memanggilmu ‘Miranda’. Nama ‘Laksmi’ lebih nyaman saja untuk ku ucapkan. Walau kau tak pernah menjawab setiap ku tanyakan arti dari nama itu. Mungkin kau sengaja merahasiakannya, atau belum kau dengar cerita orangtua mu. Tapi aku beranggapan orang tuamu menamai ‘Laksmi’ bukan tanpa maksud bukan.

Aku sendiri senang memanggil nama itu karena khayalanku akan legenda Laksamana Ceng Ho –yang ku dapat dari cerita mbah kakung. Kamu pasti juga tau kan, siapa Laksamana Ceng Ho. Aku kagum dengan ekspedisi luarbiasanya yang merajai lautan dengan cara damai tanpa penaklukan. Walau pada awalnya kau risih dengan panggilan itu, tapi lambat-lambat kau menoleh juga saat ku panggil.

Terkadang senyum-senyum sendiri, saat mengingat masa itu. Kau begitu benci saat ku panggil ‘Laksmi’. Kau kejar aku untuk memukul. Aku lari berputar-putar menghindari pukulanmu. Hingga kau merasa lelah dan tak lagi mengejarku. Diujungnya kau mengancamku untuk tak usah lagi duduk semeja.
Ah kejam kau laksmi, teganya kau usir aku.
Tapi aku tak pernah takut dengan ancamanmu.
Saat lonceng tanda masuk kelas –setelah jam istirahat– berdentang dua kali, semua murid berhamburan menuju bangku masing-masing. Aku sendiri dengan santai menuju samping mu. Kemudian bu sri melanjutkan pelajaran. Di tengah bu sri sedang menerangkan pelajaran, kau geser secarik kertas –yang kau sobek dari halaman belakang buku catatanmu– ke arah ku. Biasanya aku pepura sedang memperhatikan bu sri menerangkan. Kemudian kau sikut lengan kiri ku. Tanpa menoleh, ku seret kertas itu ke tengah catatanku.

“aku gak suka dipanggil ‘Laksmi’, panggil aku ‘Miranda’ seperti yang lain”. kira-kira begitu tulisannya, kalau aku tak salah mengingat.

“nama ‘Laksmi’ itu bagus, seperti nama-nama para petualang yang merajai laut dan samudera”, bagitu ku tulis tanggapanku di bawah tulisanmu. Tapi kertas itu tak lekas ku geser ke arahmu. Melainkan ku lipat dan ku selipkan di antara dua klem anak steplus yang melkatkan kertas sampul dan buku catatanku. Setelah pelajaran selesai, bu sri telah mempersilakan kelas berkemas untuk pulang, baru ku ambil kembali kertas itu dan kuulurkan kepadamu. Secepat kilat kau rebut dari tanganku. Tanpa kau baca dulu, masuk ke kantong seragammu. Berdo’a, beri salam dan berhambur kelaur kelas.

Esok harinya. Seperti biasa kau seorang diri paling awal datang diantara temen-temen sekelas lainnya. Kemudian baru aku muncul menyusul. Kudapati kau tengah asik dengan buku baru mu. Melihat aku datang mendekat, kau melirik sebentar. Ku letakkan tas dalam laci meja kita yang menyatu sambil memiringkan kepala. Maksudku untuk membacai sampul buku yang terbentang di antara dua tanganmu. Belum sempat ku mengeja, kau turunkan bukumu ke meja. Dan kilauan permata mendadak terpancar menyinari wajah miring ku. Senyummu begitu berseri. Indah tanpa cacat. Simetris tanpa tempang. Bersih tanpa noda. Terang tanpa silau. Teduh. Sungguh beda dari biasanya.

“Aku mau dipanggil ‘Laksmi’ sekarang”.. sambil menunduk malu kau ucapkan itu.

Sejak itu, hari-hari kita menjadi indah. Tinggal satu catur wulan lagi kita akan naik kelas lima. Tambah giat kamu belajar. Dan kau pun tak bosan memberi ku nasihat-nasihat untuk tidak bermalas-malasan. Terkadang kau pun harus pulang terakhir seorang diri, hanya untuk mengajari ku suatu rumus matematika yang sulit ku pahami. Seandainya rumah kita searah, kau tak perlu pulang sendiri Laksmi. Kita akan berjalan bersama tanpa ada suatu kekhawatiran ku. Kadang saat kita berpisah di gapura ujung sekolah, sengaja ku tunggui kau sampai menghilang dipertikungan jalan. Baru setelah itu aku jalan pulang sambil sebentar-sebentar menoleh ke belakang.
 

*

2 komentar: