Karya Narsis
Cah Angon
Laksmi Randa Harjo,
Ingatkah kau
Laksmi, saat pertama kita berkenalan di dalam kelas. Setelah Bu Sri
mempersilakanku duduk di sampingmu, sambil tersenyum kecil kau ulurkan tanganmu
menyambutku. Ku jabat tanganmu, kemudian kau sebutkan namamu “Laksmi Randa
Harjo”.... Lengkap tak bersisa kau perkenalkan namamu kepadaku. Dengan anggukan
ku balas serupa denganmu.
Ada sebuah
pertanyaan mengundang saat pertama melihatmu duduk seorang diri di sudut depan
kelas. Mula-mula kupandangi seluruh bagian kelas, ku cermati satu demi satu
teman-teman kita. Bu Sri berdiri tegak di sampingku membuka kelas, kemudian
menerangkan ada siswa baru yang akan bergabung dengan kelas empat kita. Semua
mata berfokus menatapku sejak aku dan bu Sri masuk beriringan ke dalam kelas –lebih
tepatnya tangan bu sri menggiring masuk di pundakku.
Kenapa sebuah
bangku kosong justru ada di depan? Sebuah keheranan menguasai saat pandanganku
sampai di sudut kanan paling depan. Di sekolah ku sebelumnya, jika ada bangku
kosong itu letaknya di belakang. Biarpun hanya diisi seorang murid saja. Selama
tiga tahun yang telah ku jalani, dari mulai kelas satu sampai kelas tiga, siswa
yang masuk di awal tahun ajaran baru pasti berebut bangku paling depan dan
menyisakan bangku kosong di belakang. Tapi di sekolahku yang baru ini, lebih
tepatnya di kelasku yang baru ini berbeda. Iya, ku katakan di kelas yang baru
saja, karena kelas-kalas lain tidak demikian. Setelah ku jumpai sendiri atau
melalui cerita-cerita mbakku, sebenarnya sama saja. Bangku yang biasanya kosong
itu ya di belakang.
Mungkin bu Sri
punya maksud tersendiri dalam mengelola kelas. Dan aku –juga kau dan
temen-temen sekelas kita– menurut saja dengan perintahnya. Karena memang bangku
kosong yang tersisa hanya yang semeja dengan mu.
Laksmi. Walau
telah lebih dari setengah dekade tak pernah menyapa atau sekedar mendengar
kabar tentang mu. Tapi nama itu tak pernah satu huruf pun pergi dari ruang
sunyi ini. Namamu, begitu krasan tinggal di hatiku.
Laksmi. Nama
indah penuh makna itu.
Aku lebih senang
memanggilmu demikian. Daripada seperti teman-teman lain yang memanggilmu
‘Miranda’. Nama ‘Laksmi’ lebih nyaman saja untuk ku ucapkan. Walau kau tak
pernah menjawab setiap ku tanyakan arti dari nama itu. Mungkin kau sengaja
merahasiakannya, atau belum kau dengar cerita orangtua mu. Tapi aku beranggapan
orang tuamu menamai ‘Laksmi’ bukan tanpa maksud bukan.
Aku sendiri
senang memanggil nama itu karena khayalanku akan legenda Laksamana Ceng Ho
–yang ku dapat dari cerita mbah kakung. Kamu pasti juga tau kan, siapa
Laksamana Ceng Ho. Aku kagum dengan ekspedisi luarbiasanya yang merajai lautan
dengan cara damai tanpa penaklukan. Walau pada awalnya kau risih dengan
panggilan itu, tapi lambat-lambat kau menoleh juga saat ku panggil.
Terkadang
senyum-senyum sendiri, saat mengingat masa itu. Kau begitu benci saat ku
panggil ‘Laksmi’. Kau kejar aku untuk memukul. Aku lari berputar-putar
menghindari pukulanmu. Hingga kau merasa lelah dan tak lagi mengejarku.
Diujungnya kau mengancamku untuk tak usah lagi duduk semeja.
Ah kejam kau
laksmi, teganya kau usir aku.
Tapi aku tak
pernah takut dengan ancamanmu.
Saat lonceng
tanda masuk kelas –setelah jam istirahat– berdentang dua kali, semua murid
berhamburan menuju bangku masing-masing. Aku sendiri dengan santai menuju
samping mu. Kemudian bu sri melanjutkan pelajaran. Di tengah bu sri sedang
menerangkan pelajaran, kau geser secarik kertas –yang kau sobek dari halaman
belakang buku catatanmu– ke arah ku. Biasanya aku pepura sedang memperhatikan
bu sri menerangkan. Kemudian kau sikut
lengan kiri ku. Tanpa
menoleh, ku seret kertas itu ke tengah catatanku.
“aku gak suka
dipanggil ‘Laksmi’, panggil aku ‘Miranda’ seperti yang lain”. kira-kira begitu
tulisannya, kalau aku tak salah mengingat.
“nama ‘Laksmi’
itu bagus, seperti nama-nama para petualang yang merajai laut dan samudera”,
bagitu ku tulis tanggapanku di bawah tulisanmu. Tapi kertas itu tak lekas ku
geser ke arahmu. Melainkan ku lipat dan ku selipkan di antara dua klem anak steplus yang melkatkan kertas sampul dan
buku catatanku. Setelah pelajaran selesai, bu sri telah mempersilakan kelas berkemas
untuk pulang, baru ku ambil kembali kertas itu dan kuulurkan kepadamu. Secepat
kilat kau rebut dari tanganku. Tanpa kau baca dulu, masuk ke kantong seragammu.
Berdo’a, beri salam dan berhambur kelaur kelas.
Esok harinya. Seperti
biasa kau seorang diri paling awal datang diantara temen-temen sekelas lainnya.
Kemudian baru aku muncul menyusul. Kudapati kau tengah asik dengan buku baru
mu. Melihat aku datang mendekat, kau melirik sebentar. Ku letakkan tas dalam
laci meja kita yang menyatu sambil memiringkan kepala. Maksudku untuk membacai
sampul buku yang terbentang di antara dua tanganmu. Belum sempat ku mengeja,
kau turunkan bukumu ke meja. Dan kilauan permata mendadak terpancar menyinari
wajah miring ku. Senyummu begitu berseri. Indah tanpa cacat. Simetris tanpa
tempang. Bersih tanpa noda. Terang tanpa silau. Teduh. Sungguh beda dari
biasanya.
“Aku mau
dipanggil ‘Laksmi’ sekarang”.. sambil menunduk malu kau ucapkan itu.
Sejak itu,
hari-hari kita menjadi indah. Tinggal satu catur wulan lagi kita akan naik
kelas lima. Tambah giat kamu belajar. Dan kau pun tak bosan memberi ku
nasihat-nasihat untuk tidak bermalas-malasan. Terkadang kau pun harus pulang
terakhir seorang diri, hanya untuk mengajari ku suatu rumus matematika yang
sulit ku pahami. Seandainya rumah kita searah, kau tak perlu pulang sendiri
Laksmi. Kita akan berjalan bersama tanpa ada suatu kekhawatiran ku. Kadang saat
kita berpisah di gapura ujung sekolah, sengaja ku tunggui kau sampai menghilang
dipertikungan jalan. Baru setelah itu aku jalan pulang sambil sebentar-sebentar
menoleh ke belakang.
*
Anak bona....
BalasHapusmaksute.
BalasHapus