Jumat, 16 Oktober 2015

Kita Kebingungan

Baru kali ini pose ku saat berfoto berhasil bener-bener natural. Aku tidak berperan sebagai apa-apa di sini. Hanya memerankan diriku saja.
Nasihat orang-orang tua pada ku: "dalam kebingungan, ubahlah posisi mu lebih dekat dengan tanah —jika saat kebingungan mu dalam berdiri maka jongkok lah, kemudian jika masih saja kebingungan ada maka berpegangan lah, jika masih juga ada maka duduk lah, dan jika tetap kebingungan terus coba rebahkan lah badanmu."
Di tengah kesamaan "bingung" yang kita miliki, marilah kita berpegangan tangan. Agar "kebingungan" itu menjadi lebih besar —karena kebingungan-kebingungan kita ini akan terakumulasi saat tangan-tangan kita berpegang-gandeng satu dengan yang lain— sehingga Tuhan akan menurunkan petunjuknya atas "kebingungan" besar-bersama yang kita miliki.
Tanah atau Lemah —disebut dalam salah satu bahasa suku Nusantara— bermakna ialah asal muasal kita manusia. Dalam kesamaan kata pada bahasa melayu —yang juga salah satu suku Nusantara— "lemah" berarti sesuatu yang tidak punya daya. Maka dalam nasihat orang-orang tua itu, saat terjadi kebingungan perbanyaklah mengingat asal muasal. Di mana saat itu kita hanyalah "lemah" yang tidak punya daya. Maka dalam kondisi lemah tak berdaya yang disadari sama-sama, saat itu hanya petunjuk Tuhan yang diharap.
Maka tidak ada daya dan upaya melainkan hanya dari Tuhan datangnya.
#bacalah
#nusantara
#diperjalankan

Senin, 12 Oktober 2015

Sri: Siswi SABETA Nusantara

Nama ku Sri Nova. Nova adalah salah satu fam —marga— dalam suku Galela. Semua suku asli Maluku Utara menggunakan nama fam di belakang nama-nama asli setiap generasi yang lahir. Budaya ini turun-temurun hingga sekarang. Menjaga budaya, menjaga nama baik leluhur menjadi kewajiban bagi setiap generasi yang hidup di tanah dan air Maluku Utara.

Aku tinggal bersama kedua orang tua ku di desa kecil bernama Geti Lama. Desa yang telah membesarkan aku yang bungsu bersama kedua kakak ku. Sebagai anak perempuan bungsu, saat ini hari-hariku tak luput dari membantu kedua orang tuaku yang kerepotan menafkahi keluarga. Papa ku bekerja serabutan. Kadang bekerja membelah kayu, kadang juga mencungkil kelapa milik saudara-saudara papa dan mama, kadang juga menjadi ojek laut menggunakan ketinting peninggalan tete —kakek.

Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah aku berkeliling desa untuk menjual roti garu —roti tawar yang berbentuk seperti buah ketapang utuh berlumur gula pasir yang dicairkan. Roti garu dibuat mama ku saat malam hari. Ku temani mama sambil belajar mata pelajaran yang akan diajarkan esok hari di sekolah.

Roti garu yang ku jual laku sekali. Karena sudah menjadi kebiasaan warga desa Geti hanya sarapan dengan kue dan minum te —teh. Terkadang belum sampai pukul 07.00 WIT, aku sudah pulang dengan bokor —toples—  yang sudah tak berisi. Bahagia ku dapat saat pulang dengan bokor yang telah ringan. Baru setelah berjualan aku bergegas mandi dan langsung berangkat sekolah.

Aku tidak sarapan di rumah, melainkan membawa bekal ke sekolah yaitu satu botol air te dan dua buah roti garu yang sudah disiapkan mama saat aku sedang berjualan. Sehingga di sekolah aku tidak lagi jajan.

Oh iya, aku sampai lupa. Nama sekolah ku SD Negeri Geti Lama. Saat ini aku duduk di kelas lima. Kami belajar itu selalu digabung dengan kelas enam. Satu ruangan dengan satu guru dan materi pelajaran yang selalu sama. Bahkan dalam belajaran kami tidak bisa membedakan mana pelajaran kelas lima dan mana pelajaran yang kelas enam.

Namun kami bersyukur dapat belajar dengan tenang di sekolah. Terlebih saat bapa guru memperkenalkan kami dengan Sahabat Pena. Mereka sudah melengkapi kekurangan guru di sekolah.

Dengan adanya Sahabat Pena yang kami namai SABETA (Sahabat Beta) Nusantara, kami lebih semangat lagi untuk datang ke sekolah dan lebih giat dalam belajar. Mereka adalah teman-teman sekaligus guru kami yang berada di luar Maluku Utara. Ada yang di Medan, Padang, Lampung, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Solo, Malang, Blitar, juga ada yang di luar negeri: Jepang.
Menyenangkan sekali bisa berkirim surat dengan mereka. Kami jadi tau tentang kota-kota besar. Tentang gedung-gedung yang tinggi dan tentang keramaian di kota. Kami juga berbagi kabar tentang keadaan alam di desa kami. Menurut surat balasan mereka yang kami baca, begitu senang mereka dapat surat dari kami. Sama, Kami pun senang. Dan mereka keheranan dengan cerita tentang desa kami yang tidak ramai seperti tempat tinggal mereka.

Saat pulang dari sekolah kalau tidak ada jadwal les, kami selalu berjalan ke kebun untuk mengambil kelapa, sayur dan kadang juga ambil kayu bakar. Daun paku, daun kasbi (singkong), kangkung, juga daun atau bunga pepaya dan sayur-sayur lain berlimpah di kebun-kebun kami. Sebenarnya kami masyarakat Maluku Utara tidak begitu suka dengan sayur-sayuran. Kami lebih suka makan ikan. Sehari saja kami tidak makan ikan, badan kami serasa soak —lemas. Ini karena desa-desa di Maluku Utara terletak di pantai-pantai. Hidup kami tidak bisa lepas dari laut. Kami begitu mencintai laut dengan gugusan pulau-pulaunya. Hal ini lah yang menyebabkan kami lebih banyak mengkonsumsi ikan daripada sayur-mayur. Tapi kata pa guru, kita mesti menjaga keseimbangan gizi. Untuk itu kami rajin mengambil sayur.