Selasa, 17 Oktober 2017

Antara Ada dan Tiada Pribumi

Oleh: Mayoe





Hari ini saya senang sekali, membaca timeline begitu ramai dengan kata “Pribumi”. Betul-betul menyenangi kata ini, dengan kesejatian maknanya.

Karena memang bumi yang sudah tua ini telah kehilangan peri-perinya. Susah dan memang amat susah untuk menjumpai pribumi di jaman begini. Tapi memang begitulah pribumi, ia penakut dan pemalu. Dengan itu ia selalu bersembunyi dari apa saja, bahkan dari diri mereka sendiri.

Kenyataannya pribumi selalu gagal bersembunyi. Selalu saja ketahuan, setidaknya ketahuan oleh diri sendiri. Dengan kegagalannya ini, para pribumi merasa diri tiadalah sempurna hidup di dunia ini. Dan parahnya ia pun tahu, bahwa tidak akan sampai ia pada kesempurnaan.

Alih-alih menghibur diri atas kegagalan dan kesedihan yang terus membuntut, para pribumi banyak melakukan penyamaran dengan berbagai cara. Bahkan terkadang penyamarannya sampai menjadi pendatang (tamu) atau bahkan asing di bumi yang ia pelihara sendiri. Lebih baik dianggap lain atau asing, namun tatanan tetap terjaga dan terkontrol olehnya. Dari pada kesejatiannya sebagai pribumi diketahui, dan apalagi sampai diakui. Hal ini akan lebih meresahkan baginya. Karena bisa saja, perburuan terhadapnya menjadi lebih nyata. Hingga kerusakan akan tumbuh lebih cepat di mana-mana.

Beginilah sedikit keruwetan hidup pribumi. Tapi sebaliknya terjadi di jaman ini, begitu banyak yang ingin didaku sebagai pribumi, utamanya terjadi di Indonesia. Padahal dahulu, di jaman Belanda masih hidup bersama-sama satu darat satu lautan, julukan pribumi di Hindia kala itu seolah begitu kotor, hina dan rendah sekali.

Dan kemarin (16/10) pak Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta baru) perlu mendapat banyak terimakasih dari para Pribumi. Karena mereka telah beliau sebut-sebut, hingga membuat geger se-Kahyangan Maya ini. Padahal mereka—Pribumi sendiri—sungguh tak banyak bicara, dan sungkan bahkan takut untuk mendaku sebagai Pribumi.

Berkat Pak Anies yang cukup pandai mengolah kata dengan literasinya yang luas, nama pribumi menjadi diperbincangkan kembali. Bahkan dengan tanpa malu-malu dan juga telah dengan didaku-daku.

Ada yang mendaku, bahwa pribumi sebagai sebutan untuk siapapun yang mbrojol di suatu tanah tertentu dan mendiaminya hingga usianya cukup dewasa. Ada juga yang mendaku bahwa tidak ada manusia pribumi di bumi ini, semua adalah perantau dari kampung surga, yang diminta merantau ke bumi karena telah membuat kesalahan: makan buah kuldi.

Dan kedua pendaku ini selalu melakukan pertengkaran, dan merasa diri lebih benar dan baik. Tidak ada beda dengan para saudaranya yang Belanda pada masa sebelum tahun 1945 itu. Artinya memang kedua pendaku ini telah mengalami kehilangan pribumi dari dalam diri masing-masing. Karena pribumi tak pernah mengaku, lebih banyak pemalu bahkan penakut. Namun ialah kesatria yang menyamar dan bergrilya menjaga tatanan bumi agar terpelihara asri dan lestari.

Pak Anies, yang bapak sebut-sebut beberapa kali dalam pidato kemarin semoga benar-benar dan bukan sekedar dari literasi sejarah belaka. Tapi semoga hasil dari kontamplasi bapak atas kesejatian Pribumi tersebut. Dan lebih berharap lagi, semoga kata 'Pribumi' yang coba bapak bumikan kembali ini, bukan karena kepentingan praktis semata ya pak.

Saya yakin, literasi bapak yang cukup luas dan kontamplasi yang cukup dalam, akan cukup juga membuat bapak bertambah kharismanya. Dan nyata, itu saya lihat langsung di senyum perempuan muda berpakaian Betawi kuning yang mendampingi bapak pidato politik pasca pelantikan menjadi Gubrnur DKI Jakarta kemarin. Setiap olah kata bapak yang menyentuh hati, perempuan muda itu lantas sumringah dan tersenyum. Sungguh pak, saya kesem-sem dengan senyum itu. Eh, kebablasan pak, soooorrriiiii yo pak... :D

Kamis, 12 Oktober 2017

Tidur dan Bangun Sadarku



Tidur dan Bangun Sadarku

Datanglah kepada malam yang kelam,
dan beristirah dalam jenak wajah pepohonan
di kaki gunung-gunung yang temaram
dibalik terang pelita dan teduhnya rembulan, 

hingga terlelap dari mata gelap
dan terbaring ditepi suatu jalan
panjang, nafas usia menjelang genap
suatu hidup ditata hari-hari depan. 

Dan bayang-bayang ketiadaan diri
atas lebur yang terhambur dalam tidur
digenggaman tangan alam penguasa hati
dan fikiran pengembara tetesan peluh-peluh yang membelur

sekujur tubuh, di bawah selimut kasihsayang, 
bercengkrama manja di atas tilam cinta
dan tersedu-sedu haru direguk bantal rindu.

Dan sadarku
tidur dan bangun
ditimang dan belaian
lembut tangan
Tuhan

Mayoe
Yogyakarta, 12 Oktober 2017

Minggu, 01 Oktober 2017

Kerendahan Dipuncak Saba



Kerendahan Dipuncak Saba

Didini fajar hari yang menjelang ini
duduku dilereng Sindoro selatan bertengadah
bersama rimba yang menderas dari puncak sunyi
saba menelusuri akar, batang, daun,  bunga dan buah tabah

yang tak henti mengalir hingga kering
di riuh kerendahan jantung kota
yang berdegup semakin cepat mengalahkan waktu berdenting
di ujung runcing seruling kereta sangkala. 

Lubuk ini, tetaplah mengabut dingin dan menyelimut
tanah air ketenangan diri yang hingga cakrawala
menghamparkan permadani kasih bertaut-taut
memagut sejuk siang malam udara berbelas sesakkan dada

dan mengundang basah dintara halimun dan bintik embun
di wajah rendah perdu yang menggigil menanggung gelisah
hidup di luar diri berayun dan berduyun-duyun
menyongsong kilau fatamorgana yang resah dan tak lelah-lelah

di segala mata, di tiap tatap dan sorot cahaya 
jatuh membias di selaput bening
hati para kekasih yeng terlena
dan alpa dari hening

Mayoe
Wonosobo, 1 Oktober 2017 M
11 Muharram 1439 H