Jumat, 26 Januari 2018

Hiduplah yang Hidup Matilah yang Mati




Hiduplah yang Hidup Matilah yang Mati

Tuhan 
betapa ngeri kulihat fitnah dajal 
berseluet membayang di bawah mata
hari senja keemasan peradaban manusia
hampir-hampir menggapai mimpinya
pada gulita malam yang datang

Saling bertengkar mendaku kebenaran seorang
jalan sempoyongan membentur-bentur 
berlalu mabuk mencari suka
mencari sepihak sepahaman perasaan
keseragaman yang agung untuk menghidupi
kematian-kematian berkobar menyala-nyala 
membakar kehidupan

Kematian hiduplah kau 
tumbuh kembanglah kau penuhi muka bumi ini
Dan kau kehidupan bersiaplah dibakar selimut
kehidupan Ibrahim yang gagah berani
menarik hati kesabaran dan pengorbanan
dambaan

Para semut-semut keluarlah dari goa-goa sepimu
di persembunyian bawalah air di kantung tubuhmu
padamkan api yang membakar ibrahim
itu, seluruh air tubuhmu hamburkan ke dalam api
kematian itu, matikan! 

Hiduplah kau yang hidup lawan! 
Lawan arus itu wahai ikan-ikan lompati  gelombang
gelombang yang menjilat-jilat itu hingga habis
daya hidupmu dan matimu akan hidup 
sehidup-hidupnya kehidupan

Mayoe
Yogyakarta, Januari 2018

Rabu, 24 Januari 2018

Surat Puisi I



Surat Puisi I
Sapardi Djoko Damono

Esai ini terbit di Mingguan Pelopor Yogyakarta menjelang peluncuran Persada Studi Klub, rubrik sastra asuhan Umbu Landu Paranggi. Saya salin dari klipingan dari arsip pribadi seorang sastrawan; Suwarno Pragolopati, yang sekarang disimpan di Perpustakaan Ean Yogyakarta, bersama arsip-arsip lain yang beliau kliping. Sumonggo, menawi manfaat. 

Kenapa orang menulis puisi, tanyamu pada suatu hari. Kenapa orang masih juga menulis puisi, meskipun puisi tak lagi memberi untung baik prestise maupun materiil kepada penyairnya? Mungkinkah orang menulis puisi hanya karena kesombongan yang palsu untuk disebut pujangga, sebab jaman yang lampau dulu kedudukan pujangga sangat tinggi di tengah masyarakat? Apakah puisi itu bukan hanya hasil kerja orang yang tak punya kerja saja? 

Aku takkan marah padamu, walau aku ada dipihak mereka yang mencintai puisi. Mereka yang menolak puisi dan belum pernah sekalipun paham makna puisi, akan memberontak apabila dituduh kurang berpengetahuan. Sedang mereka yang tak punya sangkut paut dengan puisi, tapi bisa memahami puisi, diam-diam akan merasa bangga jauh dalam lubuk hatinya. Kau jangan menolak kebenaran itu! Diam-diam dalam kelasmu kau tentu merasa superior diantara teman-temanmu hanya karena karena kau tahu puisi dan mengerti serba sedikit tentang puisi. 

Tak ada seorangpun yang bisa membantah bahwa penyair adalah anggota masyarakat. Penyair adalah sebagian dari masyarakat yang takkan berguna pada apabila Ia samasekali terpisah darinya. Iapun turut memahami pahit getir dan bahagia masyarakat, dan mampu memahami dan menghayati sebagai seorang yang sedikit banyak. Dan seperti orang lainpun Ia menghadapi pelbagai persoalan dan masalah yang tak habis-habisnya mengancam dari segenap jurusan. Lewat puisinyalah Ia ingin agar orang lain bisa mendengar keluh, tangis, dan tawanya dalam jawabannya terhadap persoalan tersebut. 

Penyair adalah orang yang selalu ingin bicara kepada seorang lain. Yang ingin mengatakan segala-galanya, agar segala orang biasa mengambil bagian dalam masalahnya. Sebuah sajak adalah suatu jeritan dari seorang yang ingin memecahkan sunyi yang melingkupi dirinya, agar orang lain bisa percaya dan memahaminya. Jadi sajak adalah kurang lebih penghubung antara si penyair dan pembaca sajaknya. Sajak adalah alat komunikasi. Seperti juga kau. Kalaubpada suatu saat terjerat pada suatu masalah yang rumit dan menekan, kau selalu ingin mengatakan itu kepada orang lain agar bisa lebih lega terasa. Tapi pada saat itu pula kau tak sadar bahwa kau butuh berhubungan dengan orang lain. Begitu pulalah kira-kira sebuah sajak terlahir. 

Alat seorang penyair adalah kata, kata dan kata. Segala seluk beluk dan penjuru tentang kata itu harus Ia kuasai benar-benar, untuk bisa mengajak kita bercakap tentang apa saja dengan baik. 

Tapi, tanyamu, kenapa pula sajak-sajak itu biasanya sukar ditangkap maknanya? Apa termasuk kesombongan penyairkah untuk menyusun bahasa yang sulit diketahui oleh orang lain? Awas, kita sampai di tikungan yang berbahaya. Sajak yang gagal sebagai alat komunikasi adalah sajak yang gagal. Tapi apabila dalam menghadapi sebuah sajak dan kau tak bisa mengetahui maknanya jangan terburu menuduh: sajak itu gagal! Nanti dulu, nanti dulu. Ada syarat tertentu untuk bisa menerima sajak dengan baik, ini menyinggung intelek dan imajinasi. Yah, tak pernah ada tuntunan terhadap setiap orang untuk bisa menerima sajak dengan baik, sebab tak pernah ada saat kapan setiap orang bisa memahami syarat tersebut. Jangan kau kira bahwa hanya kekuatan intelektual saja yang perlu didikan. Kekuatan imajinasi juga perlu didikan. Sedang engkau tentunya juga bernasib malang sepertiku dulu tidak pernah menerima didikan untuk mengembangkan imajinasial tatkala di sekolah. Tak usah kau kutuk sistem pendidikan kita ... guru-guruku dulu hanya mendidikku dalam mengembangkan daya intelektualku saja. Dan bagi mereka yang tak sempat mengembangkan daya imajinasinya di luar lingkungan tembok-tembok sekolah, tentunya tak bisa dengan mudah menerima puisi, atau juga hasil seni yang lain. 

Sajak adalah alat komunikasi. Dan alat untuk menciptakan sajak itu adalah bahasa. Bahasa yang imajinatif. Aku tahu; buku-buku yang kau hafal tiap hari buat ulangan-ulangan sekolah adalah bahasa yang menggunakan bahasa nonartistik. Itulah pula salah satu sebab kenapa sajak sukar bagimu. Dan sekarang akan kucoba berurusan dengan contoh-contoh. Dalam mata pelajaran ilmu bumi alam kau akan membaca keterangan tentang Mega sekira-kira sebagai berikut:

Mega: uap air yang naik ke langit dan kemudian menjadi air. 

Lihat Mega, lain sama sekali Ia. 

Tapi seorang penyair yang memandang menulis seperti berikut:

Mega putih adalah tampungan segala bencana. 
Mega putih telah lewat. 
Maut menunggang di punggungnya. 
Mega putih adalah musyafir yang kembara. 
Kalut dalam tempuhan angin. 
Binasa dalam kesepian, juga biru. 
Tiada bapa, tiada bunda. 
Tanpa kasih tanpa cinta! 
(Mega Putih, W. S Rendra) 

Itulah beda antara ilmu pengetahuan dan puisi. Dalam ilmu pengetahuan orang harus bersifat analitis, sedang dalam puisi orang selalu melihat hubungan antara benda-benda.  Puisi adalah suatu keseluruhan yang tak bisa dipisahkan. Merasa agak sedih setiap kali kau memintakan buat menerangkan makna sajak sebaris demi seanalisa, sebuah sajak mulai memecahkannya, begitu hancur baris. Begitu Ika muli mengarang sajak itu sebagai sajak. Ia berhenti sebagai sajak di situ. 

Engkau barangkali akan menuduh lain lagi, masalah yang dibawa penyair kalau begitu yang tak wajar. Artinya tak bisa dimengerti orang. Tidak sama sekali tidak. Seorang penyair selalu bercakap tentang segala sesuatu yang berpegang pada pengalaman manusia. Kalau ada seorang penyair yang mencoba memutuskan hubungan sama sekali dengan pengalaman manusia itu atau kebudayaan masyarakat, Ia sudah tak normal lagi. Barangkali juga sikap dan pandangan-pandangan hidup orang yang menulis syair itu lain dengan sikap dan pandanganmu. Tapi tak berarti apa-apa! Orang hanya bisa menerima kenyataan-kenyataan dan kebenaran. Kan bagaimanapun juga belajar membukakan dirimu untuk mengerti adanya kenyataan-kenyataan lain yang kadang-kadang sama sekali lain dengan apa yang selama ini ada dalam pikiranmu. 

Ku harus tidak takut kepada kebenaran yang menghadapi dirimu. Jangan gemetar kau kalau kau baca sajak pendek dari Jepang ini:

Mimpi sayang dengarlah
pimpiku
jangan kau bawa daku
bersama
dengan orang yang kucinta 
sebab apabila aku nanti 
terjaga
akan terasa: betapa sunyinya! 

Itulah kebenaran, bukan? Yah, sudahlah kau tak usah terus menerus menerjang puisi, dan akupun tak perlu pura-pura yakni bahwa setiap orang bisa menyelami puisi. Akupun sudah lama tahu kenyataan ini; puisi memang kadang terlalu sukar "atau agak remang" bagi sebagian besar orang kebanyakan, pada jaman ini; atau pada jaman kapanpun. Seperti juga engkau masih banyak mereka yang mengeluh tentang kesukaran.  ... usaha yang tak gampang. 

Para penyairpun maklum bahwa puisi mereka hanya bisa diterima oleh segolongan tertentu dalam masyarakat saja. Mereka tidak menuntut apa-apa hanya dalam hati kecil mereka secara diam-diam mereka berharap agar bisa bercakap dengan golongan yang lebih luas lagi. Seorang penyairpun seharusnya insyaf bahwa golongan itu masih menyempit, artinya bakal kehilangan tempat di sini. Ini bisa terjadi apabila penyair mulai menggunakan bahasa yang menyerupai kode, lambang atau simbul yang hanya dimengerti oleh segolongan orang saja, beberapa orang saja. Sedang masyarakat luas tak punya kuncinya sama sekali. Di sini pula sajak sebagai alat komunikasi telah gagal. 

Para penyair modern, dalam mencari kepribadiannya sendiri, telah menolak segala sesuatu yang konvensionil dan tradisionil. Beberapa penyair telah begitu hebatnya memberontak, sehingga Ia sampai pada suatu bahaya besar. Kehilangan kontak dengan masyarakat. Me ... untuk memisahkan diri dari masyarakat. 

Tapi tidak! Selama manusia diam-diam masih mempunyai keinginan untuk selalu berhubungan dengan orang lain, selama itu pulalah masih lahir sajak-sajak. Dan selama itu pulalah masih ada orang yang bersedia membukakan diri bagi suara orang lain. Tak perlu dielakan kenyataan bahwa problem sebagai alat komunikasi adalah problem yang abadi bagi puisi. 

Pada akhirnya aku perlu mengingatkanmu bahwa penyair bukanlah filsuf. Renungan yang dalam saja belum cukup, pikiran yang muluk-muluk saja belum cukup buat melahirkan puisi. Dan pada suatu ketika kau akan sadar, bahwa setelah membaca satu atau dua sajak yang agung, kau merasa sedikit tak enak. Itulah salah satu ciri sajak besar. Manusia selalu merasa tak enak dihadapkan pada kenyataan, terus terang, pada kebenaran yang blak-blakan. Tapi kau harus, atau setidaknya berusaha begitu. Jangan takut. Salam. 

Selasa, 16 Januari 2018

Layang-layang Kesayangan

Gambar diambil dari web thinglink.com

Layang-layang Kesayangan

Waktu kecil aku bermain layang-layang
dibuatkan kakek dari buluh pilihan.
Dengan hati-hati kakek meraut, dan menimbang
di beranda masjid, sambil berkisah nabi dan rasul Tuhan. 

Ku terbangkan dengan benang gelasan yang panjang
sambil bersiul menirukan bunyi buluh bergesekan
di dalam rumpun. Melengking memanggil angin datang
untuk meniup layang-layang ku terbang di ketinggian.

Untuk menjumpai Tuhan
benanngnya kisah nabi dan rasul yang panjang
dari masa ke masa, seperti di dalam Alquran. 
Begitu kakek bilang, sambil mengajariku mengulur benang, 
pelan-pelan supaya tidak melukai tangan. 

Layang-layang ku terbang dengan tenang
ke kanan dan ke kiri menjaga keseimbangan.

Saat angin bertiup pelan, ku tarik benang
supaya layang-layang bergerak pada ketinggian. 
Saat angin bertiup kencang, ku ulur benang
supaya semakin jauh layang-layang kuterbangkan. 

"Kek, apa Tuhan bermain layang-layang?"
"Tuhan pemilik semuanya, termasuk layang-layang kesayangan."
"Aku mau jadi layang-layang Tuhan, yang paaaaaaaaaling disayang."
"Jadilah layang-layang yang memiliki dan menjaga keseimbangan. 
Supaya kau dapat terbang dengan tenang, bertemu Tuhan yang maha penyayang"

Mayoe
Yogyakarta, 15 Januari 2018

Senin, 15 Januari 2018

Derik Daun Pintu Menganga

Gambar diambil dari situs web pixabay.com


Derik Daun Pintu Menganga

Betapa ngiri mendengar rintihan 
orang-orang tua mengkhawatirkan
bayang-bayang daun pintu kematian.
Sewaktu-waktu engselnya berderik 
mengejutkan. Membangunkan tidur yang lelap.
Terperanjat, mengangakan mulut. Pintu terbuka, 
didorong ketiadaan. Berhembuslah angin gelisah.

Berputar-putar sebentar, melakukan ritual. 
Lalu menggedor, memanggil dan mendobrak
masuk ke dalam inti hati. Membujuk, merayu, mengajak,
mengancam dan berbagai lain penjemputan; diseret 
atau dipapah bagai batang, ditebang 
dengan cinta atau siksa.

Tua, betapa menjadi tanda untuk memancang
kewaspadaan. Tapi, betapa lemah seketika 
muda tak habis-habis menyesap candu
kejutan, dari doa yang mabuk lamunan.

Apa harus menjadi tua 
untuk sekedar merintih khawatir. Dengan pintu
kematian berderik sepanjang waktu
memberi kejutan yang tak habis, di dada.

Degupku masih belum sembuh
dari candu kejutan-kejutan, yang mendidihkan
darah mudaku. Menguap mengawang, berterus kambuh
mabuk kekaguman.

Mayoe
Yogyakarta, 15 Januari 2018

Jumat, 05 Januari 2018

Gerak Sepi Itu



Gerak Sepi Itu

Lihatlah bunga yang semi ini. Indah bukan? Tapi betapa sepi mereka. Tiada memiliki teman, yang datang dengan membawa kasih. Sesekali saja ada manusia yang lewat lalu mendekat untuk melihat dan pergi lagi, begitu saja. 

Ia tak ubahnya ribuan bunga atau rumput lain di tepi jalan. Tetap saja liar dan tak ada yang mengenalnya. Ia pun tak mengenal siapa-siapa. Kecuali para serangga yabg datang hanya pada saat kelopak-kelopak cantiknya merekah. Dan serangga-serangga itu melakukan hal yang sama kepada bunga-bunga lain. 

Apa daya, Ia bergantung dengan akar yang memakunya. Sekedar menghindar dari serangga adalah kemustahilan dan pengingkaran. Pergi kepada manusia--yang katanya penuh kasih--sama dengan menyerahkan pada kematian. Sedang melepas pakuan akar, ah tak ada bunga seradikal itu.

Tapi Ia begitu tabah, menanti hingga layu dan datang lagi benih baru. Terus begitu, hingga pada suatu hari Ia menangkap suatu gerak yang berbeda, gerak yang tak biasa, gerak yang ganjil dan unik. Gerak itu lembut tapi penuh daya. Terkadang gemetaran seolah ragu dan tak begitu tegaan. 

"Gerak apakah itu?" Bunga bergetar. 

Selasa, 02 Januari 2018

Super Moon Datang



Super Moon Datang

Super moon datang
para lamun menyambut dengan bergelenyut
menari diantara gelombang pasang
menepi, tinggi dan tenggelamkan pikiran kalut

Super moon datang
padang lamun berpesta dansa
berpasang-pasang bunga-bunga malang
menyemai benih-benih cinta lama

Super moon datang
dengan anggun, wajahnya mengadu
hembusan nafas, dalam dada bergendang
menyentak irama, pergulatan cinta yang menggebu

Super moon datang
mengundang rob, meluapkan kenangan
bergeremat melumat bibir merah matang
mendesak pemukiman rasa yang tertinggalkan

Super moon datang
'ku pasrahkan lamun tenggelam
berdiri dibenam wajah tenang 
menarikan harapan kepada malam

Mayoe
Yogyakarta, 2 Januari 2018