Sabtu, 27 Oktober 2018

[Ada sesuatu yang Lembut Menyentuh-nyentuh Bagian Paling Peka di Balik Dada]



Bagi masyarajat Tolaki tari Mondo Tambe adalah sebuah tari penyambutan bagi tamu agung. Seperti halnya daerah lain, penyambutan dengan tari merupakan kebanggaan tersendiri. Maka sudah menjadi pribadi bagi jiwa Nusantara, menjunjung tamu selayaknya raja. Juga sebuah kesan berharga bagi tuan rumah, saat tari penyambutannya berkesan dan berhasil membuat tamunya merasa terhormat.

Pada kesempatan ini, tari Mondo Tambe menjadi kesan yang berbeda. Berlatar tepi sungai Latoma yang berhias lantai batu-batu alam dengan gemericik alirannya. Air yang jernih, langit yang cerah dengan keceriaan wajah lugu anak-anak desa di musim kemarau panjang. Merekalah siswi SD Negeri Amboniki.

Sejak kecil aku tak cukup tangkas mewujudkan sebuah karya seni. Walau sungguh aku cukup senang bahkan menikmatinya. Tetapi untuk menuangkannya dari lubuk intuisi menjadi gerak-gerak lentik nan estetis, sungguh lebih baik suruh aku mencangkul dua-tiga petak sawah. Ini jauh lebih mudah walau akan banyak juga keluh kesahku. 

Namun saat menjadi Pengajar Muda begini, aku dituntut untuk memutar isi kepala, demi melayani minat, bakat dan semangat anak-anak. Melatih tari Mondo Tambe ini salah satunya. 

Jangankan pernah menarikannya, melihatnya saja baru saat salah satu anak mempraktikkan di depan kelas. Baru kemudian satu anak itu kuminta untuk melatih teman-temannya. 

Bersyukur anak-anak tak perlu bersusah payah belajar dari awal. Karena pada tahun lalu sebagian mereka sudah belajar menari Mondo Tambe kepada pelatih ulungnya; Diyan Purnama. 

Dari itu aku hanya perlu mendampingi dan mengoreksi setiap gerakan dengan acuan salah satu anak yang ternyata cukup berbakat, cukup menguasai dan bahkan kukira cukup menjiwai; Naila Aulia (Kelas Lima). Dalam video ini, Naila berpostur paling tinggi. Tentu cukup nampak keluwesannya menari, bukan? 

Sudah beberapa hari ini, Naila melatih teman-temannya. Mereka berlatih untuk menghadapi lomba tari tradisional yang akan diadakan pada sebuah perjusami; Latoma Fun Camp (LFC), pada 9 s.d 11 November mendatang. Dengan semangat tinggi mereka selalu mendesakku untuk mendampingi setiap latihan. Tidak memandang tempat mereka berlatih; kadang di sela waktu istirahat sekolah atau setelah pulang sekokah sambil bermain di sungai. Seperti pada video ini. 

Satu hal yang membuatku tak henti memutar kembali cuplikan ini--selain latar tepi sungai yang begitu menyatu baik dengan tarian Mondo Tambe itu sendiri, dengan semangat belajar dan berlatihnya, maupun dengan gerak-gerik lentik dan kepolosan wajah anak-anak--yaitu latar lagu dan musik yang tanpa sengaja terputar dari mini sound yang kubawa; mengalun "Apa Saja" yang dinyanyikan Uni Titi Rajo Bintang, berhasil membuat suasana semakin lembut menyentuh-nyentuh bagian paling peka di balik dadaku. 

Jumat, 05 Oktober 2018

[Dalil Pendidikan]


Siang tadi dari sebuah group gerakan mengajar yang pernah aku terlibat di dalamnya (@pemudapenggerakdesa), salah satu teman yang sekarang juga menjadi @pengajarmuda XV penempatan Kabupaten Natuna (@uswatunchasanah08) menanyakan tentang 'Dalil Pendidikan' yang pernah kami pelajari saat Pelatihan Intensif Gerakan Desa Cerdas di Halmahera Selatan  beberapa tahun lalu. Tentu sebagian besar kami dengan mudah mengingat. Karena saat pelatihan dulu setiap ada poin penting yang kami pelajari, selalu ada nada pelafazan dan gerak tubuh yang khas. Sehingga kalau kesulitan mengingat kata-katanya, akan terbantu dari mengingat nada atau gerakkannya. Jawaban yang terkumpul begini:

Lima Dalil Pendidikan
1. Semua Berbicara
2. Semua Bertujuan
3. Pengalaman Sebelum Penjelasan
4. Hargai Setiap Usaha
5. Jika Layak untuk Dipelajari, Maka Layak untuk Dirayakan.

Dari itu, mengingatkan kegiatanku di desa minggu lalu sebelum turun ke Kabupaten. Atau bertepatan sebelum gempa Palu dan Donggala terjadi. 

Rabu pagi aku baru naik dari desa Latoma (desa penempatan @legi_oktaputra) ke desa Amboniki, penempatanku sendiri. Sengaja aku naik dengan santai, karena memang di desa sudah ada dua Guru Garis Depan yang tengah mengisi kelas. Maka kusengaja untuk mampir ke sekolah yang terlintasi sebelum sampai di desa. 

Selain ada perlu untuk konfirmasi pengunduran kegiatan Belajar dan Bermain yang seharusnya kami lakukan di sekolah tersebut pada minggu itu, karena ada suatu aral melintang, sekalian saja untuk bersenang-senang dengan para siswanya. 

Oh iya, sekolahnya bernama SD N Waworaha. Alhasil, kami bermain dengan daun pisng kering, yang kami sulap untuk menjadi peta Indonesia. 

Sebagai pertanyaan awal pada siswa saat perkenalan, kutanyakan tentang peta Indonesia, mulai dari jumlah pulau--minimal pulau-pulau besarnya--sampai nama-nama pulau yang mereka ketahui. Hanya beberapa yang menjawab, dan rata-rata meleset; Sulawesi Tenggara mereka sebut sebagi salah satu pulau. Tentu mereka tak salah, hanya perlu jawaban yang presisi. 

Maka kutantang mereka untuk membuat gambaran umum Indonesia melalui peta kecil sederhana. Dengan drama keluh kesah menyatakan tak sanggup, mereka merespon tantangan dariku. 

Namun kemudian, kuberikan klu dan fasilitas kepada mereka untuk membuatnya. Yakni mereka hanya tinggal menjiplak puzzle peta yang sudah kubuat ke atas daun pisang kering yang banyak tersedia di halaman sekolah. Tantangan serupa juga pernah kulakukan kepada anak-anak di desa penempatanku sendiri. Nah, karena hasilnya cukup menggembirakan (memberi dampak baik bagi pengetahuan dan proses belajar siswa), maka ada baiknya jikalau ini juga kubagikan ke sekolah tetangga. 

Lantas kaitannya dengan 'Dalil Pendidikan' bagaimana? 

Baiklah, dengan sederhana kegiatan menjiplak peta ini ada beberapa tujuan yang akan kucapai. Yakni dengan membuat dan langsung menuliskan nama pulau-pulau yang ada di Indonesia, anak-anak tidak kesulitan untuk menyebutkan kembali nama-nama pulau beserta letaknya. Pulau mana bersebelahan dengan pulau mana. Selain itu anak-anak menjadi aktif semua, karena sebelumnya sudah dibagi tugas masing-masing dalam kelompoknya. Di mana satu kelompok terdiri dari dua siswa. 

Nah, ini bukannya dekat dengan 'Dalil Pendidikan': Semua Bertujuan. 

Adanya menjiplak peta pada daun pisang, yang mana anak-anak belum tau itu akan diapakan, karena ada instruksi setiap tahapnya:

Pertama; kita pinjamkan alat berupa gunting atau pisau potong kepada setiap kelompok. Dilanjutkan mencari daun pisang kering di sekitar sekolah. 

Kedua; kita pinjamkan puzzle yang sudah kita buat kepada anak-anak. Kalau puzzle nya perpaket dan banyak, boleh setiap kelompok dapat meminjam satu paket. Namun jika tidak mencukupi, minta anak-anak untuk bergantian menjiplak. Satu kelompok bertukaran puzzle yang sudah dijiplak dengan kelompok lainnya, hingga semua selesai dan lengkap menjiplak. 

Ketiga, kita pajang peta Indonesia utuh di depan kelas, dan minta perwakilan kelompok untuk melihat dengan cermat dan mencocokkan setiap pulau yang telah mereka buat. Sejalan kemudian, setiap kelompok diminta untuk mengambil kertas hvs untuk menempelkan pulau-pulau yang telah dibuat. Tentu menempelkannya sesuai dengan peta yang terpajang di depan. 

Keempat; kita akan memberikan nama setiap pulau, boleh mulai dari wilayah Indonesia Timur atau sebaliknya. Minta ana-anak untuk mengikuti petunjuk dari kita yang sudah terlebih dahulu menempelkan potongan kertas pada setiap pulau. Di mana potongan kertas tersebut sudah ada nama pulaunya. Boleh juga saat menyebutkan nama pulau sambil menempelkannya, nada suara kita dibadakan. Minta anak-anak untuk mengikuti nada tersebut. 

Dari setiap tahapan itu, anak-anak tak terasa tengah belajar tentang IPS, yaitu mengenal wilayah negara dan mengetahui nama pulau-pulau yang ada di Indonesia. 'Dalil Pendidikan' yang berlaku; Pengalaman Sebelum Penjelasan. 

Nah dari 'Dalil Pendidikan' ini mempermudah kita untuk membuat suatu konsep belajar yang konstruktif dan sederhana. 

Alhasil SD N Waworaha dan SD N Pinole--yang keduanya saya lewati saat naik dari desa Latoma ke desa Amboniki--memiliki peta sederhana di kelasnya. Sewaktu-waktu dapat mereka lihat dan mereka pelajari ulang. Karena hasil karya dan hasil belajar mereka ini dirayakan dengan memajang di dinding kelas. 

Ah menyenangkan sekali jika karya kita terpajang di depan kelas. Seperti saat SMP atau SD dulu, karangan atau puisi kita dipajang oleh guru bahasa Indonesia di mading sekolah. Senengnya kayak lebaran campur peringatan hari kemerdekaan. 

Ini kan juga seperti dalam 'Dalil Pendidikan'; Jika Layak untuk Dipelajari, Maka Layak untuk Dirayakan.

Sekian kabar gembira dari kami anak-anak desa yang tinggal diantara rimba Konawe. 

Senin, 16 Juli 2018

Kebun Pelangi Nusantara





Amboniki adalah sebuah desa yang dikepung kawasan hutan lindung dan masih cukup lebat. Bahkan halaman belakang rumah penduduknya boleh dikatakan teritis belantara rimba. Tentu tanahnya masih sangat subur. Cukup bagus untuk bercocok tanam.

Di antara semak belukar dan lebatnya rimba, banyak terdapat semacam sabana kecil. Di sana lah tempat mencari makan binatang khas Sulawesi Tenggara; Anoa. Juga dimanfaatkan oleh penduduknya untuk beternak sapi.

Beternak sapi di sini bukan dengan dikandangkan lalu digembala seperti dalam syair lagunya Tasya;  Anak Gembala. Melainkan sapi dilepas pada suatu sabana kecil, dan hanya ditengok pada waktu-waktu tertentu.

Namun, karena tabiat sapi memang senang berdekatan dengan manusia, sudah di liarkan di suatu sabana masih saja sewaktu-waktu datang ke tuannya di desa. Biasanya pagi-pagi buta sudah di depan remah tuannya untuk meminta garam. Kalau saja sapi bisa ketuk pintu atau teriakan salam untuk buka pintu, barangkali sudah dilakukan.

Nah, karena sudah berkali-kali dikembalikan lagi ke kandang sabananya tapi tetap masih ada saja yang kembali ke desa, jadi sebagian sapi dibiarkan berkeliaran di desa siang maupun malam. Tidak hanya satu atu dua, setiap kepala keluarga setidaknya memiliki sepuluh ekor sapi. Memyenangkan bukan.

Oleh karena itu, walau tanah subur jadi susah untuk sekedar menanam tanaman sayur atau buah-buahan. Jadi sapi sebagai ternak, juga sebagai hama untuk soal bercocok tanam. Selain sapi, ada monyet yang tanpa malu-malu duduk tak jauh dari kerumunan warga yang sedang mengobrol di pinggir jalan atau lapangan saat sore atau pagi.

Jadi susah untuk menanam sekedar tomat atau pisang untuk asupan vitamin C bagi warga. Hama yang lain masih banyak. Contohnya, warga juga susah untuk menanam umbi-umbian. Karena babi hutan akan meludeskan saat hari gelap.

Atas potensi dan keresahan itu, juga  atas mendesaknya akan kebutuhan sayur dan buah-buahan alakadarnya, aku dan anak-anak berinisiatif untuk membuat kebun.

Alhamdulillah, KS (Kepala Sekolah) mendukung dengan meminjamkan lahan belakang sekolah untuk kami bercocok tanam. Tapi dengan catatan kami harus memagar serapat mungkin dengan kemampuan yang kami punya.

Beberapa hari setelah kami pergi mencari bambu, saya bertamu ke beberapa wali murid. Mereka manyambut positif kegiatan kami. Bahkan, ada yang dengan ringan menawarkan tenaga atau peralatan yang dibutuhkan untuk berkebun. Ah senangnya hati, jadi anak petani.

Dan ini adalah beberapa penggal cuplikan kerja bhakti kami untuk membuat pagar kebun. Kebunnya nanti rencananya akan kami namai; Kebun Pelangi Nusantara.

Mau ikut merasakan berkebun atau petualangan lain bersama anak-anak di tengah keberlimpahan potensi sekaligus keresahan desa? Ayo segera daftar menjadi #Pejuang17 di: http://bit.ly/DAFTARPM17

IG:
@Ind_mengajar
@pengajarmuda

#Jadipejuang17 #Indonesiamengajar #Pengajarmuda #Beran16eda #Beranibeda #PM16




Sabtu, 16 Juni 2018

Mudik Lebaran, Merantau ke Kampung Halaman

Selamat lebaran, selamat berkumpul dengan keluarga.

Lebaran adalah sebuh ruang tempat segala rindu tumpah. Setelah tersimpan dalam dada selama satu, dua, tiga tahun atau bahkan lebih. Dari penjuru rantau berbondong mudik ke kampung halaman.

Begitu juga denganku bersama lima teman @pmkonawe yang lebaran kali ini mudik ke rumah keluarga baru kami. Rumah pasangan Bapak @sakri3 Ibu @dwiruliyananingsih tempat berlebaran kami. Di rumah ini kami menemukan keluarga baru, yang kami anggap rumah ke-dua setelah rumah di kampung halaman masing-masing.

Saya pribadi begitu kagum dan berterimakasih kepada Bapak Sakri dan Ibu Dwi yang telah berkenan menganggap kami anak-anak sendiri. Saat kami masih di desa penempatan, beliau berdua berusaha terus menghubingi kami, melalui telfon, media sosial dan kabar-kabar dari orang yang turun ke kota. Dimintanya kami untuk segera ke rumahnya. Menunaikan sisa puasa bersama di rumah sambil mempersiapkan lebaran. Padahal di desa kami sama sekali tidak ada signal. 

Setelah berkumpul,  kami memasak. Mulai dari memasak opor ayam, membuat konro, ketupat, lepak, bakso dan aneka makanan khas Lebaran.  Ibu Dwi seolah tahu kerinduan kami terhadap keluarga pada momen lebaran. Sehingga dikondisikan memang, mulai dari makanan sampai kegiatan bersilaturahmi seperti di tengah keluarga sendiri. Dan kami,  terutama saya yang sudah empat kali lebaran belum pulang, merasakan kehadiran keluarga di momen tumpah ruahnya rindu akan keluarga. Pagi, setelah Shalat Ied kami sekeluarga makan opor dan konro bersama setelah satu sama lain berjabat tangan, berpelukan saling memaafkan.

Bapak Sakri yang sehari-hari bekerja di lingkungan pemerintahan Konawe, cukup tahu dengan tugas kami sebagai Pengajar Muda, terlebih kami baru satu bulan berada di penempatan. Sosialisasi ke berbagai stakeholder terutama pemerintahan adalah hal pertama yang perlu segera dilakukan. Sehingga dalam kesempat lebaran, kami, oleh Bapak Sakri dan Ibu Dwi diajak untuk berkeliling mengunjungi open house beberapa pejabat terkait. Mulai dari Mantan Kepala Dinas Pendidikan, Pejabat Sekretaris Daerah, Kepala Dinas Pendidikan, Kapolres sampai Danramil kami kunjungi.

Kekagumanku bertambah,  saat menyadari kunjugan kami adalah kunjungan menjalin hubungan baik antara Indonesia Mengajar dengan Pemerintah setempat. Artinya ini adalah kunjungan kerja. Sementara ini adalah hari libur nasional, cuti bersama yang semestinya digunakan untuk kumpul keluaga dan saling kunjung sanak saudara. Tapi, Bapak Sakri dan Ibu Dwi justru menemani kami yang memakai rompi Pengajar Muda untuk berkunjung ke berbagai stakeholder yang membuka ope house. Seharian penuh mereka menemani kami,  memandu kami, menunjukan alamat rumah Bapak, Ibu pejabat ini dan itu. Tidak hanya itu, mereka juga dengan antusias memperkenalkan kami kepada para tuan rumah yang notebene pejabat pemerintah.

Hingga malam harinya, kami diajak keluarga Ibu Dwi untuk baca-baca (acara memohon doa untuk keluarga yang sudah meninggal atau suatu hajat tertentu) di salah satu rumah keluarga. Lebaran kali ini, walau kami jauh dari keluarga dan dalam rangka menunaikan tugas, tapi suasana dan nuansa kekeluargaan tetap kami rasakan. Kami tidak merasa jauh dari keluarga, kami tidak merasa berada di perantauan. Kami berlebaran seperti di kampung halaman sendiri.




Rabu, 13 Juni 2018

Bersama Turun Tangan di Ujung Ramadhan

Sore, di penghujung bulan ramadhan saya bersama teman satu tim Pengajar Muda penempatan kabupaten Konawe mendapat ajakan dari komunitas Relawan @turuntangankonawe. Kami diajak berkunjung ke rumah salah seorang warga di sudut Ibu Kota Kabupaten; Unaaha.

Mulai pukul 15.00 WITA, kami berkumpul di sebuah kafe. Tentu bukan untuk makan atau ngopi,  selain karena kafe belum tersedia makanan,  tapi sebagian besar kami juga insya Alloh berpuasa. Indocafe namanya. Sebuah kafe yang dimiliki salah seorang punggawa @turuntangankonawe yakni Saudara Arman.

Arman, bersama beberapa pemuda Konawe, khususnya Unaaha sejak November 2017 berkomitmen untuk turut andil dalam dunia kesukarelawanan bersama gerakan nasional; @turuntangan. Sejak saat itu,  berbagai kegiatan kerelawanan di tingkat kabupaten mereka geluti. Mulai dari berkunjung,  bersilatirahmi ke warga-warga pinggir kota sampai membuka perpustakaan jalanan pada hari-hari tertentu, telah menjadi kesibukan di sela-sela kesibukan bekerja mereka.

Saya yang pendatang dan didapuk sebagai Pengajar Muda yang dari Gerakan Indonesia Mengajar ditugaskan untuk berkolaborasi bersama para relawan menjadi bertambah haru dan optomis akan semakin banyaknya orang-orang berbuat baik untuk sesama. Bukan untuk sebuah eksistensi suatu gerakan atau pamer kebaikan, tapi lebih pada bagaimana kebaikan itu diteruskan untuk menular.

Mereka para relawan turun tangan bukan lah orang pengangguran yang banyak waktu luang,  sehingga sempat untuk berkegiatan sosial,  terutama kesukarelawanan. Tapi lebih bagaimana mereka adalah manusia biasa yang juga memiliki kebutuhan untuk berbuat baik. Seperti halnya kebutuhan jasmani seperti; berpakaian, makan, dan berumah tinggal yang membutuhkan upaya dan juga ruang waktu yang cukup untuk memenuhinya. Demikian dengan berbuat baik. Tentu mereka para sukarelawan juga berdisiplin membagi segenap dayanya untuk berbuat baik. Baik waktu,  tenaga,  buah fikiran,  kehadiran, dan simpati juga empati.

Tentu jelas mereka yang telah sibuk dengan profesi masing-masing berupaya sepenuh hati untuk terus berbagi kebaikan. Seperti teman Arman misalnya,  Ia adalah pengusaha kafe, yang seharusnya sibuk dengan pengembangan usaha kafenya, di sini Ia dengan rendah hati untuk terus menumbuhkan jiwa kesukarelawanan pada setiap generasi, utamanya para pemuda di Konawe. Jadilah kafenya menjadi tempat berkumpul,  bahkan sekretariat Gerakan Turun Tangan Konawe. Juga dengan teman-teman yang lain, ada yang berprofesi sebagai Polisi, Jurnalis salah satu media di Kendari, staf suatu Dinas di Pemerintahan, Guru dan ada juga Mahasiswa Paca Sarjana.

Tentu kami, terutama saya sendiri sebagai Pengajar Muda seperti seorang penambang yang menemukan emas berlimpah-limpah, seperti seorang musyafir menemukan air di tengah perjalanan yang penuh dahaga, saat saya dapat bertemu para sukarelawan Gerakan Turun Tangan. Mereka pun demikian. Begitu antusias mereka bertemu kami. Obrolan tentang kesukarelawanan langsung mengalir. Sperti derasnya sungai-sungai di Konawe ini. Ke depan semoga kita dapat berkolaborasi untuk suatu arti kebaikan, kesukarelawanan, terlebih adalah hidup sesama.


Minggu, 10 Juni 2018

Kutu Loncat di Kepalaku Berteriak; "Amboniki!"


Amboniki. Nama yang cukup asing terdengar di telinga Jawaku. Namun untuk telinga yang menjadi teman setia dalam setiap perjalananku, nama Amboniki seperti tak asing. Dalam kepalaku langsung berjingkrak beberapa kutu loncat saat menemukan sebuah kartu bergambar dengan tulisan kecil SD Negeri Amboniki. Ambo, adalah kata ganti orang pertama tunggal yang cukup halus lagi sopan dalam pengungkapan bahasa Minangkabau. Tentu cukup akrab di telingaku, karena lima tahun lebih telah kuhabiskan untuk menempuh studi di ranah Minang. Niki, juga ungkapan yang cukup halus dan sopan dalam bahasa Jawa, yang artinya; 'ini'. Jadi Amboniki adalah semacam ungkapan perkenalan yang cukup akrab sekaligus sopan; "Saya Ini..." pikirku bersama kutu loncat yang berjingkrak-jingkrak kesenangan saat mendapati nama desa penempatan.

Begitulah si kutu loncat sering jahil berjingkrak-jingkrak mengimajinasikan sesuatu. Sambil tersenyum malu sendiri, kuamat-amati lebih detil isi dalam kartu. Kartu dengan potret beberapa siswa menyongsong ke arah pengambil gambar di sebuah halaman sekolah dengan pakaian merah putih. Dalam kartu itu juga tertulis, kiranya; anak-anak Amboniki menunggu dan telah rindu kehadiran pak Guru Mabrur di sekolah.

Ah, kalimat apa-apaan ini, pikirku saat menemukan kartu itu di bawah terang lilin ruang pelatihan Intensif Calon  Pengajar Muda, Indonesia Mengajar. Bertemu saja belum, sudah rindu, imbuhku dalam senyum aneh. Malam itu adalah pembagian desa penempatan. Desa Amboniki lah tempatku bertugas selama satu tahun ke depan di bumi Anoa (Julukan untuk Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara).

Seminggu kemudian, sampailah aku di desa tersebut. Dipandu oleh Diyan (teman Pengajar Muda angkatan 14) yang telah purna tugas, juga sebelumnya berpenempatan di desa Amboniki.

Untuk sampai di Amboniki tentu tak mudah. Tidak seperti perjalanan Jakarta-Bandung dengan naik kereta atau bus yang tinggal tidur, lalu sampai. Perjalanan normal dapat menghabiskan waktu lima sampai enam jam. Tapi saat musim penghujan bisa butuh waktu setidaknya sepuluh sampai dua belas jam perjalanan, atau dua puluh empat jam dan bermalam di jalan juga sering. Setidaknya begitulah keterangan Diyan padaku, sebelum berangkat.

Benar saja. Berangkat dari Unaaha (Ibu Kota Kabupaten Konawe) pukul 10.00 WITA dan baru keesokan  hari pukul 07.30 WITA kami sampai di Amboniki. Sekali lagi, ini tak semudah perjalanan naik kereta atau bus dari Yogyakarta-Jakarta yang tinggal tidur lalu sampai.

Kira-kira, jarak tempuh memang hanya kisaran 86 Km, dengan medan jalan tanah merah dan belum sepenuhnya keras. Bertepatan juga, beberapa minggu terakhir Konawe dan sekitarnya sedang kelimpahan hujan terus menerus. Tentu paham, jalanan bermedan tanah saat terguyur hujan dan terus menerus berlalu lalang kendaraan (sepeda motor dan mobil) di atasnya. Menjadi lumpur kental lagi lengket—seperti coklat sedang dimasak setengah matang. Pada sejumlah titik terbentuk kubangan-kubangan yang kerap menjebak mobil atau sepeda motor terselip rodanya diantara lumpur.

Mobil yang kami tumpangi mulai berendam pada salah satu kubangan pukul 15.00 WITA. Dan baru bisa keluar dari kubangan pukul 18.30 WITA, setelah kami berbuka puasa. Seorang sopir dan dua orang awaknya berusaha berbagai cara untuk mengeluarkan mobil dari kubangan. Didorong, ke depan dan kadang ke belakang. Juga ditarik dengan seutas tali tambang dengan tenaga penarik para musafir yang sedang berpuasa berjumlah dua orang laki-laki dan empat orang perempuan.

Kami melanjutkan perjalanan dengan lelah, dengan harapan sisa perjalanan lancar, tidak lagi terjebak dalam ketel pemasak coklat—julukan yang kuberikan untuk kubangan di tengah jalan.

Memang manusia hanya bisa berharap, kenyataan lah yang semestinya diterima sepenuh hati dan sepenuh daya. Karena baru saja kami berjalan kurang lebih satu jam menerobos gelapnya rimba Konawe, kami terjebak lagi dalam ketel coklat. Kali ini lenih dalam. Mobil yang kami tumpangi tertanam—demikian masyarakat menyebutnya—nyaris sama sekali tak bisa bergerak. Baik maju maupun mundur. Bagian per mobil tersangkut pada gundukan tanah yang terbentuk oleh dua jalur roda kanan-kiri setiap mobil yang melintas. Hampir-hampir poros propeler mobil juga ikut tersangkut, hanya tinggal hitungan senti saja jarak tanah dengan poros propeler. Bahkan dua roda belakang hanya menyisakan tak sampai sepertiga lingkaran roda. Kami harus menggali habis gundukan tanah, tempat tersangkutnya per mobil.

Di sini aku mengenal Diyan dan Siska (teman PM angkatan 14) yang telah satu tahun hafal dan khatam dengan jalanan ini selama menjadi Pengajar Muda. Apa lagi mereka mondar-mandir antara desa dengan Ibu Kota Kabupaten menggunakan sepeda motor. Betapa susah-senang berjalan telah mereka lalui untuk sedikit saja membantu atau sekedar menemani proses pertumbuhan pendidikan anak-anak di kecamatan Latoma; desa Latoma Jaya dan Amboniki. Tentu aku tak akan heran jika Diyan dan Siska berasasal dari daerah seperti di Konawe ini. Namun keduanya berasal dari kota besar seperti Jakarta dan Bandung, yang tantangannya kemacetan tapi dengan jalanan yang cukup baik bahkan tol. Dan di Konawe ini, sungguh besar nyali mereka, dua orang perempuan berkendara sepeda motor dengan medan berlumpur sepanjang 86 Km dan sepanjang itu juga yang dilalui adalah hutan belantara. Sewaktu-waktu bisa saja bertemu beraneka binatang buas di tengah perjalanan. Anoa, babi hutan, atau rombongan sapi liar. Belum lagi dengan lintah yang tahu-tahu bisa saja sudah berkumpul di bagian tubuh. Karena medan berlumpur dan kanan-kiri hutan pastilah binatang pengisap darah-darah manis senang bersemayam.

Di ketel coklat yang ke dua ini, sungguh tenaga kami dikuras. Menggali dan terus menggali tanah dan lumpur, menarik dan mendorong mobil. Tapi mobil tetap jalan di tempat dengan raungannya yang memantul antara dinding perbukitan Abuki.

Hari bertambah malam, gerimis mulai datang. Udara menjadi dingin, ditambah kami perlu terus waspada dari lebah hutan yang menyongsong lampu mobil dan lampu senter yang kami bawa. Saat terancam, misal terinjak atau terjepit, lebah ini tak segan untuk langsung menyengat. Sengatan lebah hutan ini cukup sakit, pegal bercampur gatal. Jadi kami sambil bermandi lumpur tengah malam juga harus berebut cahaya dengan para lebah untuk terus menggali tanah dengan alat seadanya (satu cangkul kecil dan satu skop pasir). Alat yang telah dipersiapkan awak kendaraan untuk berjaga-jaga saat tertanam seperti ini di tengah hutan.

Dengan sangat terpaksa, mobil harus diinapkan di tengah kubangan berlumpur kental. Awak kendaraan berjaga di mobil. Sementara para penumpang dijemput oleh keluarga—yang telah mendapat kabar bahwa kami terjebak di kubangan, dari seorang pedagang sayur yang melintas dan berhasil lolos dari jalanan lumpur. Kami berempat (Siska, Diyan, Legi dan aku sendiri) dijemput oleh empat motor yang dikirim oleh keluarga angkat Siska. Kebetulan rumah keluarga angkat Siska—yang kemudian menjadi keluarga angkat Legi, karena Legi yang menggantikan Siska di desa Latoma Tua—berada di desa yang terdekat dari tempat kami terjebak di kubangan. Sementara untuk sampai di Amboniki, masih harus melalui enam desa lagi, dengan jarak antar desa rata-rata 5-10 km. Jadi Saya dan Diyan tidak bisa meneruskan perjalanan ke Amboniki malam itu juga. Kami bermalam di rumah keluarga angkat Siska.

Sampai di rumah Papa Ken (sebutan untuk keluarga angkat Siska dan Legi) pukul 23.00 WITA, dengan badan penuh lumpur dan kedinginan. Kami memutuskan untuk menginap di rumah Papa Ken dan melanjutkan perjalanan esok hari.

Pagi-pagi sekali kami naik ke desa Amboniki dengan motor pinjaman dari keluarga Papa Ken. Singkat cerita kami sampai di Amboniki langsung disambut oleh anak-anak SD N Amboniki yang tengah bermain di suatu halaman rumah. Seketika mereka menyongsong kami. Membuntut di belakang motor yang kami kendarai.

Benar saja kata Rindu yang tertulis pada kartu penempatan, ampuh menemui takdirnya. Anak-anak langsung lengket, menggandeng tanganku mengajak bermain di halaman sekolah. Mereka menyambutku dengan tabur bunga dan memberikan ikatan-ikatan bunga perdu yang tumbuh di halaman sekolah kepadaku.

Ah, tak banyak yang dapat diungkapkan untuk melukiskan kerinduan anak-anak terhadap sesosok calon guru mereka. Calon guru yang baru bertemu dalam dongeng penghibur anak-anak atas perpisahan guru tercinta mereka. Guru yang selalu menemani hari-hari mereka bermain. Di sekolah, di kebun, di sungai dan juga di rumah. Ialah guru Pengajar Muda yang mereka sayangi. Anak-anak yang berjumlah hanya dua kali hitungan jari-jari tangan, harus bersedih sekaligus senang atas gurunya. Bersedih karena harus berpisah dengan guru tersayangnya, yang tentu banyak mereka kenang. Senang karena mereka mendapat guru baru yang sudah mereka rindukan dari cerita dongeng penghibur perpisahan.

Amboniki, berhasil lah kau meluluhkan hati, untuk berbuat sebisa-bisanya dengan setulus-tulusnya pengabdian pada ibu pertiwi. Dengan semangat binar ceria anak-anak yang tulus, manis sekali senyumnya. Hingga tak tertahankan jika kami para pemuda harus berpaling dan pergi begitu saja tanpa turut memberi suatu arti pada senyum setulus itu.

Kamis, 17 Mei 2018

Selamat Hari Buku Nasional


Hari buku nasional kali ini, aku tengah singgah dalam sebuah perjalanan menuju pelosok Konawe, Sulawesi Tenggara. Dalam setiap perjalanan, teman setiaku adalah buku. Beberapa kali perjalananku, selalu yang memenuhi ransel sekaligus memberatkan beban di pundak adalah bekal buku yang ku bawa.

Terinspirasi dari Bung Hatta, yang selalu membawa buku berpeti-peti dalam perjalanannya, baik ke penjara, saat berdiplomasi, terlebih saat studi. Juga dengan sahabatnya , Tuan Sjahrir turut serta menyertai dengan koleksi bukunya juga.

Beberapa catatan sejarah, tentang pengasingan Bung Hatta di Banda Naira, yang paling menginspirasi adalah dua peti buku Bung Hatta yang dibawa penuh perjuangan, baik dengan jalan menembus hutan maupun dengan dibawa sebuah Heli.

Satu lagi yang tak kalah soal buku; Tan Malaka. Sampai-sampai  sebuah buku berisi kumpulan tulisannya diberi judul 'Dari Penjara ke Penjara'. Kali ini aku mencoba menapak tilas para pejuang itu. Beberapa buku bacaan tetap ku bawa. Tapi yang spesial lagi, kali ini salah satu buku bacaan yang kubawa, adalah hasil catatanku sendiri. Catatan dari sebuah perjalanan mengajar di Halmahera Selatan, tepatnya desa Geti Lama.

Bertepatan dengan hari ini, hari Buku Nasional, aku tengah menempuh sebuah perjalanan baru. Lagi, perjalanan mengajar. Kali ini aku menyusuri hutan-hutan. Bergrilya melawan kebodohan dan kesombongan diri sendiri, untuk berani belajar dari para sepuh hingga para malaikat kecil di pelosok-pelosok, sudut-sudut hutan.

Setahun ke depan, perjalananku adalah keluar-masuk hutan Konawe, Sulawesi Tenggara. Berguru, menemui dan berteman dengan para pejuang pendidikan di batas-batas kenyamanan.

#haribukunasional
#ceritaPM
#konawebercerita
#PMXVI #PengajarMuda
#SulawesiTenggara

Minggu, 11 Februari 2018

Kekuatan Bisu




Kekuatan Bisu

Simbah, bapak, rindu, lalu bisu apa lagi
perpustakaan, rak-rak buku 
                      berbaris bertumpuk debu
beban segala kepala datang, sorai bernyanyi
                            menggelitik jemari
laba-laba memetik dawai lamat-lamat berdenting sayu

sendiri tiada teman. Menjaring rahmat alam
di sudut-sudut sunyi peredaran Tuhan. 
Berjaga, malang melintang siang malam
bertahan mendulang kelaparan

perut dan mulut anak cucu. Datang menganga
seperti luka, menyeringai kesakitan.
Memohon kekuatan bisu, segala daya
seperti langit tegakkan kesekehendakan,
kedirian. 

Mayoe
Yogyakarta, Februari 2018

Jumat, 26 Januari 2018

Hiduplah yang Hidup Matilah yang Mati




Hiduplah yang Hidup Matilah yang Mati

Tuhan 
betapa ngeri kulihat fitnah dajal 
berseluet membayang di bawah mata
hari senja keemasan peradaban manusia
hampir-hampir menggapai mimpinya
pada gulita malam yang datang

Saling bertengkar mendaku kebenaran seorang
jalan sempoyongan membentur-bentur 
berlalu mabuk mencari suka
mencari sepihak sepahaman perasaan
keseragaman yang agung untuk menghidupi
kematian-kematian berkobar menyala-nyala 
membakar kehidupan

Kematian hiduplah kau 
tumbuh kembanglah kau penuhi muka bumi ini
Dan kau kehidupan bersiaplah dibakar selimut
kehidupan Ibrahim yang gagah berani
menarik hati kesabaran dan pengorbanan
dambaan

Para semut-semut keluarlah dari goa-goa sepimu
di persembunyian bawalah air di kantung tubuhmu
padamkan api yang membakar ibrahim
itu, seluruh air tubuhmu hamburkan ke dalam api
kematian itu, matikan! 

Hiduplah kau yang hidup lawan! 
Lawan arus itu wahai ikan-ikan lompati  gelombang
gelombang yang menjilat-jilat itu hingga habis
daya hidupmu dan matimu akan hidup 
sehidup-hidupnya kehidupan

Mayoe
Yogyakarta, Januari 2018

Rabu, 24 Januari 2018

Surat Puisi I



Surat Puisi I
Sapardi Djoko Damono

Esai ini terbit di Mingguan Pelopor Yogyakarta menjelang peluncuran Persada Studi Klub, rubrik sastra asuhan Umbu Landu Paranggi. Saya salin dari klipingan dari arsip pribadi seorang sastrawan; Suwarno Pragolopati, yang sekarang disimpan di Perpustakaan Ean Yogyakarta, bersama arsip-arsip lain yang beliau kliping. Sumonggo, menawi manfaat. 

Kenapa orang menulis puisi, tanyamu pada suatu hari. Kenapa orang masih juga menulis puisi, meskipun puisi tak lagi memberi untung baik prestise maupun materiil kepada penyairnya? Mungkinkah orang menulis puisi hanya karena kesombongan yang palsu untuk disebut pujangga, sebab jaman yang lampau dulu kedudukan pujangga sangat tinggi di tengah masyarakat? Apakah puisi itu bukan hanya hasil kerja orang yang tak punya kerja saja? 

Aku takkan marah padamu, walau aku ada dipihak mereka yang mencintai puisi. Mereka yang menolak puisi dan belum pernah sekalipun paham makna puisi, akan memberontak apabila dituduh kurang berpengetahuan. Sedang mereka yang tak punya sangkut paut dengan puisi, tapi bisa memahami puisi, diam-diam akan merasa bangga jauh dalam lubuk hatinya. Kau jangan menolak kebenaran itu! Diam-diam dalam kelasmu kau tentu merasa superior diantara teman-temanmu hanya karena karena kau tahu puisi dan mengerti serba sedikit tentang puisi. 

Tak ada seorangpun yang bisa membantah bahwa penyair adalah anggota masyarakat. Penyair adalah sebagian dari masyarakat yang takkan berguna pada apabila Ia samasekali terpisah darinya. Iapun turut memahami pahit getir dan bahagia masyarakat, dan mampu memahami dan menghayati sebagai seorang yang sedikit banyak. Dan seperti orang lainpun Ia menghadapi pelbagai persoalan dan masalah yang tak habis-habisnya mengancam dari segenap jurusan. Lewat puisinyalah Ia ingin agar orang lain bisa mendengar keluh, tangis, dan tawanya dalam jawabannya terhadap persoalan tersebut. 

Penyair adalah orang yang selalu ingin bicara kepada seorang lain. Yang ingin mengatakan segala-galanya, agar segala orang biasa mengambil bagian dalam masalahnya. Sebuah sajak adalah suatu jeritan dari seorang yang ingin memecahkan sunyi yang melingkupi dirinya, agar orang lain bisa percaya dan memahaminya. Jadi sajak adalah kurang lebih penghubung antara si penyair dan pembaca sajaknya. Sajak adalah alat komunikasi. Seperti juga kau. Kalaubpada suatu saat terjerat pada suatu masalah yang rumit dan menekan, kau selalu ingin mengatakan itu kepada orang lain agar bisa lebih lega terasa. Tapi pada saat itu pula kau tak sadar bahwa kau butuh berhubungan dengan orang lain. Begitu pulalah kira-kira sebuah sajak terlahir. 

Alat seorang penyair adalah kata, kata dan kata. Segala seluk beluk dan penjuru tentang kata itu harus Ia kuasai benar-benar, untuk bisa mengajak kita bercakap tentang apa saja dengan baik. 

Tapi, tanyamu, kenapa pula sajak-sajak itu biasanya sukar ditangkap maknanya? Apa termasuk kesombongan penyairkah untuk menyusun bahasa yang sulit diketahui oleh orang lain? Awas, kita sampai di tikungan yang berbahaya. Sajak yang gagal sebagai alat komunikasi adalah sajak yang gagal. Tapi apabila dalam menghadapi sebuah sajak dan kau tak bisa mengetahui maknanya jangan terburu menuduh: sajak itu gagal! Nanti dulu, nanti dulu. Ada syarat tertentu untuk bisa menerima sajak dengan baik, ini menyinggung intelek dan imajinasi. Yah, tak pernah ada tuntunan terhadap setiap orang untuk bisa menerima sajak dengan baik, sebab tak pernah ada saat kapan setiap orang bisa memahami syarat tersebut. Jangan kau kira bahwa hanya kekuatan intelektual saja yang perlu didikan. Kekuatan imajinasi juga perlu didikan. Sedang engkau tentunya juga bernasib malang sepertiku dulu tidak pernah menerima didikan untuk mengembangkan imajinasial tatkala di sekolah. Tak usah kau kutuk sistem pendidikan kita ... guru-guruku dulu hanya mendidikku dalam mengembangkan daya intelektualku saja. Dan bagi mereka yang tak sempat mengembangkan daya imajinasinya di luar lingkungan tembok-tembok sekolah, tentunya tak bisa dengan mudah menerima puisi, atau juga hasil seni yang lain. 

Sajak adalah alat komunikasi. Dan alat untuk menciptakan sajak itu adalah bahasa. Bahasa yang imajinatif. Aku tahu; buku-buku yang kau hafal tiap hari buat ulangan-ulangan sekolah adalah bahasa yang menggunakan bahasa nonartistik. Itulah pula salah satu sebab kenapa sajak sukar bagimu. Dan sekarang akan kucoba berurusan dengan contoh-contoh. Dalam mata pelajaran ilmu bumi alam kau akan membaca keterangan tentang Mega sekira-kira sebagai berikut:

Mega: uap air yang naik ke langit dan kemudian menjadi air. 

Lihat Mega, lain sama sekali Ia. 

Tapi seorang penyair yang memandang menulis seperti berikut:

Mega putih adalah tampungan segala bencana. 
Mega putih telah lewat. 
Maut menunggang di punggungnya. 
Mega putih adalah musyafir yang kembara. 
Kalut dalam tempuhan angin. 
Binasa dalam kesepian, juga biru. 
Tiada bapa, tiada bunda. 
Tanpa kasih tanpa cinta! 
(Mega Putih, W. S Rendra) 

Itulah beda antara ilmu pengetahuan dan puisi. Dalam ilmu pengetahuan orang harus bersifat analitis, sedang dalam puisi orang selalu melihat hubungan antara benda-benda.  Puisi adalah suatu keseluruhan yang tak bisa dipisahkan. Merasa agak sedih setiap kali kau memintakan buat menerangkan makna sajak sebaris demi seanalisa, sebuah sajak mulai memecahkannya, begitu hancur baris. Begitu Ika muli mengarang sajak itu sebagai sajak. Ia berhenti sebagai sajak di situ. 

Engkau barangkali akan menuduh lain lagi, masalah yang dibawa penyair kalau begitu yang tak wajar. Artinya tak bisa dimengerti orang. Tidak sama sekali tidak. Seorang penyair selalu bercakap tentang segala sesuatu yang berpegang pada pengalaman manusia. Kalau ada seorang penyair yang mencoba memutuskan hubungan sama sekali dengan pengalaman manusia itu atau kebudayaan masyarakat, Ia sudah tak normal lagi. Barangkali juga sikap dan pandangan-pandangan hidup orang yang menulis syair itu lain dengan sikap dan pandanganmu. Tapi tak berarti apa-apa! Orang hanya bisa menerima kenyataan-kenyataan dan kebenaran. Kan bagaimanapun juga belajar membukakan dirimu untuk mengerti adanya kenyataan-kenyataan lain yang kadang-kadang sama sekali lain dengan apa yang selama ini ada dalam pikiranmu. 

Ku harus tidak takut kepada kebenaran yang menghadapi dirimu. Jangan gemetar kau kalau kau baca sajak pendek dari Jepang ini:

Mimpi sayang dengarlah
pimpiku
jangan kau bawa daku
bersama
dengan orang yang kucinta 
sebab apabila aku nanti 
terjaga
akan terasa: betapa sunyinya! 

Itulah kebenaran, bukan? Yah, sudahlah kau tak usah terus menerus menerjang puisi, dan akupun tak perlu pura-pura yakni bahwa setiap orang bisa menyelami puisi. Akupun sudah lama tahu kenyataan ini; puisi memang kadang terlalu sukar "atau agak remang" bagi sebagian besar orang kebanyakan, pada jaman ini; atau pada jaman kapanpun. Seperti juga engkau masih banyak mereka yang mengeluh tentang kesukaran.  ... usaha yang tak gampang. 

Para penyairpun maklum bahwa puisi mereka hanya bisa diterima oleh segolongan tertentu dalam masyarakat saja. Mereka tidak menuntut apa-apa hanya dalam hati kecil mereka secara diam-diam mereka berharap agar bisa bercakap dengan golongan yang lebih luas lagi. Seorang penyairpun seharusnya insyaf bahwa golongan itu masih menyempit, artinya bakal kehilangan tempat di sini. Ini bisa terjadi apabila penyair mulai menggunakan bahasa yang menyerupai kode, lambang atau simbul yang hanya dimengerti oleh segolongan orang saja, beberapa orang saja. Sedang masyarakat luas tak punya kuncinya sama sekali. Di sini pula sajak sebagai alat komunikasi telah gagal. 

Para penyair modern, dalam mencari kepribadiannya sendiri, telah menolak segala sesuatu yang konvensionil dan tradisionil. Beberapa penyair telah begitu hebatnya memberontak, sehingga Ia sampai pada suatu bahaya besar. Kehilangan kontak dengan masyarakat. Me ... untuk memisahkan diri dari masyarakat. 

Tapi tidak! Selama manusia diam-diam masih mempunyai keinginan untuk selalu berhubungan dengan orang lain, selama itu pulalah masih lahir sajak-sajak. Dan selama itu pulalah masih ada orang yang bersedia membukakan diri bagi suara orang lain. Tak perlu dielakan kenyataan bahwa problem sebagai alat komunikasi adalah problem yang abadi bagi puisi. 

Pada akhirnya aku perlu mengingatkanmu bahwa penyair bukanlah filsuf. Renungan yang dalam saja belum cukup, pikiran yang muluk-muluk saja belum cukup buat melahirkan puisi. Dan pada suatu ketika kau akan sadar, bahwa setelah membaca satu atau dua sajak yang agung, kau merasa sedikit tak enak. Itulah salah satu ciri sajak besar. Manusia selalu merasa tak enak dihadapkan pada kenyataan, terus terang, pada kebenaran yang blak-blakan. Tapi kau harus, atau setidaknya berusaha begitu. Jangan takut. Salam. 

Selasa, 16 Januari 2018

Layang-layang Kesayangan

Gambar diambil dari web thinglink.com

Layang-layang Kesayangan

Waktu kecil aku bermain layang-layang
dibuatkan kakek dari buluh pilihan.
Dengan hati-hati kakek meraut, dan menimbang
di beranda masjid, sambil berkisah nabi dan rasul Tuhan. 

Ku terbangkan dengan benang gelasan yang panjang
sambil bersiul menirukan bunyi buluh bergesekan
di dalam rumpun. Melengking memanggil angin datang
untuk meniup layang-layang ku terbang di ketinggian.

Untuk menjumpai Tuhan
benanngnya kisah nabi dan rasul yang panjang
dari masa ke masa, seperti di dalam Alquran. 
Begitu kakek bilang, sambil mengajariku mengulur benang, 
pelan-pelan supaya tidak melukai tangan. 

Layang-layang ku terbang dengan tenang
ke kanan dan ke kiri menjaga keseimbangan.

Saat angin bertiup pelan, ku tarik benang
supaya layang-layang bergerak pada ketinggian. 
Saat angin bertiup kencang, ku ulur benang
supaya semakin jauh layang-layang kuterbangkan. 

"Kek, apa Tuhan bermain layang-layang?"
"Tuhan pemilik semuanya, termasuk layang-layang kesayangan."
"Aku mau jadi layang-layang Tuhan, yang paaaaaaaaaling disayang."
"Jadilah layang-layang yang memiliki dan menjaga keseimbangan. 
Supaya kau dapat terbang dengan tenang, bertemu Tuhan yang maha penyayang"

Mayoe
Yogyakarta, 15 Januari 2018

Senin, 15 Januari 2018

Derik Daun Pintu Menganga

Gambar diambil dari situs web pixabay.com


Derik Daun Pintu Menganga

Betapa ngiri mendengar rintihan 
orang-orang tua mengkhawatirkan
bayang-bayang daun pintu kematian.
Sewaktu-waktu engselnya berderik 
mengejutkan. Membangunkan tidur yang lelap.
Terperanjat, mengangakan mulut. Pintu terbuka, 
didorong ketiadaan. Berhembuslah angin gelisah.

Berputar-putar sebentar, melakukan ritual. 
Lalu menggedor, memanggil dan mendobrak
masuk ke dalam inti hati. Membujuk, merayu, mengajak,
mengancam dan berbagai lain penjemputan; diseret 
atau dipapah bagai batang, ditebang 
dengan cinta atau siksa.

Tua, betapa menjadi tanda untuk memancang
kewaspadaan. Tapi, betapa lemah seketika 
muda tak habis-habis menyesap candu
kejutan, dari doa yang mabuk lamunan.

Apa harus menjadi tua 
untuk sekedar merintih khawatir. Dengan pintu
kematian berderik sepanjang waktu
memberi kejutan yang tak habis, di dada.

Degupku masih belum sembuh
dari candu kejutan-kejutan, yang mendidihkan
darah mudaku. Menguap mengawang, berterus kambuh
mabuk kekaguman.

Mayoe
Yogyakarta, 15 Januari 2018

Jumat, 05 Januari 2018

Gerak Sepi Itu



Gerak Sepi Itu

Lihatlah bunga yang semi ini. Indah bukan? Tapi betapa sepi mereka. Tiada memiliki teman, yang datang dengan membawa kasih. Sesekali saja ada manusia yang lewat lalu mendekat untuk melihat dan pergi lagi, begitu saja. 

Ia tak ubahnya ribuan bunga atau rumput lain di tepi jalan. Tetap saja liar dan tak ada yang mengenalnya. Ia pun tak mengenal siapa-siapa. Kecuali para serangga yabg datang hanya pada saat kelopak-kelopak cantiknya merekah. Dan serangga-serangga itu melakukan hal yang sama kepada bunga-bunga lain. 

Apa daya, Ia bergantung dengan akar yang memakunya. Sekedar menghindar dari serangga adalah kemustahilan dan pengingkaran. Pergi kepada manusia--yang katanya penuh kasih--sama dengan menyerahkan pada kematian. Sedang melepas pakuan akar, ah tak ada bunga seradikal itu.

Tapi Ia begitu tabah, menanti hingga layu dan datang lagi benih baru. Terus begitu, hingga pada suatu hari Ia menangkap suatu gerak yang berbeda, gerak yang tak biasa, gerak yang ganjil dan unik. Gerak itu lembut tapi penuh daya. Terkadang gemetaran seolah ragu dan tak begitu tegaan. 

"Gerak apakah itu?" Bunga bergetar. 

Selasa, 02 Januari 2018

Super Moon Datang



Super Moon Datang

Super moon datang
para lamun menyambut dengan bergelenyut
menari diantara gelombang pasang
menepi, tinggi dan tenggelamkan pikiran kalut

Super moon datang
padang lamun berpesta dansa
berpasang-pasang bunga-bunga malang
menyemai benih-benih cinta lama

Super moon datang
dengan anggun, wajahnya mengadu
hembusan nafas, dalam dada bergendang
menyentak irama, pergulatan cinta yang menggebu

Super moon datang
mengundang rob, meluapkan kenangan
bergeremat melumat bibir merah matang
mendesak pemukiman rasa yang tertinggalkan

Super moon datang
'ku pasrahkan lamun tenggelam
berdiri dibenam wajah tenang 
menarikan harapan kepada malam

Mayoe
Yogyakarta, 2 Januari 2018