Kamis, 19 Desember 2019

[Sajak Tertinggal Terbawa Pulang]


[Sajak Tertinggal Terbawa Pulang]

Kehadiran menjadikanku aneh;

Bagun dari tidur jadi lebih awal
(sebenernya gak bisa tidur)

Perut selalu terasa kenyang
(gak doyan makan)

Mudah senyum dan menghemat kata
(lebih enak nglamun)

Jadi lebih sering memperhatikan bentuk dedaunan dan warna-warnanya
(daun-daun itu seperti matamu saat sedang tersenyum, sejuk dan memberi hidup)

Jadi suka mencari-cari air mengalir, seperti sungai atau drainase tak bertutup atau sekedar selokan di depan rumah
(karena di sana sering kali ada beberapa daun kecil ikut terbawa gemericik alirannya, berharap senyum di matamu turut hanyut di sana dan aku melihatnya. Betapa semerbak bunga-bunga bermekaran di dadaku, seperti ada yang menyesak hingga kuperlukan menghirupnya dalam-dalam)

Kebetulan sudah mulai musim hujan, aku jadi lebih rajin menengok anjing piaraan untuk sekedar memastikan ia berteduh saat rintik mulai jatuh
(sebenernya lebih ingin bergerimis ria, untuk membasahi wajah dan kepala langsung dari langit yang sedang teduh atau justru murung, berharap mendapatkan sejuk atau justru dinginnya musim. Jelas kesejukan itu adalah rindu yang sedang dibelai penerimaan yang pasrah; atau dingin yang menusuk ngilu bercampur perih seperti rindu yang sedang berontak)

Pada sore, tergesa memburu paman yang sedang mengambil rumput untuk pakan ternak di bukit, membantu sekuat tenaga, seolah mencarikan pakan ternak milik sendiri
(untuk menyaksikan indahnya matahari terbenam yang berwarna sorga, walau lebih sering sial terhalang kabut dan mendung, tapi aku yakin matahari tetap terbenam, dan itu menjadikan warna berbeda dengan sedikit gerimis dan cercah dari sobekan awan yang memancar di ufuk sana dan mencipta warna kemesraan tanpa cela. Atau naasnya kilat menyambar, guntur menggelegar, lalu lebatlah hujan. Biarlah, matahari tetap tenggelam dihati. Biar ia beristirah dari kepanikan sehari)

Saat malam datang menjadi lebih giat belajar astronomi, walau saat sekolah dulu tidak pernah mengambil jurusan itu
(jelas kuhitung bintang sampai larut malam, yang kadang harus terlahang awan atau kabut musim hujan, dan saat kutemukan beberapa titik mengerling, aku tersenyum, lukisanku telah sempurna dan kubelai wajahmu yang terlukis sejelas itu)

Begitulah waktuku dari sajak yang tertinggal dan terbawa pulang