Minggu, 26 Februari 2017

Ibu(nya) Kota(-kota) Negara Bernama Jakarta

Melihat Jakarta hari ini susah percaya bahwa Ia Ibu Kota Negara. Sama sekali tidak terasa aura itu. Di kampungku misalnya, Jakarta hanyalah tempat para buruh bekerja mencari imbalan untuk menyambung hidup. Mereka yang bingung mau bekerja apa di kampung, pergilah ke Jakarta. Mereka yang tidak memiliki lahan garapan atau kurang terampil mengolah lahan, juga pergi ke Jakarta. Ada lagi yang pergi hanya karena melihat tetangganya tampak berhasil, kehidupannya berubah, kulit tubuhnya cerah bersih terawat, dan pakaian serta penampilannya lebih nyentrik dan ngetren. Dan ada juga yang pergi untuk bisa berucap 'Gue Elu'—lebih tepatnya leluasa, karena kalau memakai di kampung akan wagu dan lebih banyak dapat marah.

Dari yang pergi ada yang menetap hingga memiliki KTP Jakarta, dan sebagian lagi pulang—baik dengan modal usaha di kantong maupun yang melompong. Penggambaran-penggambaran mereka tentang Jakarta belum pernah terdengar tentang kaitannya dengan Ibu Kota Negara. Bahkan Lurah pergi ke Jakarta bukan untuk kepentingan Negara. Kadang jualan dan kadang hanya sekedar menengok cucu-cucunya yang menjadi warga Jakarta. Untuk tugas-tugas yng berkaitan dengan pemerintahan, Lurah banyak datang ke Bogor atau daerah-daerah lain di Jawa, tapi bukan Jakarta. 

Atau untuk memahami Jakarta sebagai Ibu Kota Negara harus menjadi Sejarawan dulu?

Jakarta-Jakarta, malang nian nasib mu. Kasihan, tidak setiap Warga Negara yang Kau (Jakarta) Ibu Kotanya dapat paham bahwa Kau Ibu Kota Negara yang sekarang. Gambaran dari orang-orang di kampung ku memang masih kampungan, ndusun, nggutuk, udik seperti itu. Untuk dapat memaknai Jakarta sebagai Ibu Kota Negaranya mereka perlu menjadi Sejarawan terlebih dahulu. Tapi ya mana mungkin, untuk tidak dikatakan miskin saja masih harus bekerja sebagai buruh di Jakarta. Sedangkan menjadi Sejarawan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang mampu—ya intelektualnya ya duitnya ya aksesnya dan ya ya ya yang lain.

"Eh Jak (Jakarta), Gue pernah dapet oleh-oleh dari mereka pade yang sempet beberapa lama berhiruk-pikuk di pangkuan lu. Hanya sebentuk pribahasa penggambaran tentang elu memang. Begini ni ungkapan mereka pade: 'Sekejam-kejamnya Ibu tiri masih kejam Ibu Kota.' Dahsyat bukan? Elu kan Ibu Kota yak, masa iya Elu lebih kejam dari ibu tiri?"

Walaupun aku belum pernah benar-benar merasakan kekejaman itu, tapi entah bagaimana yakin betul bahwa ungkapan itu sungguh-sungguh lahir dari ketegangan urat-uratmu. Memang sempat beberapa kali berkunjung dan singgah, dan memang tidak ada kebetahan ku jumpai apalagi nyaman. Begitu sumpek, untuk bernafas saja harus tersengal-sengal. Semua seperti sedang dikejar atau malah mengejar? Serba terburu-buru, harus cepat dan sebisa mungkin praktis.

Jika saja Sejarah tidak mencatat, melihatmu hari ini sungguh tak percaya bahwa kau Ibu Kota Negara.

Barangkali kau bertanya "lantas Ibu Kota Negara yang kau maksud itu yang bagaimana?"

"Namanya saja 'Ibu' Kota, ya yang selayaknya sejatinya Ibu lah."

"Loh malah sudah lebih to!"

"Lebih kejam dari Ibu tiri?"

"Heh! Lantas?"

"Ibu itu sakral, suci, anggun, lembut, tapi juga pinter, terampil dan rajin mengatur rumah tangga."

"Jadi bener, Aku ini hanya Ibu tiri yang hanya cinta kepada..."

"Bukan Ayahku saja!"

"Lhoh! Lagunya kan gitu, Ibu tiri hanya cinta kepada Ayahku saja, syalala lala lala"

"Berisik ah, Ibu kok berisik. Ayah dari mana? Lha Indonesia lahir yatim!"

"Maksud lu?"

"Lha Ayahnya siapa? Dari dulu nyanyinya cuma Ibu Pertiwi, Ibu Kartini dan akhir-akhir ini Ibu Mega... eh Ibu Kota Jakarta maksudnya."

"Jangan sering-sering salah sebut, dapat perkara lu nanti. Eh maksud pertanyaan gue, kok bisa Yatim, lha Bapaknya ke mana, di mana?"

"Ya nggak ke mana-mana dan nggak di mana-mana."

"Bapaknya nggak jelas maksudnya?"

"Ya nggak gitu juga!"

"Lha ya gimama, katanya yatim?"

"Rasa-rasa ku begitu. Indonesia itu Yatim. Seperti Nabi Muhammad yang sudah yatim sejak beberpa bulan dalam kandungan. Atau seperti Nabi Isa yng ditakdirkan lahir tanpa diperantarai peran Bapak."

"Jadi Indonesia ini semestinya seperti Nabi Nabi yang kau yakini itu? Bicara kok menurut keyakinan. Bikin sensitif!"

"Lha kalau nggak menurut keyakinan masa iya keraguan. 'Menurut keraguanku...' kan nggak pantes, wagu! Dan nggak bakalan ada orang percaya omongan kita. Malah dituduh pembuat hoak iya ntar!"

"Hoak atau Ah..."

"Hus! Katanya Ibu Kota. Ibu kok bikin hoak, sensitif mudah tersinggung lagi!"

"Gak boleh tersinggung, sensitif?"

"Setidaknya sensitif jika anak-anaknya terlantar, menderita, tertindas."

"Lho terlantar to? Yang mana yang menderita? Siapa yang menindas? Bilang ayo bilang!"

"Nah ini! Ibu kok gak adil!"

"Bisanya kok cuma menuduh. Yang sensitif lah, mudah tersinggung lah, gak adil lah. Gue perkarakan lu. Pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan atau mau pakai tuduhan yang lebih baru: pembuatan hoak?!"

"Sebelum memperkarakan mbok yao sensitifnya yang adil dulu. Jangan terlalu narasis! Kayak ABG aja."

"Ah selalu mbulet. Sensitif kok adil, itu kagak ada di pelajaran sekolah. Gak penting!"

"Kau kan Ibu(nya) Kota(-kota) Negara ini, mbok kalau sensitif yang bukan untuk kepentinganmu sendiri. Gak cuma mikirin diri sendiri terus gitu lho. Walaupun masalahmu sendiri begitu banyak dan kisruh, gak perlu lah terlalu dinampak-nampakkan. Kasihan, para pengangguran sepertiku ini—yang harusnya mikir untuk berkerja apa—jadi kebawa kisruh dan hati rusuh turut mikir untuk tidak perduli sama sekali atau harus bingung dengan kejelasanmu: kau ini Ibu Kota bukan?"

"Bukan urusanmu! Cuma bocah saja sok tau!"

"Bukan sok tau, aku ini sedang bingung. Kok kamu kayak gak bingung gitu ya? Padahal masalahmu kan begitu ruwet. Dan parahnya semua keruwetan itu atas kepentingan mu sendiri. Makanya kebingunganku itu di situ lho, kayak bukan Ibu gitu."

"Bingung kok ngajak-ajak. Kalau bingung, bingung aje sendiri gak usah ngajak-ngajak!"

"Siapa yang ngajak?"

"Lha itu tadi!"

"Gak ngajak, cuma curhat. Masak nggak boleh curhat sama Ibu sendiri! Ibu apa itu?"

"Ya Ibu Kota to!"

"O jadi Ibu Kota itu seperti itu? Sibuk urusan sendiri, kepentingan sendiri. Egois!"

"Gak usah ikut campur dah, urus aje urusan lu sendiri. Noh, lu kan pengangguran dan banyak orang kampung lu yang bingung mau kerja, pada akhirnya mengadu nasibnya ke pangkuan gue juga. Lu urus tu yang udik-udik, nambah-nambahin sumpek Ibu Kota aje! Bikin macet, banjir, panas, sesak, semrawut, dan berbagai masalah aje!."

"Lho kan memang gitu! Kalau nggak macet, nggak banjir, nggak panas, nggak sesak, nggak semrawut, nggak banyak masalah bukan Ibu Kota namanya."

"Tapi katanya Ibu itu harus Sakral, Suci, Anggun, Lembut, Penuh Kasih Sayang, Madrasah paling awal dan pokok bagi anak-anaknya, tempat sekaligus subjek pengaturan rumah tangga berada dalam kuasanya."

"Sensitif tapi nggak sensitif. Disindir nggak merasa tersindir. Ibu nggak merasa Ibu."

"Gak realisti! Mengharapkan Ibu Kota—yang hanya sebgai salah satu tempat administrasi berlangsungnya sebuah Negara—harus memiliki sifat-sifat Ibu yang Sakral, Suci, Anggun, Lembut, Penuh Kasih Sayang, dan tetekbengek Ke-Ibu-an lainnya. Logikanya gak jelas!"

"Kalau gitu nggak usah pakai kata 'Ibu', cukup 'Kota' saja biar jelas. Karena hanya yang menguntungkan diri saja yang logikanya jelas. Yang merugikan apalagi mencelakakan diri sudah pasti tidak memiliki logika. Kasihan!"

"Memang. Kasihan. Sudah Yatim tambah nggak punya Ibu lagi."

"Iya, Yatim-Piatu. Orang jawa bilang 'Lola': nggak punya orangtua."

"Terus bagaimana?"

"Ya udah gini. Ribut saling berkelahi, saling menjegal, saling menindas, saling merasa paling benar."

"Iya tau. Setidaknya ada hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi itu semua, terutama kebingunganmu itu!"

"Cari! Nanti juga nemu."

"Gak nyari aje tiap hari udah nemu ini nemu itu. Dan sialnya nemu kebingungan, kayak elu. Memang cari apa?"

"Orang tua, minimal Ibu."

"Kira-kira siapa yang layak menjadi Ibu Negeri ini?"

"Ya jangan mengira siapa. Malah dikira obrolan politik nanti! Bersama-sama saja menetapkan yang bisa di-Ibu-kan."

"Dengan begitu kebingungan mu menjadi terang?"

"Ya nggak menjamin juga. Karena kebingunganku itu nggak penting."

"Nggak penting?"

"Dan aku sendiri memang tidak penting."

***