Rabu, 27 Mei 2020

[Tak Pernah Bersekolah atau Sekedar Belajar Membaca]



Sering kulakukan perjalanan
jauh atau dekat
sendiri atau berteman
sebentar atau berbulan dan bertahun

tak cukup mendefinisikan; sebenarnya
apa yang dicari
namun kadang terfikir juga;
aku sedang mencari apa yang akan kucari.

Barangkali setelah itu baru lah
perjalanan akan berada
pada lipatan langkah yang lain
walau masih sama saja;
mencari.

Ada satu hal yang jelas kurasa
dalam setiap perjalanan
ke kota, laut, pantai, gunung gemunung atau menyusuri sungai
keteduhan mengelus manja di balik dada
seperti kucing yang menyentuh-sentuhkan punggungnya di betis
ini kurasa saat melihat keluasan yang mengagumkan;
keluasan kota dari gedung-gedung tinggi
keluasan laut dari kapal, perbukitan bahkan dari sampan kecil
keluasan suatu daratan dari gunung yang cerah
sungai yang mengalir tapi tampak diam dengan bentuknya

sekiranya alam berkata; kau hanya dapat menikmatiku dengan ketinggian.

Maka akan ku iyakan perkataannya.
Walau aku pun tak akan tahu; ada kah batasan dalam ketinggian, seperti yang terlihat bahwa langit belum terbanding oleh apapun, atau mungkin memang langit itu batasnya, cakrawala itu.

Kukatakan begini, karena pernah kulakukan perjalanan menuju langit, tapi tak pernah berujung, tak pernah sampai aku padanya.

Justru yang sampai padaku adalah kengerian melihat jurang dari kedudukan yang tengah kudaki.

Padahal tak pernah ada keinginan membuat curam kedalaman jurang. Aku hanya menghendaki langit.

Betapa desiran di balik dada menjadi
sama sekali berbeda
dari sentuhan punggung kucing
menjadi duri-duri runcing
saat terlihat kedalaman itu
benar-benar ada di bawah kakiku.

Akupun duduk termenung.
Seekor burung prenjak, yang kecil itu, sedang bergerak lincah di ranting cemara. Berpindah dari ranting ke dahan dan ke ranting yang lain.
Prenjak mencari sejarum daun cemara yang baik untuk merajut sarangnya di pohon kenanga kecil lagi liar.

Entah lah itu Prenjak jantan atau betina, aku bukan ahli perburungan seperti Novelis Mbah Y.B Mangun Wijaya yang banyak bercerita menggunakan metafora beburungan.

Dari polah lincah Prenjak itu
mataku lelah, dan membuat pikiranku malas untuk berenung. Inginnya seperti kucing yang menyandarkan atau mengeluskan punggungnya ke betis pemiliknya.

Selelap mataku terpicing, bayanganmu muncul begitu nyata. Aku tidak sedang bermimpi, dan aku tidak sedang tidur. Hanya mataku yang lelah dan membuat diri sekucing ini padamu.

Atas berbagai perjalanan, entah apa yang kucari, ketenangan dari sebuah keluasan yang kutemui, alam yang mesra mengagumkan penuh teka-teki dan misteri, kedalaman pada jurang entah di gedung-gunung atau penyelaman palung yang ngeri dan penuh daya kejut, sanpai pada cemara yang merelakan sejarum daunnya pada Prenjak untuk sebuah sarang sederhana di kenanga kecil yang wangi bagi buah cinta.

Dan jelas, matamu yang teduh dan dalam itu, semakin kuat menatap mataku yang kelelahan.

Dari matamu aku tersadar, kubuka perlahan kelopak mataku; baru kutemukan: dari setiap perjalanan yang pernah kutempuh; hanya pada matamu lah yang memiliki kedalaman tapi meneduhkan. Matamu tak seperti jurang yang kubentuk saat bersusah menjangkau langit. Tak seperti kengerian palung saat menantang diri menaklukan kegelapan dan berharap menemukan kerlingan mutiara di dasarnya.

Tapi ada satu yang masih sama saja dengan semua perjumpaan dalam setiap perjalanan. Justeru padamu lah yang lebih jauh dari semua itu;

Misterius, tak terbaca,
seperti hanya diri ini saja orang yang tak pernah bersekolah atau sekedar belajar membaca.
-------------------
S E L E S A I
-------------------