Indonesia
adalah bagian dari desa saya. Begitu kata budayawan Emha Ainun Nadjib. Desa
merupakan hal paling inti dari Indonesia. Tanpa desa-desa di Negeri ini,
Indonesia tidak akan pernah ada. Ibarat sebuah keluarga, desa adalah ibu
kandung Indonesia. Maka sudah selayaknya Indonesia dengan usia yang cukup
dikatakan dewasa ini untuk mengabdi bagi ibu kandungnya.
Pendiri
bangsa ini merupakan anak-anak desa. Mereka lahir dan dibesarkan dari rizki
yang ditaburkan Tuhan melalui kesuburan tanah di desa-desa. Sudah sejak dahulu
desa merupakan tempat yang suci —tidak mudah dicemari, dikotori dengan budaya-budaya
asing yang negatif. Maka sering kali desa menjadi tempat rujukan tolok ukur
kehidupan sosial. Jika sebuah desa saja kehidupan sosialnya sudah tidak
harmonis dan rawan konflik, apa lagi yang di kota, apa lagi kehidupan sosial
berbangsa dan bernegara. Maka tempat suci ini hendaknya menjadi ladang
penyemaian benih-benih pemimpin masa depan. Namun demikian, lahan yang suci ini
jika tidak dijaga dan dirawat kesuciannya juga kesuburannya, nilai-nilai desa
yang terkandung dalam kesucian itu akan segera tergerus oleh derasnya arus
informasi bahkan diramalkan akan banjir informasi yang akan menghanyutkan
nilai-nilai luhur Desa kita. Nilai-nilai yang akan hanyut terbawa oleh derasnya
arus informasi ini, merubah tatanan sekaligus kesucian dan kesuburan desa
sebagai ladang persemaian para pemimpin masa depan.
Keberadaan
desa-desa di Indonesia saat ini dipandang enteng oleh sebahagian besar
putra-putri bangsa ini. Desa bagi meraka hanya dijadikan tempat untuk pulang,
untuk melepas penat, untuk bermanja dengan ibu-bapak dan kakek-nenek, dan
bentuk-bentuk kegiatan yang hanya bersifat menghibur dari kelelahan. Padahal
Desa telah melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan dini bagi kita
semua. Desa juga yang memberikan dukungan penuh terhadap segala kebijakan yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Mana ada Desa yang menolak kenaikan BBM, mana ada
Desa yang memprotes kenaikan harga sembako, mana ada Desa yang menentang
kenaikan tarif dasar listrik.
Kita
sebagai putra-putri bangsa, terlena dengan ambisi pembangunan Nasional yang
menjadi rebutan —pada ujungnya menjadi bahan konflik antar putra-putri bangsa.
Maka tak jarang, jika generasi ini mudah untuk diprovokasi, mudah untuk
dipecah-belah, mudah untuk dikotak-kotakkan dengan afiliasinya masing-masing.
Pecah-belah cerai-berainya putra-putri bangsa ini kemudian menarik mereka yang
ingin menguasai Nusantara untuk keperluan dan kepentingan pribadi, kelompok
tertentu dan yang lebih jelas Desa-desa yang dikeruk rizkinya ini dirugikan
secara materi, mental, juga budaya.
Maka
dengan kerendahan hati, mari berkomitmen untuk mendampingi Desa-desa kita untuk
mengukuhkan kesejatiannya sebagai tempat penyemai benih-benih pemimpin masa
depan, pemimpin Bangsa, pemimpin dunia yang mendamaikan, menentramkan, mensejahterakan
dan merangkul segenap isi dunia untuk bersama menikmati dan memelihara rahmat
Tuhan ini.
Beri
aku sepuluh pemuda maka akan ku guncang Dunia, begitu kata sang proklamator.
Maka pemuda adalah objek dari pemimpin masa depan itu sekarang ini. Pemuda
penentu nasib kesucian Desa untuk masa yang akan datang. Apakah kesucian itu
akan berevulusi menjadi rahmat untuk bangsa dan dunia atau justru akan lenyap
menjadi bumerang penghancur bangsa dan dunia. Potensi yang terkandung dalam
diri pemuda-pemudi desa menjadi harapan besar bagi kelangsungan rahmat yang
dicita-citakan bangsa dan dunia. Namun jika hanya di pandang tanpa disentuh
tanpa diolah, maka hanya tinggal harapan dalam bentuk cerita saja.
Bakat
apapun dapat ditumbuhkan pada diri pemuda-pemudi desa, jika ada yang
mendampingi. Mendengar pertanyaan mereka tentang apa saja yang bertubi-tubi dan
tidak dapat dihitung lagi menunjukan mereka haus akan pengetahuan, haus akan
ilmu, haus akan pengalaman dan kehausan-kehausan lain yang membuat meraka tidak
dapat melihat dan berbuat apa-apa karena tiada pendampingan, bimbingan dan yang
memberi petunjuk arah baginya. Sehingga mereka hanya bisa meraba-raba di tengah
kegelapan yang oleh dunia luar disebut sebagai kebutaan. Kemudian dalam
kebutaan itu mereka dimanfaatkan untuk berbagai hal tanpa mereka tahu dan
sadari bahwa diri mereka tidak ikut merasakan hasil dari jerih payah meraba-raba
di tengah kegelapan itu.
Kita
perlu kembalikan bahwa desa adalah ladang ilmu, tempat menempa diri juga sumber
ilmu itu sendiri. Desa itu suci, maka jika ilmu disemai kembali di tempat yang
suci, maka akan tumbuh pohon dengan buah ilmu yang suci pula. Pembangunan
gubuk-gubuk ilmu di desa perlu derealisasikan sejak dalam pikiran, sejak
sekarang dan dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Gubuk sebagai tempat
berkumpul membincangkan segala hal untuk memperoleh pengetahuan dan melahirkan
ilmu perlu dirawat dan dipupuk dengan pendampingan dan bimbingan sepanjang
masa. Agar senantiasa tumbuh sempurna hingga menuai buah dan menikmatinya pun
wajib dalam pendampingan kita sebagai putra-putri bangsa yang telah terlebih
dahulu terbebas dari penjara ketidak tahuan.
Seperti
perumpamaan-perumpamaan di atas, pemuda desa sejatinya sama dengan para ilmuan
dan ulama (ahli ilmu) hanya saja mereka tidak memiliki kesempatan seperti
halnya para ilmuan dan ulama. Kondisi lingkungan mereka tidak menjadikan mereka
membudayakan ilmu itu bagian dari kehidupannya. Ditambah lagi dengan tidak
adanya fasilitas seperti sumber rujukan yang memudahkan ilmu itu dapat dipahami
mereka. Mereka juga tidak memiliki tempat untuk bertanya tentang segala macam
kegundahan, keraguan, kesamaran dan ketidak tahuan mereka dalam
pertanyaan-pertanyaan yang mereka simpan dalam-dalam.
Perpustakaan,
tempat berdiskusi dan pendampingan diperlukan di setiap desa bahkan di setiap
RT (Rukun Tetangga). Hal ini tidak dapat dilakukan secara instan hanya melalui
kebijakan pemerintah melalui kementrian-kementriannya. Hal ini dapat dilakukan
jika desa (masyarakat) itu sendiri yang merasa membutuhkan semua fasilitas
tersebut. Untuk itu diperlukan hidup bersama —mendampingi— masyarakat guna
menumbuhkan rasa membutuhkan perpustakaan, tempat berdiskusi, dan fasilitas
penunjang ilmu lainnya.
Secara
teknis, proses pendampingan ini telah saya awali dengan melakukan
pendekatan-pendekatan terhadap pemuda desa melalui diskusi dan
kegiatan-kegiatan kesenian dan olah raga. Target saya selama masa studi jenjang
magister nanti akan terbentuk sepuluh perpustakaan desa melalui pendampingan
dari komunitas yang terbentuk dan terkumpul sepuluh seribu kitab dari hasil
identifikasi yang dibutuhkan masyarakat di desa masing-masing.
Jika
hanya sebatas konsep gagasan, maka semua ini ringan adanya. Namun fakta yang
terjadi di masyarakat membuat konsep gagasan ini berat untuk terwujud di tengah
kehidupam masyarakat desa. Dan ini adalah tantangannya. Kumpulan buku-buku berjumlah
lebih dari seratus eksemplar dari berbagai jenis hasil koleksi pribadi saya
telah dimanfaatkan oleh tetangga-tatangga di rumah orang tua saya yaitu Desa
saya. Walau baru sedikit dan jangkauan yang terbatas pada tetangga-tetangga,
namun seratus buku-buku koleksi pribadi yang saya kumpulkan dari keprihatinan
selama masa studi pada jenjang sarjana ini adalah bentuk sederhana komitmen
saya dengan cita-cita mengembalikan kesejatian Desa yaitu sebagai ladang ilmu.