Jumat, 08 Mei 2015

Cerita Tentang Obat Diskon


Beberapa waktu ini aku berkunjung ke sebuah apotek di depan kos. Apoteker dengan ramah menjamu ku dan menanyakan obat yang mau ku beli.

“Obat untuk demam, pilek, batuk dan tenggorokan sakit mbak” aku menjawab pertanyaan mbak apotekernya.

Diambilkan sebotol sirup ukuran sedang dan satu kaplet pil berbungkus silver. Merknya sama sekali tidak familiar untuk ku. Dan harganya pun lumayan, untuk kantong seorang tuna karya seperti ku ini.

Selasa, 05 Mei 2015

Sumbang Buku Yooo!


Usia sebuah buku bisa sampai puluhan bahkan ratusan tahun. Usianya dapat melebihi usia rata-rata manusia sekarang. Jika dalam ratusan tahun buku-buku tersebut dapat dimanfaatkan dengan baik atau bahkan dapat mengambangkan ilmu yang bermanfaat bagi maslahat banyak orang, semoga penulis, penerbit, distributor, pengarsip, pembeli yang kemudian merawat dan memberdayakannya mendapat kebaikannya yang dikehendaki Tuhan. Amiin.

SUCIKAN DESA: Pendampingan Desa oleh Siapa yang Hendak Bersuci



Indonesia adalah bagian dari desa saya. Begitu kata budayawan Emha Ainun Nadjib. Desa merupakan hal paling inti dari Indonesia. Tanpa desa-desa di Negeri ini, Indonesia tidak akan pernah ada. Ibarat sebuah keluarga, desa adalah ibu kandung Indonesia. Maka sudah selayaknya Indonesia dengan usia yang cukup dikatakan dewasa ini untuk mengabdi bagi ibu kandungnya.

Pendiri bangsa ini merupakan anak-anak desa. Mereka lahir dan dibesarkan dari rizki yang ditaburkan Tuhan melalui kesuburan tanah di desa-desa. Sudah sejak dahulu desa merupakan tempat yang suci —tidak mudah dicemari, dikotori dengan budaya-budaya asing yang negatif. Maka sering kali desa menjadi tempat rujukan tolok ukur kehidupan sosial. Jika sebuah desa saja kehidupan sosialnya sudah tidak harmonis dan rawan konflik, apa lagi yang di kota, apa lagi kehidupan sosial berbangsa dan bernegara. Maka tempat suci ini hendaknya menjadi ladang penyemaian benih-benih pemimpin masa depan. Namun demikian, lahan yang suci ini jika tidak dijaga dan dirawat kesuciannya juga kesuburannya, nilai-nilai desa yang terkandung dalam kesucian itu akan segera tergerus oleh derasnya arus informasi bahkan diramalkan akan banjir informasi yang akan menghanyutkan nilai-nilai luhur Desa kita. Nilai-nilai yang akan hanyut terbawa oleh derasnya arus informasi ini, merubah tatanan sekaligus kesucian dan kesuburan desa sebagai ladang persemaian para pemimpin masa depan.

Keberadaan desa-desa di Indonesia saat ini dipandang enteng oleh sebahagian besar putra-putri bangsa ini. Desa bagi meraka hanya dijadikan tempat untuk pulang, untuk melepas penat, untuk bermanja dengan ibu-bapak dan kakek-nenek, dan bentuk-bentuk kegiatan yang hanya bersifat menghibur dari kelelahan. Padahal Desa telah melahirkan, membesarkan dan memberikan pendidikan dini bagi kita semua. Desa juga yang memberikan dukungan penuh terhadap segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Mana ada Desa yang menolak kenaikan BBM, mana ada Desa yang memprotes kenaikan harga sembako, mana ada Desa yang menentang kenaikan tarif dasar listrik. 

Kita sebagai putra-putri bangsa, terlena dengan ambisi pembangunan Nasional yang menjadi rebutan —pada ujungnya menjadi bahan konflik antar putra-putri bangsa. Maka tak jarang, jika generasi ini mudah untuk diprovokasi, mudah untuk dipecah-belah, mudah untuk dikotak-kotakkan dengan afiliasinya masing-masing. Pecah-belah cerai-berainya putra-putri bangsa ini kemudian menarik mereka yang ingin menguasai Nusantara untuk keperluan dan kepentingan pribadi, kelompok tertentu dan yang lebih jelas Desa-desa yang dikeruk rizkinya ini dirugikan secara materi, mental, juga budaya.

Maka dengan kerendahan hati, mari berkomitmen untuk mendampingi Desa-desa kita untuk mengukuhkan kesejatiannya sebagai tempat penyemai benih-benih pemimpin masa depan, pemimpin Bangsa, pemimpin dunia yang mendamaikan, menentramkan, mensejahterakan dan merangkul segenap isi dunia untuk bersama menikmati dan memelihara rahmat Tuhan ini. 

Beri aku sepuluh pemuda maka akan ku guncang Dunia, begitu kata sang proklamator. Maka pemuda adalah objek dari pemimpin masa depan itu sekarang ini. Pemuda penentu nasib kesucian Desa untuk masa yang akan datang. Apakah kesucian itu akan berevulusi menjadi rahmat untuk bangsa dan dunia atau justru akan lenyap menjadi bumerang penghancur bangsa dan dunia. Potensi yang terkandung dalam diri pemuda-pemudi desa menjadi harapan besar bagi kelangsungan rahmat yang dicita-citakan bangsa dan dunia. Namun jika hanya di pandang tanpa disentuh tanpa diolah, maka hanya tinggal harapan dalam bentuk cerita saja.

Bakat apapun dapat ditumbuhkan pada diri pemuda-pemudi desa, jika ada yang mendampingi. Mendengar pertanyaan mereka tentang apa saja yang bertubi-tubi dan tidak dapat dihitung lagi menunjukan mereka haus akan pengetahuan, haus akan ilmu, haus akan pengalaman dan kehausan-kehausan lain yang membuat meraka tidak dapat melihat dan berbuat apa-apa karena tiada pendampingan, bimbingan dan yang memberi petunjuk arah baginya. Sehingga mereka hanya bisa meraba-raba di tengah kegelapan yang oleh dunia luar disebut sebagai kebutaan. Kemudian dalam kebutaan itu mereka dimanfaatkan untuk berbagai hal tanpa mereka tahu dan sadari bahwa diri mereka tidak ikut merasakan hasil dari jerih payah meraba-raba di tengah kegelapan itu.

Kita perlu kembalikan bahwa desa adalah ladang ilmu, tempat menempa diri juga sumber ilmu itu sendiri. Desa itu suci, maka jika ilmu disemai kembali di tempat yang suci, maka akan tumbuh pohon dengan buah ilmu yang suci pula. Pembangunan gubuk-gubuk ilmu di desa perlu derealisasikan sejak dalam pikiran, sejak sekarang dan dalam setiap tindakan yang kita lakukan. Gubuk sebagai tempat berkumpul membincangkan segala hal untuk memperoleh pengetahuan dan melahirkan ilmu perlu dirawat dan dipupuk dengan pendampingan dan bimbingan sepanjang masa. Agar senantiasa tumbuh sempurna hingga menuai buah dan menikmatinya pun wajib dalam pendampingan kita sebagai putra-putri bangsa yang telah terlebih dahulu terbebas dari penjara ketidak tahuan.

Seperti perumpamaan-perumpamaan di atas, pemuda desa sejatinya sama dengan para ilmuan dan ulama (ahli ilmu) hanya saja mereka tidak memiliki kesempatan seperti halnya para ilmuan dan ulama. Kondisi lingkungan mereka tidak menjadikan mereka membudayakan ilmu itu bagian dari kehidupannya. Ditambah lagi dengan tidak adanya fasilitas seperti sumber rujukan yang memudahkan ilmu itu dapat dipahami mereka. Mereka juga tidak memiliki tempat untuk bertanya tentang segala macam kegundahan, keraguan, kesamaran dan ketidak tahuan mereka dalam pertanyaan-pertanyaan yang mereka simpan dalam-dalam.

Perpustakaan, tempat berdiskusi dan pendampingan diperlukan di setiap desa bahkan di setiap RT (Rukun Tetangga). Hal ini tidak dapat dilakukan secara instan hanya melalui kebijakan pemerintah melalui kementrian-kementriannya. Hal ini dapat dilakukan jika desa (masyarakat) itu sendiri yang merasa membutuhkan semua fasilitas tersebut. Untuk itu diperlukan hidup bersama —mendampingi— masyarakat guna menumbuhkan rasa membutuhkan perpustakaan, tempat berdiskusi, dan fasilitas penunjang ilmu lainnya.

Secara teknis, proses pendampingan ini telah saya awali dengan melakukan pendekatan-pendekatan terhadap pemuda desa melalui diskusi dan kegiatan-kegiatan kesenian dan olah raga. Target saya selama masa studi jenjang magister nanti akan terbentuk sepuluh perpustakaan desa melalui pendampingan dari komunitas yang terbentuk dan terkumpul sepuluh seribu kitab dari hasil identifikasi yang dibutuhkan masyarakat di desa masing-masing.

Jika hanya sebatas konsep gagasan, maka semua ini ringan adanya. Namun fakta yang terjadi di masyarakat membuat konsep gagasan ini berat untuk terwujud di tengah kehidupam masyarakat desa. Dan ini adalah tantangannya. Kumpulan buku-buku berjumlah lebih dari seratus eksemplar dari berbagai jenis hasil koleksi pribadi saya telah dimanfaatkan oleh tetangga-tatangga di rumah orang tua saya yaitu Desa saya. Walau baru sedikit dan jangkauan yang terbatas pada tetangga-tetangga, namun seratus buku-buku koleksi pribadi yang saya kumpulkan dari keprihatinan selama masa studi pada jenjang sarjana ini adalah bentuk sederhana komitmen saya dengan cita-cita mengembalikan kesejatian Desa yaitu sebagai ladang ilmu.