Dengarkan
Ceritaku
Di
pelosok desa Halmahera sana, signal hp itu susahnya minta ampun. Untuk sekedar
memberi dan mencari kabar sanak keluarga di Jawa saja, butuh banget perjuangan
ekstra. Perlu naik perahu. Mendayung dengan penerangan senter di kepala. Jangan
dipikir air lautnya tenang, seperti danau-danau buatan di Jawa. Walaupun tak terlalu
besar, tapi tidak bisa dibilang kecil. Dan aku Jawa, gunung pula. Tak biasa
dengan laut, apalagi akrab dengan perahu. Pokoknya butuh cinta dan tenaga.
Karena signal hanya ada di titik-titik dan waktu-waktu tertentu saja. Gak setiap
tempat dan saat ada. Gak sama lah dengan di Jawa. Signal selalu ada dan penuh
sampai ke pelosok desa.
Sekarang
aku sudah di Jawa. Tapi kenapa untuk memberi dan mencari kabarmu masih susah juga.
Padahal hanya ingin memberi kabar. Kopiku belum lagi habis. Tapi sudah dingin,
bersama dengan senyummu. Hilang hangatnya. Mungkin dihisap waktu, atau juga
lainnya.
Dan
ingin juga kucari kabar. Masih tentang senyum. Apa masih bisa kau hangatkan kembali.
Gak usah ditambah, juga hangatnya. Cukup sampai hangat sediakala. Di bibir yang
mudah rekah, menjatuhkan senyum ke dalam cangkir kopiku. Rasa dan hangatnya pas.
Tidak kurang atau lebih.
Karena
saraf-saraf rasa ku sudah mendesak dan menuntut candumu. Jika ku sesap juga
yang telah dingin ini dan menelannya begitu, sesampainya di dada,dinginnya
menusuk-nusuk. Membuat rasa nyeri yang menjalar sampai kepala. Dan jalarannya
itu, meninggalkan perih yang membilur.
Mayoe,
2017
0 Komentar:
Posting Komentar