Minggu, 26 April 2015

Curiga Pada Potongan Rambut

Sudah sejak kapan kaum laki-laki di Nusantara bergaya potongan rambut menjadi seperti sekarang ini. Rambut dipotong sebatas daun telinga, menampakkan leher belakang dan disisir membentuk suatu garis baik membelah rambut atau di bagian tepi kepala.

Sebenarnya tidak menjadi suatu masalah tentang bagaimana gaya rambut seseorang khususnya para kaum laki-laki itu dipotong atau disisir, asal terawat dan rapi. Melihat gambar-gambar para pahlawan yang masih menjaga peradaban Nusantara yang terpampang —kebanyakan di museum juga di dinding-dinding bangunan sekolah— kebanyakan memiliki rambut yang panjang dengan ikat kepala khas masing-masing daerah. Ambil
contoh yang masih sering muncul adalah Sultan Hasanuddin. Pakaian merahnya, dengan rambut gondrong berikatkan selembar kain yang menyisakan kuncup runcing di sisi kepala. Sekali lagi berambut pendek, panjang atau botak sakalipun tidak menjadi masalah, asal terawat dan rapi. Tapi mengapa, gaya potongan rambut yang menjadi trand sekarang bahkan menjadi suatu tolok ukur penilaian terhadap pribadi seseorang adalah yang pendek, yang disisir membentuk garis di tengah atau di bagian tepi tulang tengkorak kepala seorang laki-laki. Bukankah Sultan Hasanuddin merupakan suatu figur yang patut untuk diteladani. Karakter Nusantara dan perjuangannya melawan penjajah penting sekali menjadi benih karakter untuk disemai dihati dan fikiran generasi-generasi muda sekarang. Namun, disaat seorang anak muda (laki-laki) benar-benar telah meresapi dan kemudian mengetahui kegagahan sosok fisik Sultan Hasanuddin, dan kemudian terinspirasi dengan kegagahannya hendak meniru bagaimana Sultan Hasanudin berpenampilan, justru anak muda itu dilarang dan tak jarang malah dicemooh dan dicap sebagai anak yang tak mau diatur atau pemberontak.

Larangan, cemoohan dan cap sebagai pemberontak ini siapa yang memunculkan. Darimana opini publik bahwa yang berambut pendek menampakkan leher belakang dan memperlihatkan daun telinga adalah seorang yang penurut, mudah diatur dan nilai-nilai positif lainnya ini terbangun. Siapa yang membangun opini publik ini? Sebab apa opini ini dibangun? Apa tujuannya? Bukankah mereka para pendiri dan pembesar Nusantara juga teladan yang baik. Karakter, cita-cita, perjuangan dan tentu juga penampilan fisik juga patut untuk diteladani. Memang benar seorang bijak Nusantara berkata: Ajining diri ono ing lati, ajining rogo ono ing busono. Rangkaian kata bijak ini silakan tafsirkan  secara terpisah, silakan ambil makna yang menurut anda benar, silakan juga tafsirkan secara keseluruhan dan silakan tafsirkan sendiri-sendiri. Karena ini bersifat universal, begitulan Nusantara.

Benarkah potongan berambut pendek dengan garis melintang di tengah atau di pinggir kepala adalah bentuk kepribadian kita? Kepribadian baik kita? kepribadian positif kita? kepribadian Nusantara ini?

Merujuk dari wacana di atas, tentang seorang teladan. Disaat kita meneladani Sultan Hasanuddin, hanya mengambil sepenggal saja yang menurut kita cocok untuk diri kita, maka berkuranglah keteladanan itu. Karena hanya diteladani sebagian. Namun bukan berarti saya menyuruh atau menyarankan meneladani Sultan Hasanuddin secara total. Bukankah karakter seseorang terbentuk dari keseluruhan yang ada di dalam diri orang tersebut. Bagaimana seorang bupati bisa meneladani seorang tukang becak, jika rumahnya tetap mewah, jika pakaianya bertumpuk-tumpuk di rumah, jika tanpa kekhawatiran akan mendapatkan penumpang atau tidak, jika tanpa kekhawatiran terhadap anak dan istri di rumah yang menanti sekilo beras yang akan dibawa saat pulang nanti. Apakah Bupati itu juga telah meneladani tukang becak itu.

Mengapa pendidikan di Indonesia ini menyeragamkan siswa-siswanya. Alasan disiplin kah? Bukankah era Majapahit jauh lebih disiplin daripada masyarakat kita sekarang ini. Mustahil tanpa kedisiplinan yang kuat Majapahit memiliki kapal terbesar di Dunia pada jamannya. Mustahil juga tanpa kedisiplinan Maha Patih Gadjah Mada dapat mempersatukan Nusantara dengan sumpah Palapa-nya.Bentuk kedisiplinan itu yang perlu kita pelajari dalam-dalam dari berbagai hal yang membuat Mahapatih Gadjah Mada mempersatukan Nusantara, kedisiplinan yang membuat kesatria-kesatria Syalendra mampu merampungkan Borobudur, kedisiplinan tentara angkatan laun Majapahit membuat teknologi kapalnya, kedisiplinan teknologi pengairan di bali dibangun. Apakah mereka menyeragamkan sesuatu hal dengan memaksakan bahkan menempatkannya sebagai suatu tolok ukur nilai pribadi seseorang?

Lahirnya nasihat dari orang bijak Nusantara di atas, bukan semata mengindikasikan suatu hal yang me-negatif-kan atau mem-positif-kan sesuatu hal. Maka itu dikatakan bijak, karena bisa ditafsirkan dari sisi atau sudut manapun. Ajining diri ono ing lati, bisa diartikan kesejatian diri seseorang terletak di lidahnya. Terserah mau jati diri yang baik maupun jati diri yang tidak baik, terserah mau jati diri yang hina maupun jati diri yang mulia. Ajining rogo ono ing busono, bisa diartikan kesejatian raga ada pada pakaian yang ktia kenakan. Di sini pun, terserah mau raga yang seperti apa, raga miskin atau kaya, raga yang rajin atau yang malas, yang bersih atau yang kotor, yang berpenyakit atau yang sehat.

Sikap mainstrim sekarang dengan judge bahwa seorang anak berambut gonrong adalah yang tak bisa diatur, berandal, pemberontak, preman, orang gila, primitif, pengangguran dan banyak lagi lainnya. Dari manakah judge  dan sebutan itu? Apakah mereka juga akan men- judge para pahlawan termasuk Sultan Hasanuddin seperti itu juga?

Ini jaman modern, bukan jamannya feodalism lagi —mungkin akan seperti itu tanggapan publik.  Baik, silakan adopsi sebanyak mungkin istilah-istilah hasil pengaruh gaya potongan rambut yang ada sekarang ini.  Gaya potong rambut yang membuat kita terdoktrin untuk memandang segala sesuatu dari perspektif orang-orang yang mendoktrin agar kita berpotongan rambut seperti ini —meniru mereka dan kemudian segala sesuatunya juga meniru mereka. Beruntung bagi yang terdoktrin dengan sesuatu yang menurut kita baik, benar, bagus dan hal-hal positif lainnya. Bagaimana jika ternyata kita terdoktrin yang hanya menurut mereka —yang mendoktrin— saja yang benar, sementara kita hanya latah dan ikut-ikutan saja membenarkan tanpa tau dan tidak mau tau apakah motif di balik judge yang mereka doktrinkan itu.

Beberapa trand potongan rambut anak muda yang bekembang dari zaman ke zaman, lebih banyak menggambarkan ke-solid-an, kepatuhan, ke-setia-kawan-an, dan kesamaan nasib. Misalnya gaya rambut metal, gimbal daln lain-lain adalah bentuk ke-solid-an dalam sekelompok geng metal atau punk. Bentuk kepatuhan atau ketaatan terhadap budaya yang dibangun oleh komunitas metal atau punk. Bentuk ke-setia-kawan-an dan kesamaan nasib di dalam komunitasnya juga. Gambaran yang menonjol dari gaya potongan rambut ini dapat juga dimanfaatkan oleh mereka yang membutuhkan dukungan, menanamkan suatu faham dan juga keberpihakan. Maka perlu ditrawang ulang, bagaimana masyarakat Nusantara yang pada abad kejayaannya berkepribadian khas Nusantara, salah satunya adalah ciri rambut kaum laki-lakinya gondrong dengan ikat kepala yang beraneka ragam hingga berubah menjadi pendek cepak di atas daun telinga dan memperlihatkan leher belakang yang kemudian menjadi mainstrim penilaian terhadap pribadi seseorang seperti sekarang ini. Terakhir, opini publik tentang judge negatif dan positif terhadap gaya rambut mulai sejak kapan dimunculkan? sebab apa ia dimunculkan? siapa yang memunculkan? siapa yang dicontohkan sebagai rambut pendek di atas telinga dan meperlihatkan leher belakang itu sebai orang yang baik-baik, berkepribadian positif? dan siapa yang disangkakan dan dicontohkan sebagai sebagai yang berambut panjang itu pemberontak,  itu preman, itu orang gila, itu pengangguran, itu brandalan, itu tidak bisa diatur dan lain-lain yang bersifat negatif.


0 Komentar:

Posting Komentar