Mencintai
Nusantara
Mencintai
Anak-anak Nusanta
Mencintai
Desa Nusantara
Mencintai
Alam Nusantara
Mencintai
Budaya Nusantara
Mencintai
Keragaman Nusantara
Senyum
mengembang
Keceriaan
wajah cerah Nusantara
Jayalah,
jayalah, jayalah kembali
Hela
jangkarmu
Kembangkan
layarmu
Mengembung
penuh
Membelah
ombak samudra
Singgahi
Nusa-nusa
Rangkul
Bangsa-bangsanya
Hidupkan
kembali galangan-galangan kapalmu
Ramaikan
dermaga-dermagamu
Berlayarlah
Kabarkan
Nusa kita belum tenggelam
Nusantara
bersatu
Bhineka
Tunggal Ika
Mari Moi
Ngoni Futuru
Nusantara, berasal dari dua
kata: Nusa dan Antara. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘Nusa’ berarti ‘Daratan
atau Pulau atau Tanahair’. ‘Antara’ berarti ‘jarak disela-sela atau
ditengah-tengah dua benda’. Kata Nusantara telah dipakai untuk wilayah
sebagaian besar Indonesia sekarang ini sejak jaman sebelum kejayaan Majapahit.
Artinya kata Nusantata ini oleh nenek moyang kita dengan penyelidikan dan
kesepakatan bersama yang cukup lama. Hingga sekarang nama Nusantara masih
digunakan dan kewibawaannya masih cukup terjaga. Setiap kali mendengar kata
Nusantara, bayangan kita tentu terbayang suatu wilayah yang terbentang cukup
luas. Sesuai dengan arti dari kata Nusantara menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia dan penggunaan kata Nusantara sejak masa sebelum kejayaan Majapahit,
Nusantara dapat diartikan suatu kumpulan pulau/tanahair yang terletak antara
dua samudra dan dua banua. Samudra dan Banua di sini menjadi pembentuk ruang
Nusantara. Di tengah-tengan jarak dari ujung timur samudra Hindia hingga ujung
barat samudra Pasifik, dari ujung utara banua Australia dan ujung selatan banua
Asia telah disepakati sebagai wilayah Nusantara.
Wilayah
yang strategis, membentuk suatu persilangan antara banua dan samudra. Nusantara
penghubung bangsa-bangsa di daratan Asia dengan bangsa-bangsa di daratan
Australia. Nusantara juga menghubungkan lautan paling luas dunia beserta
kehidupan biota lautnya, saudra Hindia dengan samudra Pasifik. Kondisi
strategis membentuk Nusantara memiliki kekayaan budaya dan alam yang melimpah. Terbukti
dengan keragaman suku bangsa, adat istiadat dan sumber daya lam yang ada hingga
sekarang.
Nusantara
dengan keluasan wilyah yang dibangun oleh beragam suku bangsa ini pernah berada
di puncak kejayaannya. Seorang pemuda desa yang gagah berani nan cerdas
bertekat mempersatukan Nusantara menjadi satu kekuatan untuk memimpin dunia.
Gadjah Mada –anak desa pada masa kerajaan Majapahit– dengan pengetahuan nya
yang luas tentang nusa-nusa dan lautanya, ditambah keberanian dan kepiawaiannya
berlayar mengarungi lautan, menyatakan sumpah untuk mempersatukan bentangan
nusa-nusa yang berada di antara dua banua dan dua samudra ini untuk membangun
kesejahteraan dan kemakmura bersama. “Sumpah Palapa”, sumpah yang mendarah
daging dalam jiwa Gadjah Mada. Dengan keberanian, kegigihan dan kecerdasanya,
Gadjah Mada memenuhi sumpahnya. Sehingga Nusantara bersatu, bersama
bangsa-bangsa di dalamnya membangun kemakmuran dan kesejahteraan bersama.
Majapahit,
sebagai kerajaan yang mempelopori persatuan Nusantara –melalui Sumpah Palapanya
Gadjah Mada– memimpin kesatuan. Majapahit dengan kebijakannya, mampu membuat
Nusantara menjadi suatu wilyah dengan penduduk yang tediri dari ribuan bangsa
sejahtera dan terkenal hingga berbagai penjuru dunia. Terkenal dengan budaya
berlayarnya, terkenal dengan teknologi kapal-kapalnya yang canggih dan besar,
terkenal dengan galangan kapal yang besar dan lengkap dengan alat-alat dan
kayu-kayu bagus untuk membuat kapal, terkenal dengan hasil laut yang beragam
dan melimpah, terkenal dengan hasil kebun dan hutan yang melimpah.
Kejayaan
Nusantara berawal dari tekat seorang anak desa yang gagah berani. Namun kondisi
yang ada sekarang, anak desa justru menjadi yang terbelakang, tertinggal dan
terkucilkan (3T). Perhatian kita terhadap Nusantara hanya terfokus akan
kekaguman dengan kejayaan sejarahnya, akan tetapi meninggalkan budaya dan kearifannya.
Bangsa kita sekarang justru lebih banyak berkiblat dan menyoroti budaya asing
yang tidak cocok dengan kondisi alam dan budaya Nusantara yang sejati.
Desa sebagai
tempat lahir dan tumbuhkembangnya para Gadjahmada dikucilkan dan ditinggalkan. Anak-anak
desa tidak lagi terperhatikan. Terlantar dari pengajaran para empu dan
empu-empu itu pun tidak lagi ada. Bersyukur alam desa masih bisa sedikit
mendidik anak-anak desa dan mereka sangat bersahabat dengan alam yang mereka
miliki. Alam menjadi empu bagi mereka, memberikan pengajaran dan didikan sedari
mereka mulai mendengar hembusan angin dan deburan ombak melalui perut ibunya.
Desa
adalah tempat suci, tempat yang murni yang terlindungi dari pencampuran budaya
asing. Namun sekali lagi perlu diungkapkan, tempat suci ini tiada lagi
diperhatikan bahkan lebih banyak ditinggalkan. Penataannya, penjaminan
kesejahteraannya, haknya untuk berfikir dan berilmu seolah dimatikan. Malang
nasib desa, tempat suci ini sekarang dimanfaatkan hanya untuk kepentingan para
penguasanya. Jatah pembagian hasil upeti diperebutkan penguasanya untuk
kepentingan pridadi.
Bagaimana
para Gadjahmada masa kini akan memiliki keberanian dan mimpi untuk membangun
kejayaan Nusantara kembali, jika mereka tiada lagi mendapat pengajaran dari
para empu yang memberikan pengetahuan lebih luas dari pengetahuan yang hanya
ada di sekitarnya saja. Gadjah Mada adalah yang berpengetahuan luas dan cerdas.
Sementara anak desa sekarang sebagai Gadjahmada masa kini, tiada lagi memiliki
pengetahuan luas. Bagaimana mereka akan memiliki cita-cita besar dan luhur seperti cita-cita yang
terkandung dalam “sumpah palapanya” Gadjah Mada, sementara mereka tidak
memiliki pengetahuan tentang Nusantara.
Tentang
cita-cita. Gantungkanlah cita-citamu setinggi lagit, begitu nasihat para tetua.
Menumbuhkan dalam diri anak-anak desa berani bercita-cita merupakan suatu
kebanggaan tersendiri. Dari cita-cita yang mereka miliki, bukan tidak mungkin
kita dapat melahirkan para Gadjahmada di masa kini. Jangan pernah batasi
cita-cita mereka, lebih banyak menginspirasi akan lebih kuat membentuk
cinta-cita yang sejati lahir dari hati paling dalam dari calon Gadjahmada masa
kini. Yakin bahwa cita-cita mereka akan lebih luhur dan bijaksana dari
pendahulunya.
Bersama
Gerakan Desa Cerdas yang diinisiasi oleh Gerakan Indonesia Mengajar dan
dikelola oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Halmahera Selatan, 15 orang pemuda
terbaik Nusantara terpilih untuk mendampingi anak-anak desa di kabupaten
Halmahera Selatan untuk menumbukan cita-cita besar mereka. Gerakan Desa Cerdas
mengadakan seleksi penerimaan di lima
kota besar: Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Makassar dan Ternate. Pada
pertengahan Mei, dilakukan pelatihan intensif untuk 15 Pemuda Penggerak Desa (PPD)
di kota Labuha –ibu kota kabupaten Halmahera Selatan– yang bertempat di Pulau
Bacan. Pertengahan Juni, 15 Pemuda Penggerak Desa ini dikirim ke berbagai
penjuru Halmahere Selatan untuk mendampingi anak-anak desa para calon
Gadjahmada yang akan datang.
Desa
Geti Lama, Kecamatan Bacan Barat Utara merupakan salah satu daerah penempatan
PPD. Desa Geti Lama merupakan desa bekas sasaran penyerangan saat kerusuhan
Maluku meletus pada tahun 1999-2000. Desa kecil ini berpenduduk kurang lebih
400 jiwa dengan 70 kepala keluarga. Penghasilan masyarat desa Geti Lama
dithopang dari hasil kebun di belakang kampung. Tanaman kebun yang dihasilkan
berupa kopra, cengkih, pala dan sebagian buah kakaku. Secara geografis desa
Geti Lama terletak di bagian utara pulau Bacan dan di seberang selatan dari
pulau Kayoa –garis katulistiwa berada di pulau kayoa. Pada umumnya desa-desa di
Maluku Utara berdada di tepi laut, sehingga hampir 85% transportasi yang
menopang masyarakat Maluku Utara adalah transportsi laut. Termasuk desa Geti
Lama. Daratan desa Geti ini terbentang
antara tanjung Geti lama dan tanjung Geti Kecil. Teluk yang yang
dibentuk oleh dua tanjung ini merupakan tempat singgah kawanan ikan paus saat
berkeliling dunia. Beruntung saat bulan pertama penempatan, sempat menikmati
pemandangan ikan paus muncul di permukaan teluk geti ini.
Dahulu,
sebelum terjadi kerusuhan pada tahun 1999, di sepanjang teluk Geti ini hanya
ada satu desa yaitu Geti Lama. Sekarang
sudah ada dua desa besar yaitu desa Geti Lama dan desa Geti Baru. Desa Geti
Lama hanya terdiri dari satu dusun, sementara desa Geti Baru terdiri dari tiga
dusun: dusun Al-Bina Darussalam, dusun Mangga Dua dan dusun Geti Baru. Desa
Geti Lama mayoritas beragama Kristen Protestan dan kurang lebih ada delapan
kepala keluarga yang beragama Islam (Mualaf). Untuk desa Geti baru, di dusun
Al-Bina Darusalam dan Mangga Dua 100% muslim dan dusun Geti baru 50% Kristen
Protestan dan 50% Islam.
Desa
geti lama merupakan satu-satunya desa yang masih ada peninggalan fisik bekas
kerusuhan Maluku terjadi. Beberapa rumah yang dahulu dibakar, sampai sekarang
masih ada yang sama sekali belum direhab. Sengaja dibiarkan oleh pemiliknya,
dijadikan sebagai monumen kerusuhan desa Geti –walaupun tidak ada pengakuan
dari pemerintah bangunan bersejarah itu dijadikan sebagai monumen. Tetapi
dengan hati yang rela, sampai sekarang pemilik rumah itu mengikhlaskan untuk
tidak diperbaiki dan memilih membangun rumah baru di lahan yang lainnya. Jika
memang nantinya pemerintah akan membangun monumen resmi kerusuhan di desa itu,
tentu akan sangat berguna sebagai sumber sejarah Maluku Utara, di mana
Nusantara berada di dalamnya. Sehingga sejarah di Geti Lama pun juga sejarah
Nusantara.
JASMERAH:
jangan lupakan sejarah, begitu ungkapan bapak bangsa sang proklamator: bung
Karno. Sejarah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam membangun
kehidupan berbangsa. Termasuk membangun cita-cita besar seperti Gadjahmada.
Gadjah Mada memiliki cita-cita besar dan mulia itu karena beliau berpengetahuan
luas, termasuk pengetahuan sejarah pendahulunya. Demikian halnya yang perlu
ditanamkan kepada anak-anak muda desa Geti Lama, untuk menuliskan sejarah
mereka sendiri secara jujur.
SD
Negeri Geti Lama, merpakan satu-satunya sekolah yangada di desa Geti Lama.
Anak-anak yang bersekolah di SD Negeri Geti Lama berjumlah tujuh puluh tiga
anak. Sementara jumlah anak usia sekolah Dasar di desa Geti Lama kurang lebih sebanyak
seratus anak. Beberapa yang lain yang tidak sekolah adalah mereka yang putus
sekolah karena berbagai hal. Mereka yang tida bersekolah bukan karena tidak
memiliki kemauan untuk bersekolah, akan tetapi justru mereka begitu cerdas
dalam berfikir. Karena antara bersekolah atau tidak itu sama saja, yang membedakan hanya ijazah saja. Mereka yang
bersekolah hanya mendapatkan pembelejaran dari guru pengajar dua minggu saja
dalam satu bulan dan itu pun kurang
efektif. Karena SD Negeri Geti Lama hanya memiliki satu guru saja yang
merangkap sebagai kepala sekolah. Sementara mengurus siswa dari kelas satu
hingga kelas enam seorang diri. Rangkap tugas sebagai guru dan kepala sekolah
memang tidak mudah. Ada kalanya banyak urusan di kantor dinas pendidikan. Terlebih
dengan adanya perubahan kurikulum dan pelaporan setiap bulannya yang harus
diselesaikan di dinas Pendidikan yang berletak di Lambuha –ibu kota kabupaten
Halmahera Selatan. Sehingga membuat pengajaran tidak maksimal, jangan pun
maksimal, terdampingi siswa di dalam sekolah saja tidak terpenuhi. Maka wajar
saja jika dalam kondisi ini sebagian dari mereka memilih untuk tidak sekolah.
Karena, antara yang sekolah dan tidak sekolah sama saja, sama-sama kekurangan
pengetahuan. Terlebih keterampilan dalam membaca dan menulis, jangan pernah
dibayangkan sama seperti anak-anak di kota yang anak kelas dua sudah lancar
membaca. Sementara semua siswa yang duduk di kelas tinggi (empat, lima dan
enam) membacanya masih terbata-bata bahakan ada yang sama sekali belum bisa membaca
sebuah kata.
Bersyukur
ada program Gerakan Desa Cerdas yang mengirimkan Pemuda Penggerak Desa (PPD) di
desa Geti Lama. Sekarang ada dua guru di SD Negeri Geti Lama: Ibu Selfia
Kundiman sebagai kepala sekolah dan guru dan Mabrur Muhammad Yusup sebagai guru
kelas. Dengan adanya tambahan guru ini, setidaknya kelas rangkap dapat teratasi
dan terdampingi penuh. Walaupun kelas harus dirangkap sekaligus tiga kelas
secara bersamaan.
Penulis,
sebagai Pemuda Penggerak Desa meninisiasi kegiatan menulis untuk anak-anak usia
sekolah yang ada di desa Geti Lama. Surat dan sahabat pena merupakan media
untuk gerakan menulis di desa Geti Lama. Teman-teman penulis semasa kuliah dan
sekolah dahulu beberapa dijadikan sahabat pena. Awalnya menceritakan profil
setiap calon sahabat pena di hadapan anak-anak. Kegiatan bercerita dan melihat
foto calon cahabat pena ini dilakukan setiap sore di balai desa –balai desa
yang sudah tidak digunakan, bahkan boleh dikatakan sebagai bagunan rusak. Balai
desa terletak di titik terdalam teluk Geti. Jadi walaupun bangunan ini berada
di bibir laut yang curam itu, tetapi aman dari terjangan ombak, karena letaknya
yang jauh menjorok kedalam daratan dan dilindungi oleh dua tanjung yang cukup
besar. Dari bercerita ini, penulis memanfaatkan rasa ingin tahu anak-anak untuk
menulis. Mereka bertanya tetang sahabat penanya satu persatu, tentanng usianya
dan kegiatannnya sehari-hari atau tentang cita-citanya. Anak-anak hanya akan
mendapat jawaban jika mereka bertanya langsung kepada sahabat pena mereka
dengan jalan menuliskan surat. Maka dengan penuh rasa ingin tahu mereka menulis
surat pertama mereka. Dengan tekun mereka perlahan mengukir tulisan di sesobek
kertas dari buku tulis yang mereka punyai. Ini lah kali pertama mereka menulis
surat. Mereka menulis satu persatu surat untuk sahabat penanya. Ada dari mereka
yang menulis surat hanya untuk menyapa sahabat penanya saja dengan dua atau
tida kalimat yang mereka bisa. Ada juga yang kebingungan mau menulis apa. Dalam
kebingunannya mereka berlembar-lembar kertas diremasnya dan menyobek lagi
kertas lain dan menulis lagi, kemudian mereka remas lagi menyobek lagi dan
menulis lagi. Terus awalau mereka malu dan merasa banyak melakukan kesalahan,
tetapi mereka terus mencoba untuk menulis surat.
Alhamdulillah,
telah dikirimkan semua surat mereka kapada sahabat pena masing-masing. Ada
sepuluh sahabat pena mereka, dan sebagian sudah membalasnya dan siap untuk
dibaca oleh anak-anak. Pasti anak-anak sudah ingin sekali membaca surat-surat
balasan itu. Dan penulis tidak sabar ingin melihat ekspresi membaca mereka,
membaca surat pertama yang mereka terima dari para sahabat pena mereka. Irama
membaca yang terbata-bata akan menjadi melodi yang harmonis di bawah pohon
beringin yang ada di sudut Desa Geti Lama.
Membangun
cita-cita anak-anak desa dengan
menginspirasinya ada banyak cara. Hanya dengan menuliskan surat untuk mereka
saja, sudah sangat membesarkan hati mereka. kita berharap bersama dari
tulisan-tulisan mereka dan balasan dari para sahabat penanya dapat menumbuhkan
cita-cita besar mereka. Semoga Gadjahmada muda akan lahir dari desa Geti Lama.
Secara
pribadi penulis ucapkan banyak terimakasih, untuk para sahabat pena anak-anak desa Geti Lama yang telah berkenan
membaca dan membalas surat-surat mereka. Setiap huruf, kata dan kalimat yang
teman-teman tuliskan dalam surat balasan itu akan menjadi sesuatu yang paling
berharga bagi anak-anak desa Geti Lama. motivasi kuat untuk terus belajar dan
menyongsong cita-cita juga akan terpancar dari surat-surat balasan teman-teman.
Sahabat
pena: Armand Adiwijaya, Ayunidita Rosalia, Anisya Lisdiana, Nur Jannah Asrilya,
Rais Nur Latifah, Fail Balya Marwa, Alan , Mega Ariyanti, Nikmatul Candini, dan
Riyeni Dwi Elfani.
Bagi
pembaca yang ingin menjadi sahabat pene mereka, juga bisa menghubungi penulis
di no. Telp. 082382813889.
Perjalanan Menuju Desa Geti
Lama
Perjalanan
penulis dari kota asal (Yogyakarta)
menuju desa Geti lama dilakukan dengan transportasi udara, darat dan laut. Dari
Yogyakarta menuju kota Ternate –kota yang sama-sama memiliki sejarah kesultanan
yang kuat: kesultanan Mataram dan kesultanan Ternate. Perjalanan dari
Yogyakarta ke Ternate bisa transit melalui beberapa kota: Jakarta, Surabaya,
Makassar, Manado, atau Ambon. Sampai di bandara Sultan Babullah Ternate,
perjalanan dilanjutkan menuju pelabuan verry Bastiong. Jadwal perjalanan kapal
verry dari bastiong hampir semuanya malam (21.00 WIT kapal berangkat). Dari
pelabuhan bastiong ini kemudiaan naik kapal verry untuk menuju Pulau Bacan di
Pelabuhan Babang atau pelabuhan Kupal. Dari pelabuhan bastiong ini, pulau atau
gunung Tidore dan pulau Maitara sangat jelas terpamapang. Suatu pemandangan
yang tidak asing –walaupun baru pertama kali mengunjunginya. Karena pulau
Tidore dan pulau Maitara hampir setiap hari kita lihat di dalam lukisan
pemandangan uang seribu rupiah. Subuh saat langit timur mulai diwarnai semurat
matahari hendak terbit, kapal verry sampai di pelabuhan banbang. Dari pelabuhan
besar babang ini, kemudian ikut naik speed yang setiap hari beroprasi, untuk
menuju desa Geti Lama. Biasanya kapal motor speed ini berangkat dari babang
puluk 08.00 WIT dan sampai di desa Geti Lama pukul 12.00 WIT. Empat jam
perjalanan laut dengan menggunakan kapal motor kecil. Jika belum terbiasa
memang ada rasa khawatir, karena ombak disepanjang perjalanan cukup besar,
terlebih rentang bulan Juli hingga puncaknya bulan Desember. Pandai berenang
sebagai modal utama untuk menghilangkan kekhawatiran, atau pelampung juga bisa.
*Diterbitkan di Harian Suara Keadilan Rakyat
0 Komentar:
Posting Komentar