Hati-hati
mencari mawar
Karena
mawar berduri
Hati-hati
mencari pacar
Karena
pacar bisa menyakiti hati
Pecundang. Apa
arti atau makna dari kata itu. Tapi sungguh menusuk dalam hati. Terkadang
menyayat tapi tak begitu perih. Hanya sebuah pertanyaan, apa maksudmu berkata
seperti itu.
Aku hanya ingin
melenyapkan rasa sakit yang semacam menusuk dalam. Maka hanya dua atau tiga
kali ku baca surat balasanmu. Kemudian
ku lenyapkan dalam bara yang hampir padam di tungku dapur mbahku. Tungku
yang mungkin baru saja untuk memasak air dalam dua jam sebelum aku pulang dari
sekolah.
Tak sempat ku
kenang selembar surat balasanmu. Seiring lenyapnya selembar kertas itu dalam
rambatan bara yang mulai menjadi abu, hanya sebait pantun yang ku kenang entah
sampai kapan.
Hati-hati
mencari mawar
Karena
mawar berduri
Hati-hati
mencari pacar
Karena
pacar bisa menyakiti hati
Pantun mu seolah
menjadi penimbang dalam langkah-langkah ku kemudian. Sebait pantun mu merasuk
kemudian menyatu bak sebuah nasihat untukku. Tapi kenapa saat mengingatnya
selalu muncul sebuah kata “pecundang”, yang aku sendiri lupa tersusun dalam
kalimat seperti apa. Aku bukan akan tersinggung dengan arti atau makna kata
itu, yang baru ku ketahui makna kata itu setelah lama melupakanmu. Aku hanya
ingin bertanya alasanmu membubuhkan kata “pecundang” dalam surat yang kau tulis
untukku.
Aku tak perlu
pusing berpikir keras untuk tau alasanmu. Yang ku tau suratmu adalah penolakan
atas rasa cinta kasih yang ingin ku curahkan padamu. Telah kau benarkan
penolakan itu dengan sikapmu yang kemudian berbeda. Perlu kau tau, suratku yang
telah kau bacai sesungguhnya tak ku kehendaki untuk sampai di tanganmu. Atau
justru ungkapan ini yang membuatmu membubuhkan kata “pecundang” dalam suratmu?
Sudahlah, bukannya aku tak perlu tau alasanmu.
Suratmu tak
pernah sekali saja ku tunjukan ke orang lain. Tidak seperti surat yang ku tulis
untukmu. Sebelum suratku sampai di tanganmu, telah ku tunjukan kepada teman yang
ku anggap tau tentang bahasa asmara. Tau kah kau apa tanggapan temenku. Betapa
dia terpesona dengan tulisanku. Ah, mungkin itu hanya semacam dorongan saja,
supaya aku lebih banyak menulis surat untuk mu Laksmi.
Namun sayang, aku
tak bisa mengingat dengan jelas puisi cinta seperti apa yang ku tulis untukmu.
Aku pun tak pernah tau nasib surat itu. Bagaimana kabarnya setelah kau baca.
Apakah kau simpan, ataukah dia tersesat bersama sampah kulit tempe di
pambuangan. Atau mungkin senasib dengan suratmu yang telah menjadi abu bersama
bara dalam tungku. Aku tak pernah tau dan tak ku cari tau kabarnya.
Setelah itu
hubungan kita memburuk. Tidak seperti sebelumya yang penuh dengan cerita
romantis di dalam kelas. Bercerita semua hal, tentang keluarga, tentang guru
baru di kelas enam, tentang adikmu yang masih lucu-lucunya. Kita selalu cerita
saat murid-murid lain sedang khusuk menyalin catatan pelajaran IPS dari buku
paket yang ditugaskan pak Jono. Kau masih ingat bukan, catatan kita selalu rapi
dan lebih dulu selesai dari murid-murid lain di kelas kita. Aku sendiri mulai
rajin mencatat di rumah sejak kau nasihati di akhir catur wulan ketiga saat
kita duduk satu bangku di kelas empat. Waktu itu kau berpesan untuk rajin
mencatat supaya kita mudah mempelajarinya kembali saat menjelang ujian catur
wulan. Aku selalu mengingatnya. Aku tak pernah terpaksa untuk menyalin
catatan-catatan dari buku pinjaman pak Jono.
*
0 Komentar:
Posting Komentar