Senin, 03 Juni 2019

[Keruarga Piara]


Mengenal istilah keluarga piara pertama kali adalah saat mengikuti program @pemudapenggerakdesa di Halmahera Selatan. Ke-dua kalinya tentu saat menjadi @pengajarmuda yang ditempatkan di Kabupaten Konawe. 

Kebetulan dua kali tugas di daerah selalu mendapat wilayan Indonesia bagian Timur. Sehingga budaya dan karakter masyarakatnya pun masih saling berkaitan. 

Begitu juga dengan kebiasaan mengangkat keluarga piara. Sejauh yang saya jumpai dan rasakan sendiri, menjadi anak piara atau saudara piara selalu menjadi perhatian khusus. Apa-apa selalu menjadi keutamaan keluarga. Sampai-sampai masyarakat setempat menganggap bahwa rasa sayang terhadap anak dan saudara piara jauh lebih utama ketimbang anak atau saudara sendiri.

Soal makanan misalnya; selalu mendapatkan bagian paling enak, paling banyak, dan paling pertama. Begitu juga terkai tempat istirahat selalu mendapat bagian yang paling nyaman di tengah rumah. Dan banyak lagi yang diberikan demi anak dan saudara piara secara berlebih. 

Gambaran ini bukan sebagai citra yang dibuat-buat. Melainkan sebuah karakter budaya yang sudah sejak nenek moyang dahulu diturunkan.

Di Konawe saya menjadi anak piara dari keluarga bapak Hikas dan Ibu Masnia atau lebih akrab dipanggil papanya dan mamanya Reski. Keluarga ini begitu baik menerima saya. Juga menerima dua orang @pengajarmuda sebelum saya.

Ada hal unik yang cukup menarik dari keluarga piara saya ini. Di mana setiap orang yang menjadi anak piara mamanya Reski, harus bisa Molulo--tari kaki khas masyarakat Tolaki. Setiap ada pesta dan membuka acara Molulo, mamanya Reski selalu mengajak, bahkan memaksa kami untuk ikut pergi pesta dan masuk dalam lingkaran Lulo. 

Padahal saya termasuk pribadi yang kecerdasan kinestetiknya kurang. Sejak kecil saya kurang suka kegiatan yang berkaitan dengan gerak tubuh, seperti olahraga, tari dll. Namun sejak menjadi anak piara mamanya Reski, daya tangkap saya akan gerak menjadi meningkat. Hanya hitungan minggu saya sudah mempu menguasai berbagai gaya tari Lulo. Dari gerak kaki sederhana sampai yang rumit. 

Bagaimana tidak, saya selalu ditarik, digandeng dan tidak dilepas lagi dari lingkaran Lulo. Hanya boleh berhenti kalau pakaian yang melekat di tubuh sudah basah kuyub oleh keringat. Untuk itu setiap pergi pesta, diharuskan mamanya Reski untuk selalu membawa pakaian ganti. Setelah berganti pakaian dan istirahat sebentar, sudah pasti digandeng lagi. 

Perlu diketahui, acara Molulo ini dimulai dari ba'dha Isya sampai menjelang subuh. Dan mama Reski adalah Rajanya Lulo se-kecamatan Latoma. Sehingga mama Reski akan malu jika ada anak piaranya yang tidak bisa Molulo. Jadi mau tidak mau, harus bisa. 

Demi itu, pertama mencoba saya hanya terseret ke kanan dan ke kiri dengan kaki bolak-balik terinjak dan terkilir. Tapi jangan bilang mama Reski Raja Molulo kalau tidak berhasil memaksa saya bertahan sampai 10 kali putaran Lulo dengan diameter lingakaran 20 meter saat awal mencoba. 

Namun hasilnya masyarakat sampai heran "paguru sudah seperti orang asli di sini." Saya pun dengan puas menyambut dengan tawa gembira. 

#19ceritaPM 
#Beran19abung 
#Beran16eda 
#PMXVI #PMXIX

#Beran19abung 
Daftarkan dirimu di bit.ly/DAFTARPM19

0 Komentar:

Posting Komentar