Selasa, 01 Oktober 2019

Ekspedisi MaxLare Coffee

Foto diambil dari IG @ardinarasti6

Tadi saat perjalanan mengantar kopi @maxlare.co di salah satu outlet ekspedisi pengiriman, kulewati gang rumah seorang yang dulu pernah kutaksir, dan sempat PDKT. Sudah tentu seorang gadis ya, dan jangan meragukan daya taksirku!

Saat melintas jalan yang dipotong gang arah rumah gadis itu, di dalam dada semacam ada yang berdesir. Bahasa kerennya; tratapan.

Sepanjang jalan jadi kepikiran. Seiring handle gas motor semakin kutarik ke belakang, demikian juga pertanyaan yang muncul di kepalaku, mirip letupan yang terjadi di knalpot. Di manakah dia sekarang, sudah menikah atau belum, apa sudah punya anak, tinggal di rumah suaminya atau masih di gang itu, dan sederet pertanyaan lain yang ingin mengungkapkan; kangen.

Sedang asik memanjakan pertanyaan-pertanyaan dalam lamunan dan belum sempat mencari jawaban, sebuah kesialan mengagetkanku; sepersekian detik motor yang kutunggangi menabrak polisi tidur cukup tinggi dengan kecepatan lumayan laju. Ini sebuah peringatan, kalau nyetir tidak boleh melamuni mantan, apa lagi kenangan manisnya! Selain sial, itu menguras energi untuk mencari cara agar bisa balikan.

Namun dasar sistem kerja isi kepalaku memang kurang ajar, sehabis mengumpat, justru menimbulkan pertanyaan lain yang lebih menjerumuskan pada jurang kenangan. Apa si yang membuat tertarik pada gadis itu, sampai mau-maunya melakukan PDKT?

Bahkan sampai saat ini aku sendiri menentang pertanyaan itu. Karena, jawaban apa yang akan diberikan oleh seorang anak SMP kelas 3, masih cukup polos, dari udik, dan bercita-cita masuk STM yang tidak suka dan tidak akan tawuran, kecuali saat terdesak. Tapi jadi menyesal, setelah melihat STM demo dengan gagah berani dan tak gentar melawan barisan polisi di Senayan, kemarin. Kenapa juga dulu tidak suka ikut tawuran, dasar cupu!

Lamunanku terputus, saat sampai di outlet ekspedisi pengiriman yang dikelola beberapa santri, dan pondok pesantrennya persis ada di belakang outlet. Terlebih saat kutuliskan alamat di tubuh paketan bertujuan Salatiga. Cepat-cepat kuselesaikan pekerjaan itu, agar bisa segera melanjutkan lamunan. Namun santri yang sedang berjaga justru membeberkan beberapa paketan yang kukirim kemarin lusa; satu sudah transit di Jakarta dan satu lagi baru sampai Bandar Lampung.

“Suwun mas, yang penting sudah terkirim.” Jawabku dengan berusaha seramah mungkin.

Setelah kubayar dengan uang pas tiga pulu dua ribu rupiah, langsung ngacir dengan berpamitan “Suwun mas, Assalamualaikum” dan kulanjutkan melamun.

Setelah kupikir-pikir lagi, ternyata dulu menyukainya karena sering nonton sinetron yang dibintangi mbak Ardina Rasti. Tapi bukan karena alur cerita atau kata-kata romantis dalam sinetron yang bikin remaja malu-malu kucing saat tahu Ia menonton tidak sendirian, melainkan ada ibunya siap menerkam dari belakang.

Pada waktu itu aku sudah benar-benar mengagumi mbak Ardina Rasti, kalau tidak bisa dikatakan menyukai, karena beliau artis terkenal dan terpelajar, dan aku hanya pringas-pringis sambil belajar. Maafkan saya mbak Ardina Rasti.

Tapi itulah risiko menjadi bintang peran atau apapun yang berada di bawah lampu sorot media. Harus merelakan segala respon, baik yang terungkap atau yang hanya tersimpan atau sekedar terlintas di benak penontonnya.

Sekarang saya begitu kagum dan bertambah setelah tahu mbak Ardina Rasti adalah seorang yang aktif membela korban kekerasan pada perempuan, dan ternyata cucu dari bapak pers nasional; Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo. Bertambah satu lagi, sangat menyayangi anaknya yang lucu dan menggemaskan. Serta ter-update di akun Instagram miliknya menampilkan pesona kecantikan yang alami, tanpa polesan kosmetik keartisan. sehingga membuat aura kecantikannya semakin terasa. Duh duh ...

Saat PDKT, lha kok terbayang gadis cantik yang kutaksir itu mirip mbak Ardina Rasti. Oooo memang kebangetan, kok ya sempat pede banget, dulu itu!

Tapi sungguh, senyumnya, lirikannya, caranya menunduk, saat Ia menoleh ke belakang, bahkan saat sebuah kata terucap dari bibirnya, lha kok yang terbayang adegan-adegan dalam sinetron atau iklan atau sebuah wawancara infotaiment yang fokusnya adalah wajah mbak Ardina Rasti. Begitu juga sebaliknya, saat menonton infotaiment, iklan dan adegan-adegan sinetron yang dibintangi mbak Ardina Rasti selalu membuat teringat dia; gadis taksiran itu.

Lha ini suka, kagum, atau jatuh cinta jenis apa?

Tapi mungkin beginilah cara kerja perasaan, yang sering kita sebut cinta atau sejenisnya. Semoga yang kulakukan dalam fikiran atas objek cerita ini, bukan bentuk upaya perusakan atau bahkan pengingkaran terhadap sesuatu yang sedang mengikat kesetiaan.

Pantes aja dulu pas PDKT, lewat sms hp poliponik, jawaban yang ke luar; nggih mas, pripun mas, onten nopo mas, sampun mas, mboten mas ...

Mas-mes mas-mes tok. Lha pantes, sing tak sir ki bakno njobo njero ayune artis je. Bedhes, kok yo pede mbiyen kae!

0 Komentar:

Posting Komentar